Tangisan Immanuel Ebenezer alias Noel Pecah, apakah karna nominal korupsinya terlalu tanggung/Kecil? Hanya 3 Miliayar?
Tangisan Immanuel Ebenezer alias Noel Pecah, apakah karna nominal korupsinya terlalu tanggung/Kecil? Hanya 3 Miliayar?

detakpolitik.com, Jakarta - Ketika seorang pejabat publik yang selama ini tampil penuh percaya diri, lantang berbicara di depan kamera, dan sering berlagak seolah dirinya benteng moral bangsa, tiba-tiba tertangkap basah dalam dugaan skandal suap, biasanya ada dua ekspresi standar yang muncul: yang pertama adalah wajah tebal penuh senyum seolah-olah ia sedang menghadiri resepsi pernikahan, dan yang kedua adalah wajah penuh air mata yang dimainkan demi mengundang simpati publik. Immanuel Ebenezer, atau yang akrab disapa Noel, memilih opsi kedua. Tangisnya pecah di hadapan media, bukan di ruang sunyi pengakuan dosa, melainkan di panggung yang sesungguhnya paling ia kuasai: panggung pencitraan.
Pertanyaan besar lalu muncul: apa sebenarnya yang membuat Noel menangis? Apakah air mata itu lahir dari rasa sesal karena telah mengecewakan Presiden Prabowo yang memberinya kepercayaan sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan? Apakah itu tangis karena beban moral telah menodai nama baik keluarga dan anak istrinya? Ataukah justru, dengan satir yang lebih getir, ia menangis karena nominal korupsinya terlalu tanggung, terlalu kecil untuk ukuran pejabat negara yang biasa mengatur anggaran triliunan? Rp3 miliar angka yang bagi rakyat jelata merupakan harta karun seumur hidup, namun bagi pejabat negeri ini hanyalah recehan yang tidak sebanding dengan risiko penjara puluhan tahun.
Bayangkan, seorang Wamenaker yang posisinya strategis, yang bisa dengan mudah mendekati pusat-pusat kekuasaan, yang punya jejaring politik luas, akhirnya terciduk hanya karena Rp3 miliar. Itu jumlah yang dalam dunia politik sering dianggap “uang bensin,” sekadar pelicin dalam rapat proyek. Maka tangis Noel terasa seperti ironi yang sempurna: ia bukan menangis karena bersalah, tapi menangis karena gagal mengambil lebih banyak. Tangis itu bukan tangis penyesalan, tapi tangis penyesalan yang salah alamat karena kalaupun mau “main api,” mestinya sekalian saja dengan angka yang bisa membiayai generasi cucu-cicitnya, bukan sekadar satu-dua tahun pesta pora.
Di sinilah drama politik Indonesia kembali mempertontonkan absurditasnya. Orang-orang yang dulu tampil sebagai relawan lantang, pembela penguasa, penjaga moralitas politik, ternyata justru terjerembab dalam jebakan klasik: kerakusan yang dibungkus dengan pembenaran. Noel, yang dulunya dikenal sebagai loyalis militan, kini berubah menjadi bahan tertawaan publik. Bayangkan bagaimana rakyat kecil yang berdesakan di KRL, yang harus memikirkan ongkos Rp5 ribu saja sudah berkeringat dingin, menyaksikan pejabat kelas wamen menangis karena kasus Rp3 miliar. Betapa timpang rasa keadilan ini: untuk rakyat kecil, satu-dua lembar uang kertas bisa menentukan nasib anak sekolah atau dapur tetap mengepul, sementara bagi pejabat, miliaran rupiah hanyalah tiket untuk membeli gaya hidup instan.
Mungkin yang membuat tangis Noel semakin tragikomik adalah timing-nya. Baru saja Presiden Prabowo Subianto memulai pemerintahan dengan janji besar: membangun bangsa, menghapus mafia, dan menegakkan disiplin birokrasi. Dalam fase awal ini, mestinya para pembantunya tampil dengan integritas penuh, bukan justru menjadi beban politik. Noel, alih-alih memperkuat posisi Presiden, justru menghadirkan skandal. Maka, permintaan maaf Noel kepada Presiden terasa bagai klise yang kosong. Permintaan maaf itu memang wajib diucapkan, tetapi apakah cukup? Tidak. Sebab luka politik yang ditimbulkannya jauh lebih dalam daripada sekadar air mata yang jatuh di ruang konferensi pers.
Publik pun mencibir: kalau korupsinya triliunan, mungkin masih bisa dipahami mengapa orang berani mempertaruhkan jabatan dan nama baik. Tetapi Rp3 miliar? Itu terlalu tanggung, terlalu kecil untuk skandal sebesar ini. Noel tampak seperti maling yang nekat mencuri sepeda motor di depan markas polisi: bukan hanya salah langkah, tapi juga konyol. Ia sudah tahu risiko besar di depan mata, tapi tetap saja dijalani. Inilah yang membuat banyak orang percaya bahwa tangisnya bukanlah ekspresi kesadaran moral, melainkan ekspresi kegagalan strategi.
Namun, jangan salah, tangis dalam politik sering lebih kuat daripada dalil hukum. Ada banyak contoh bagaimana pejabat menangis di depan kamera, lalu publik pelan-pelan melunak, lupa akan kesalahan yang diperbuat. Tangis adalah senjata emosional yang dimainkan dalam dramaturgi politik. Dan Noel, sebagai aktivis yang kenyang panggung, tahu betul bagaimana memainkan peran itu. Sayangnya, kali ini tangis itu justru menimbulkan efek sebaliknya. Publik melihatnya bukan sebagai manusia yang rapuh, tetapi sebagai aktor yang gagal menguasai naskah. Orang-orang justru menertawakan: "Masak Wamenaker kelas nasional cuma main 3 M doang? Itu sih masih level lurah nakal."
Ada juga dimensi lain yang patut disorot: Noel selama ini terkenal keras dalam retorika politik, kerap menyerang lawan-lawan ideologisnya dengan kata-kata tajam. Ia tampil seolah-olah pejuang keadilan. Kini, semua retorika itu runtuh seketika. Air matanya justru menjadi simbol betapa rapuhnya moralitas seorang manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan dan uang. Publik yang dulu mungkin segan, kini dengan enteng berkata: "Ternyata pejuang kita ini roboh bukan oleh peluru lawan, tapi oleh aroma amplop."
Tangis Noel juga bisa dibaca sebagai bentuk keterkejutan. Ia mungkin tak menyangka KPK masih punya taring, masih bisa menciduk pejabat sekelas dirinya. Selama ini, ada persepsi bahwa KPK sudah melemah, hanya tinggal nama, hanya sekadar macan ompong. Noel barangkali merasa aman, merasa kasusnya bisa berlalu tanpa sorotan. Tetapi kenyataan membuktikan sebaliknya. Justru karena kasusnya muncul di awal pemerintahan, ia menjadi sorotan yang berlipat. Maka tangisnya adalah tangis orang yang kaget karena merasa dikhianati oleh situasi: “Mengapa aku? Mengapa sekarang? Mengapa cuma 3 M?”
Dalam konteks yang lebih luas, Noel hanyalah satu episode dari drama panjang korupsi di negeri ini. Tetapi ada simbolisme yang kuat: seorang relawan garis keras yang akhirnya terjerembab oleh uang. Dari dulu publik tahu bahwa politik sering menjadi ladang basah bagi mereka yang rakus. Namun Noel menambah daftar bukti: bahkan orang-orang yang dulu mengaku rela berkorban demi bangsa, pada akhirnya sama saja ketika berhadapan dengan kekuasaan, iman bisa digadaikan dengan mudah. Tangisnya tidak menghapus fakta ini. Justru, tangis itu mempertebal ironi.
Lalu, apa pelajaran bagi rakyat? Pertama, jangan mudah percaya pada retorika moral para politisi dan aktivis. Air mata mereka bisa berubah menjadi komoditas politik, sama halnya dengan pidato-pidato heroik yang ternyata kosong. Kedua, kasus Noel menunjukkan betapa lemahnya mekanisme integritas di tubuh pemerintahan jika seleksi pejabat masih bisa meloloskan orang-orang dengan mentalitas korup. Ketiga, bagi rakyat kecil, jangan pernah membandingkan diri dengan pejabat semacam ini. Sebab kalau Anda menangis karena kehilangan Rp50 ribu, itu air mata sejati. Tapi kalau pejabat menangis karena korupsinya cuma 3 M, itu air mata palsu yang lahir dari rasa tanggung, rasa gagal, rasa tak puas.
Dan mungkin, yang paling menggelitik adalah bayangan tentang apa yang akan terjadi di balik jeruji. Apakah Noel akan terus menangis di sel tahanan? Ataukah nanti ia akan kembali tertawa, menikmati fasilitas, dan merancang strategi politik untuk comeback? Sejarah politik Indonesia penuh dengan kisah orang-orang yang tumbang karena kasus hukum, lalu kembali dengan gagah seakan-akan tidak pernah bersalah. Bisa jadi, tangisan Noel hanyalah prolog dari kisah lebih panjang. Hari ini ia menjadi bahan tertawaan, tetapi siapa tahu lima tahun lagi ia kembali tampil, dengan narasi "aku korban kriminalisasi."
Namun untuk saat ini, publik berhak menertawakan. Air mata itu terlalu mahal untuk dipercayai, tapi terlalu murah untuk diabaikan. Tangisan Noel adalah potret paling jujur dari wajah pejabat kita: mereka bisa marah, bisa bersumpah, bisa berteriak lantang, tapi pada akhirnya roboh hanya karena nominal yang bahkan bagi standar pejabat, terhitung receh. Maka publik sah untuk bertanya: "Apakah benar ini soal rasa bersalah, ataukah sekadar soal angka yang tanggung?"
Sebab, sekali lagi, di republik ini korupsi bukan hanya soal uang, tetapi juga soal logika. Dan logika Noel kali ini jelas kacau: menangis karena gagal jadi koruptor kelas kakap, menangis karena hanya ketahuan 3 M. Ironi ini akan terus hidup dalam ingatan rakyat, entah ia suka atau tidak. (jonri/dp)
Apa Reaksi Anda?






