Pergantian Kapolri di Era Prabowo - Antara Kepentingan Politik, Urgensi Reformasi, dan Taruhan Kepercayaan Publik

Pergantian Kapolri di Era Prabowo - Antara Kepentingan Politik, Urgensi Reformasi, dan Taruhan Kepercayaan Publik

Pergantian Kapolri di Era Prabowo - Antara Kepentingan Politik, Urgensi Reformasi, dan Taruhan Kepercayaan Publik

detakpolitik.com, Jakarta - Isu yang berembus mengenai kemungkinan Presiden Prabowo Subianto mengirimkan surat kepada DPR untuk mengganti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menimbulkan gelombang spekulasi yang tidak sederhana. Meski pihak Istana telah buru-buru membantah kabar itu, tetap saja publik sulit mengabaikan pertanyaan besar: mengapa isu ini muncul, mengapa begitu cepat setelah transisi kekuasaan, dan apakah memang ada kebutuhan mendesak atau justru sekadar manuver politik yang dibungkus rapi dengan narasi “perbaikan institusional”? Di ruang publik, pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak hanya berfungsi sebagai gosip politik, tetapi juga sebagai refleksi atas hubungan erat antara kepolisian dan dinamika kekuasaan di negeri ini.

Kita tahu, Jenderal Listyo Sigit Prabowo bukanlah figur sembarangan. Ia dipilih langsung oleh Presiden Jokowi, dan sejak awal dianggap sebagai salah satu loyalis yang paling dipercaya. Jejaknya sebagai ajudan pribadi Jokowi di masa lalu membuat hubungan keduanya terbangun bukan hanya di level profesional, tetapi juga di level personal. Selama masa kepemimpinannya, banyak catatan positif yang ia torehkan. Polri di bawah kepemimpinannya relatif stabil, terutama di tahun politik yang panas menjelang Pemilu 2024. Ketika suhu politik naik, ketika polarisasi masyarakat begitu tajam, Polri di bawah komando Listyo berhasil menjaga proses demokrasi tetap berlangsung tanpa kekacauan besar. Keamanan pemilu, meski penuh dinamika, berjalan relatif damai. Itu bukan capaian kecil, mengingat risiko konflik sosial di Indonesia yang kerap tinggi saat pesta demokrasi berlangsung.

Selain itu, Listyo juga dikenal sebagai pemimpin yang mencoba mendorong reformasi pelayanan publik. Program digitalisasi layanan Polri, mulai dari SIM online, SKCK online, hingga upaya mendorong transparansi pelayanan kepolisian, memang belum sempurna, tetapi menjadi fondasi yang cukup baik untuk membawa Polri ke era modern. Upaya itu perlu diapresiasi, karena bagaimanapun publik telah lama menaruh kecurigaan kepada Polri, menilai bahwa institusi ini seringkali lebih berpihak pada kepentingan elite ketimbang masyarakat. Dalam konteks ini, langkah Listyo memberi sedikit udara segar, walau jalan reformasi jelas masih panjang.

Namun, publik juga tidak bisa melupakan bahwa masa kepemimpinan Listyo sempat diguncang dengan skandal besar, yakni kasus Ferdy Sambo. Kasus ini adalah luka terbuka bagi Polri. Seorang perwira tinggi kepolisian yang terjerat kasus pembunuhan, lalu terbongkar jaringan kekuasaan internal yang korosif, benar-benar mengguncang kepercayaan masyarakat. Bahkan banyak kalangan yang menilai kasus Sambo memperlihatkan wajah asli Polri: penuh intrik, penuh persekongkolan, dan jauh dari nilai profesionalitas. Di sinilah tantangan terbesar Listyo terlihat. Ia berhasil memimpin Polri melewati badai itu dengan tegas, mencopot banyak pejabat, menindak beberapa perwira, dan berusaha memulihkan citra. Tetapi trauma publik tidak hilang begitu saja. Skandal Sambo menjadi penanda bahwa betapa beratnya membersihkan institusi kepolisian dari dalam, karena yang dihadapi bukan sekadar oknum, melainkan kultur yang sudah mengakar.

Dalam konteks itulah isu pergantian Kapolri oleh Presiden Prabowo menjadi menarik. Jika benar ada rencana pergantian, maka muncul pertanyaan tajam: apakah Prabowo benar-benar ingin mempercepat reformasi Polri, ataukah hanya ingin mengonsolidasikan kekuasaan politiknya dengan menempatkan figur yang lebih dekat, lebih loyal, dan lebih bisa dikendalikan olehnya? Sebagai presiden baru, Prabowo tentu ingin memastikan bahwa seluruh instrumen negara berada dalam satu garis komando. Polri, bersama TNI, adalah pilar utama dalam menjaga stabilitas politik dan keamanan. Seorang Kapolri yang bukan “orangnya” akan selalu menjadi potensi risiko, apalagi jika Kapolri itu memiliki sejarah kedekatan dengan presiden sebelumnya.

Kita tidak boleh naif. Di negeri ini, pergantian Kapolri hampir selalu sarat dengan nuansa politik. Sejarah panjang Polri menunjukkan bahwa jabatan Kapolri adalah salah satu posisi paling strategis dalam struktur negara. Ia bukan hanya kepala kepolisian, tetapi juga “panglima politik” dalam arti yang lebih halus. Polri memiliki akses ke informasi intelijen, memiliki kendali atas pengamanan publik, dan bisa menjadi penentu arah stabilitas politik dalam negeri. Dengan kekuasaan sebesar itu, tidak heran jika setiap presiden ingin memastikan bahwa orang yang duduk di kursi Kapolri adalah orang yang bisa dipercaya sepenuhnya. Dari sini, spekulasi bahwa Prabowo ingin mengganti Listyo demi menempatkan “orangnya sendiri” menjadi masuk akal.

Tetapi di sisi lain, kita juga harus mempertimbangkan apakah ada alasan rasional di luar politik. Bisa saja Prabowo menilai bahwa Polri membutuhkan energi baru. Dalam berbagai kesempatan, Prabowo menekankan bahwa era kepemimpinannya akan berbeda. Ia membawa retorika tentang Indonesia yang harus kuat, disiplin, dan berdaulat. Untuk mewujudkan visi itu, ia mungkin merasa perlu menempatkan figur yang dianggap lebih sejalan dengan gaya kepemimpinannya. Jika Listyo dianggap terlalu lembut, terlalu kompromistis, atau terlalu dekat dengan gaya kepemimpinan Jokowi, maka menggantinya bisa dianggap sebagai langkah untuk menginjeksi “darah baru” dalam tubuh Polri.

Dampak dari pergantian ini jelas tidak kecil. Di level internal Polri, pergantian yang terlalu dini berpotensi menimbulkan gesekan. Para perwira tinggi tentu memiliki kalkulasi karier, dan setiap pergantian Kapolri selalu diikuti dengan pergeseran besar-besaran di struktur internal. Mereka yang merasa dekat dengan Listyo bisa tersisih, sementara mereka yang dianggap dekat dengan Prabowo bisa naik. Pergeseran semacam itu bisa menimbulkan ketidakpuasan, bahkan memperlebar rivalitas internal. Jika tidak dikelola dengan bijak, Polri bisa terjebak dalam konflik kepentingan yang justru mengganggu soliditas institusi.

Di mata publik, pergantian Kapolri yang tidak memiliki alasan kuat akan segera terbaca sebagai langkah politis. Publik kita tidak bodoh. Mereka bisa membedakan apakah sebuah kebijakan diambil karena kebutuhan objektif atau sekadar kepentingan politik. Jika publik melihat pergantian ini sebagai upaya “balas budi politik” atau sekadar konsolidasi kekuasaan, maka yang akan rusak bukan hanya citra presiden, tetapi juga citra Polri itu sendiri. Polri akan kembali dianggap sebagai “alat kekuasaan” dan bukan sebagai institusi profesional yang netral. Kepercayaan publik yang mulai pulih pasca kasus Sambo akan kembali runtuh.

Sebaliknya, jika Prabowo bisa membuktikan bahwa pergantian itu benar-benar didasarkan pada kebutuhan institusional misalnya, kebutuhan mempercepat pemberantasan narkoba yang kian mengkhawatirkan, kebutuhan memperkuat pengamanan di wilayah perbatasan, atau kebutuhan menghadapi ancaman keamanan transnasional maka publik mungkin bisa menerima. Tetapi sekali lagi, ini membutuhkan penjelasan yang transparan. Tanpa itu, semua hanya akan dianggap sebagai politik belaka.

Pada akhirnya, persoalan ini menempatkan Presiden Prabowo dalam posisi yang serba sulit. Jika ia tidak mengganti Listyo, ia bisa dianggap membiarkan Polri tetap dalam bayang-bayang warisan Jokowi. Jika ia mengganti Listyo terlalu cepat, ia bisa dituduh melakukan politisasi aparat keamanan demi kepentingan kekuasaan pribadi. Pilihan manapun memiliki risiko. Namun dalam politik, risiko adalah bagian dari permainan. Yang menentukan adalah bagaimana ia mengelola persepsi publik dan menjaga keseimbangan antara kebutuhan politik dan kebutuhan institusional.

Maka, isu ini sesungguhnya adalah cermin yang memperlihatkan wajah relasi antara kekuasaan dan institusi penegak hukum di Indonesia. Apakah Polri akan terus-menerus menjadi alat politik setiap presiden, ataukah suatu saat bisa benar-benar berdiri sebagai institusi profesional yang netral, tegak di atas hukum, dan dipercaya rakyat? Pertanyaan itu tidak hanya untuk Prabowo, tetapi untuk kita semua sebagai bangsa. Karena sejatinya, Polri adalah milik rakyat, bukan milik penguasa yang sedang berkuasa. Dan publik akan terus menagih jawaban itu, dari presiden manapun yang berani bermain dengan kursi Kapolri. (Widodo/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow