BBM NAIK LAGI 1 juli! Pertamax & Shell Tembus Rp13.000, Dompet Rakyat Tercekik?
BBM NAIK LAGI 1 juli! Pertamax & Shell Tembus Rp13.000, Dompet Rakyat Tercekik?

detakpolitik.com, JAKARTA - Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi mulai 1 Juli 2025 menjadi perbincangan penting di tengah masyarakat. Keputusan ini mencakup kenaikan harga untuk Pertamax Series dan Dex Series yang didistribusikan oleh Pertamina, serta harga BBM dari perusahaan swasta seperti Shell. Walau dari sudut pandang angka, penyesuaian ini terkesan moderat—rata-rata hanya berkisar antara Rp 400 hingga Rp 600 per liter—namun dampaknya sangat terasa, terutama bagi konsumen menengah ke atas yang sehari-harinya mengandalkan jenis BBM tersebut untuk kendaraan pribadi maupun usaha produktif.
Kebijakan penyesuaian harga BBM non-subsidi semacam ini tidak muncul dalam ruang hampa. Pemerintah, melalui badan usaha seperti Pertamina Patra Niaga, merujuk kepada regulasi dan mekanisme pasar global yang mempengaruhi harga minyak mentah dunia. Pengumuman bahwa penyesuaian ini mengikuti Keputusan Menteri ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 yang merupakan revisi dari Kepmen sebelumnya No. 62 K/12/MEM/2020 menunjukkan bahwa formula penetapan harga BBM di Indonesia telah mengalami pergeseran dari sekadar administrasi nasional ke arah keterkaitan lebih erat dengan dinamika pasar internasional dan kebutuhan fiskal domestik.
Namun yang menarik adalah paradoks dalam narasi publik yang muncul. Di satu sisi, disebutkan bahwa harga BBM mengalami penurunan selama dua bulan terakhir—yakni pada bulan Mei dan Juni 2025. Tetapi kemudian pada 1 Juli, harga kembali dinaikkan, bahkan untuk semua varian Pertamax, Dex, dan produk setara dari SPBU Shell. Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat: apakah penurunan sebelumnya hanya sementara dan bersifat “manis di bibir,” atau justru mencerminkan ketidakkonsistenan arah kebijakan energi?
Kenaikan harga Pertamax (RON 92) menjadi Rp 12.500 per liter dan Pertamax Green (RON 95) menjadi Rp 13.250 per liter adalah indikator bahwa kebijakan subsidi dan non-subsidi semakin digarisbawahi dengan jelas oleh pemerintah. Pertamax Green sendiri, sebagai produk yang mengandung campuran etanol dan dirancang untuk lebih ramah lingkungan, seharusnya menjadi prioritas dalam program transisi energi hijau. Namun dengan harga yang terus naik, minat konsumen terhadap produk ini bisa menurun, atau setidaknya stagnan. Pemerintah perlu menyeimbangkan antara keinginan mendorong energi bersih dengan realitas keterjangkauan ekonomi masyarakat.
Di sisi lain, data dari SPBU Shell menunjukkan bahwa produk sejenis seperti Shell Super (yang sebanding dengan Pertamax) kini dijual dengan harga Rp 12.810 per liter, naik dari Rp 12.370. Shell V-Power juga mengalami kenaikan cukup signifikan ke angka Rp 13.300 per liter, sementara V-Power Diesel dan V-Power Nitro+ menyentuh angka masing-masing Rp 13.830 dan Rp 13.540 per liter. Hal ini memberi gambaran bahwa penyesuaian harga bukan hanya inisiatif pemerintah atau BUMN semata, melainkan juga bagian dari tren global yang tak terhindarkan.
Ketika harga BBM naik, tentu konsekuensinya menyentuh banyak lapisan. Bagi kalangan menengah atas yang menggunakan mobil pribadi dengan mesin injeksi yang mengharuskan penggunaan BBM RON tinggi, biaya harian akan meningkat. Namun di sisi lain, bagi pelaku usaha logistik atau transportasi yang menggunakan Dexlite dan Pertamina Dex, dampaknya bisa lebih terasa karena skala pemakaian yang besar. Kenaikan BBM non-subsidi otomatis akan mendorong biaya operasional yang lebih tinggi, dan ini bisa bermuara pada inflasi harga barang dan jasa, terutama untuk sektor-sektor yang sangat sensitif terhadap fluktuasi BBM seperti pengiriman, pertanian, dan perikanan.
Di balik keputusan penyesuaian harga ini, ada niat pemerintah untuk menjalankan mekanisme pasar yang sehat. Harga BBM non-subsidi memang sudah semestinya fluktuatif mengikuti harga minyak dunia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan biaya distribusi serta logistik. Kebijakan ini juga menjadi cara agar subsidi energi yang selama ini membebani APBN dapat lebih tepat sasaran, hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan, melalui produk BBM subsidi seperti Pertalite dan Biosolar. Namun realitasnya tidak selalu berjalan semulus teori. Dalam praktik, masyarakat belum sepenuhnya memiliki alternatif transportasi yang murah dan efisien untuk mengimbangi naiknya harga BBM non-subsidi.
Pemerintah tampaknya juga sedang menguji batas ketahanan daya beli masyarakat. Bila dalam waktu dekat tidak ada kebijakan kompensasi seperti subsidi silang atau pembatasan BBM subsidi agar tidak disalahgunakan oleh kalangan mampu, maka risiko pelebaran jurang sosial akan semakin besar. Orang-orang kaya tetap bisa membeli Pertamax Turbo atau Shell V-Power, sementara masyarakat menengah ke bawah harus puas dengan antrian panjang Pertalite, atau bahkan kembali menggunakan kendaraan umum yang kualitasnya belum merata di seluruh Indonesia.
Kenaikan harga BBM non-subsidi juga memicu diskursus politik yang menarik. Pemerintahan Prabowo-Gibran, yang baru berjalan beberapa bulan, kini dihadapkan pada tantangan mengelola ekspektasi publik. Banyak pihak yang memantau langkah-langkah ekonomi mereka, termasuk dalam sektor energi. Jika kebijakan ini tidak disertai dengan komunikasi publik yang jujur, transparan, dan solutif, maka mudah sekali lawan politik menggunakan isu ini untuk menggembosi dukungan masyarakat. Sudah bukan rahasia bahwa harga BBM selalu menjadi senjata retoris dalam pertarungan politik, karena langsung menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat.
Meski demikian, terdapat pula sisi positif dari penyesuaian harga BBM secara periodik seperti ini. Praktik transparansi harga yang mengacu kepada formula internasional membuat pemerintah lebih profesional dalam mengelola sektor energi. Tidak ada lagi monopoli narasi, karena masyarakat kini bisa membandingkan harga Pertamina dengan Shell, BP, Vivo, atau Total. Hal ini mendorong kompetisi sehat dan bisa menjadi dasar bagi konsumen dalam memilih BBM yang sesuai dengan kualitas dan harga yang ditawarkan. Jika sistem ini dijaga konsistensinya, maka dalam jangka panjang pasar BBM di Indonesia bisa menjadi lebih terbuka, efisien, dan tidak terlalu membebani anggaran negara.
Namun tentu saja, keterbukaan pasar harus dibarengi dengan pengawasan yang kuat agar tidak terjadi kartel harga. Bila seluruh operator SPBU hanya bermain pada kisaran harga yang seragam tanpa alasan teknis yang jelas, maka itu patut dicurigai sebagai praktik oligopoli. Dalam kondisi seperti itu, konsumen tidak punya pilihan nyata, karena harga sudah “dikondisikan” oleh kesepakatan tak tertulis di antara para pemain utama. Maka Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) serta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus aktif mengawasi.
Satu hal lagi yang harus dicatat adalah pentingnya diversifikasi sumber energi. Pemerintah tidak bisa terus-menerus menggantungkan kebijakan ekonomi pada naik-turunnya harga BBM fosil. Transisi energi harus menjadi agenda nyata, bukan sekadar slogan. Bila pemerintah serius dengan Pertamax Green atau BBM campuran biofuel lainnya, maka insentif harus diberikan, bukan malah menaikkan harganya. Jika kendaraan listrik ingin didorong penggunaannya, maka infrastruktur charging station harus diperbanyak dan harga kendaraan listrik diturunkan melalui kebijakan fiskal seperti insentif pajak, potongan PPnBM, atau subsidi langsung.
Secara keseluruhan, kebijakan menaikkan harga BBM non-subsidi mulai 1 Juli 2025 adalah langkah yang masuk akal dari sudut pandang fiskal dan mekanisme pasar. Namun tetap harus dipahami bahwa setiap kenaikan harga BBM, sekecil apa pun, menyentuh urat nadi kehidupan masyarakat. Pemerintah perlu memastikan bahwa langkah ini tidak menjadi pukulan berat bagi stabilitas sosial dan ekonomi. Transparansi, perlindungan konsumen, serta arah kebijakan energi jangka panjang adalah tiga hal yang harus berjalan beriringan agar harga BBM yang fluktuatif ini tidak menimbulkan gejolak sosial yang berkepanjangan.
Dengan harga Pertamax dan Shell Super yang kini hampir sejajar di angka Rp 12.500–Rp 12.800, masyarakat akan semakin kritis dalam memilih. Kenaikan harga juga akan mendorong sebagian konsumen beralih kembali ke BBM subsidi seperti Pertalite, sehingga menimbulkan beban baru dalam pengawasan distribusi. Pada titik ini, peran pemerintah dalam edukasi publik dan manajemen distribusi menjadi semakin krusial. Jika tidak dikelola dengan cermat, maka kebijakan yang niat awalnya untuk efisiensi fiskal justru bisa menjadi bumerang sosial-politik yang berat. Maka dari itu, keputusan menaikkan harga BBM non-subsidi bukan sekadar soal angka, tetapi ujian terhadap sensitivitas sosial, kecerdasan manajemen, dan ketulusan arah kebijakan energi nasional. (PUTRI/DP)
Apa Reaksi Anda?






