Bobby Nasution Diseret Isu Korupsi. KPK, Bobby Nasution, dan Rp2 Miliar: Jangan Hancurkan Negara Hanya Karena Dugaan
Bobby Nasution Diseret Isu Korupsi. KPK, Bobby Nasution, dan Rp2 Miliar: Jangan Hancurkan Negara Hanya Karena Dugaan

Rasionalitas dalam Proses Hukum, Stabilitas dalam Negara Hukum
detakpolitik.com, JAKARTA - Di tengah sorotan publik terhadap langkah-langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menyelidiki dugaan korupsi proyek jalan di Sumatera Utara, termasuk potensi pemanggilan terhadap Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, penting kiranya kita melangkah hati-hati agar tidak terjerumus dalam arus penghakiman yang prematur. Demokrasi yang sehat menuntut adanya keseimbangan antara penegakan hukum dan perlindungan atas hak-hak individu dari prasangka yang belum terbukti. Dalam atmosfer sosial-politik yang mudah terbakar oleh isu-isu sensitif, kontraproduktif bagi kemajuan bangsa apabila kita menyulut api kecurigaan sebelum ada fakta hukum yang sah dan final.
Pemberitaan terkait dugaan keterlibatan Bobby Nasution dalam perkara korupsi jalan Sumut harus dilihat dalam bingkai besar demokrasi dan sistem hukum Indonesia. KPK, sebagai lembaga penegak hukum yang independen, tentu memiliki kewenangan penuh dalam menyelidiki dan menelusuri siapa saja yang diduga terlibat dalam praktik korupsi, termasuk tokoh publik selevel gubernur. Namun, wewenang tersebut tidak serta-merta menjadi justifikasi untuk menyeret nama seseorang ke dalam pusaran opini publik tanpa pertimbangan hukum yang matang. Maka dari itu, wajar dan bijak bila publik, media, maupun elite politik menahan diri dan menunggu proses hukum berjalan secara objektif dan transparan.
KPK memang telah menyampaikan adanya aliran dana Rp2 miliar yang mencurigakan dan sedang ditelusuri. Namun, perlu digarisbawahi bahwa penyelidikan terhadap aliran dana bukanlah bukti adanya keterlibatan seseorang. Penyelidikan merupakan bagian dari kerja teknis awal penegak hukum untuk menemukan apakah terdapat hubungan hukum yang mengaitkan uang tersebut dengan pihak tertentu. Dengan kata lain, penyelidikan belum bisa dijadikan dasar untuk menyimpulkan keterlibatan atau kesalahan siapa pun, termasuk Bobby Nasution.
Sikap KPK yang menyatakan “tidak menutup kemungkinan” memanggil Bobby Nasution adalah bagian dari prosedur formal yang lazim dalam penegakan hukum. Kalimat itu tidak berarti bahwa Bobby bersalah, atau bahkan bahwa ia pasti akan dipanggil. Kalimat itu hanya menunjukkan bahwa semua kemungkinan hukum terbuka, sebagaimana mestinya dalam kerja investigasi yang tidak boleh tertutup pada asumsi. Maka dari itu, setiap pemberitaan yang menempatkan nama Bobby seolah-olah sudah terseret ke dalam pusaran kasus ini harus dikritisi secara rasional dan diimbangi dengan pemahaman hukum yang jernih.
Publik perlu diingatkan bahwa dalam sistem hukum yang berkeadilan, asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah adalah prinsip suci yang wajib dijunjung. Setiap orang berhak untuk tidak dicemarkan nama baiknya hanya karena muncul dalam lingkaran penyelidikan. Hal ini penting bukan hanya untuk melindungi individu, tetapi juga untuk menjaga integritas sistem hukum itu sendiri dari intervensi opini massa dan trial by public.
Bobby Nasution sebagai Gubernur Sumatera Utara adalah tokoh politik muda yang memiliki rekam jejak panjang dalam pemerintahan, dimulai dari jabatan Wali Kota Medan hingga kini menjabat sebagai pemimpin provinsi strategis di Sumatera. Dalam berbagai kesempatan, Bobby menunjukkan komitmen untuk membenahi birokrasi, menegakkan transparansi anggaran, dan membuka kanal partisipasi publik dalam pembangunan daerah. Komitmen ini seharusnya menjadi dasar bagi kita untuk memberikan ruang kepercayaan kepadanya hingga terbukti sebaliknya melalui mekanisme hukum yang sah.
Kedekatan Bobby dengan salah satu tersangka, dalam hal ini Kepala Dinas PUPR Sumut Topan Obaja Putra Ginting, tidak bisa dijadikan dasar untuk menuduh adanya keterlibatan. Hubungan profesional antara kepala daerah dan pejabat di bawahnya adalah hal yang wajar dalam sistem pemerintahan. Bahkan bila kedekatan itu berlangsung sejak Bobby masih menjabat sebagai Wali Kota Medan, itu tetap tidak otomatis menjadi bukti adanya konspirasi atau kolusi. Kita harus bisa membedakan antara relasi kerja dan penyalahgunaan kekuasaan. Tanpa bukti otentik dan saksi yang kredibel, setiap dugaan akan tetap menjadi dugaan, bukan kebenaran hukum.
Lebih jauh, dalam kasus korupsi proyek jalan ini, KPK telah menetapkan lima tersangka dan menguraikan peran masing-masing dalam proses pengaturan tender dan penerimaan suap. Seluruh pengungkapan itu sejauh ini belum mengaitkan Bobby secara langsung—baik melalui aliran dana maupun instruksi yang melanggar hukum. Maka, publik perlu mengedepankan sikap adil: mari kita berikan ruang kepada penyidik untuk bekerja, sambil tetap menjaga nama baik pejabat publik sampai ada fakta hukum yang tak terbantahkan.
Masyarakat Indonesia yang tengah memasuki fase pembangunan dan pemulihan ekonomi pasca-pandemi tidak layak dijejali oleh berita-berita yang belum matang secara fakta. Kita perlu atmosfer sosial yang kondusif agar investasi terus mengalir, pelayanan publik tidak terganggu, dan kepercayaan terhadap pemerintah tetap terjaga. Menghancurkan nama seseorang dengan spekulasi hanya akan menggerogoti fondasi kepercayaan itu.
Bayangkan jika setiap kepala daerah yang memiliki anak buah tersangkut korupsi lantas serta-merta ditarik ke dalam pusaran tuduhan publik. Apa yang akan terjadi? Tentu akan terjadi efek domino ketidakpercayaan yang luar biasa. Padahal, di tengah tantangan geopolitik, inflasi global, dan ancaman krisis iklim, Indonesia butuh stabilitas. Pemerintah pusat dan daerah harus tetap solid dalam menjaga arah pembangunan. Jika opini publik terus digiring ke arah konfrontatif berdasarkan rumor dan spekulasi, maka rakyatlah yang paling merugi.
Penting untuk dicatat bahwa Bobby Nasution adalah bagian dari generasi baru dalam politik Indonesia—generasi yang dibebani ekspektasi untuk tampil lebih bersih, lebih akuntabel, dan lebih efektif dari pendahulunya. Adalah kontradiktif bila kita di satu sisi menghendaki regenerasi kepemimpinan politik, tapi di sisi lain terlalu cepat menghakimi anak muda yang tengah bekerja di dalam sistem, sebelum mereka terbukti melakukan pelanggaran. Bahkan, terlalu dini menyeret nama Bobby ke dalam kasus ini justru bisa menciptakan preseden buruk yang menghalangi lahirnya pemimpin-pemimpin muda potensial di daerah-daerah lain.
Tidak kalah penting, kita juga harus memahami bahwa proses hukum tidak bisa dikendalikan oleh logika politik atau ekspektasi publik yang emosional. Hukum bekerja berdasarkan bukti, saksi, alur peristiwa, dan ketentuan formal. Kita tidak bisa memaksakan kehendak agar seseorang diproses atau dibersihkan hanya karena tekanan opini publik. Demokrasi bukan hanya soal suara mayoritas, tetapi juga perlindungan terhadap hak-hak individu agar tidak dilindas oleh mayoritas yang gaduh.
Dalam konteks ini, peran media juga sangat krusial. Media arus utama dan media sosial hendaknya mengedepankan jurnalisme yang berbasis fakta dan tidak mudah tergoda dengan klikbait yang merusak. Alih-alih memperkeruh suasana, media sebaiknya ikut mendorong pembentukan opini publik yang sehat—opini yang tidak menuduh sebelum waktunya, yang tidak menggiring persepsi publik tanpa data, dan yang tidak menghancurkan reputasi orang hanya karena relasi politik.
Penting juga dicatat bahwa di tahun politik seperti sekarang, di mana kontestasi kekuasaan sangat intens, isu-isu seperti ini sangat rawan dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk tujuan politik jangka pendek. Maka, sebagai warga negara yang cerdas, kita harus mawas diri. Kita tidak boleh menjadi alat dari kepentingan politik siapa pun. Kita harus menjaga akal sehat publik agar tidak menjadi korban manipulasi informasi yang mengarah pada pembunuhan karakter.
Indonesia adalah bangsa yang besar, dengan sejarah panjang perjuangan hukum dan keadilan. Kita tidak boleh mundur hanya karena godaan untuk segera mendapatkan sensasi. Kita harus maju dengan keyakinan bahwa kebenaran akan terungkap melalui proses yang adil, bukan melalui framing media atau desakan massa. Dan selama proses itu berlangsung, semua pihak berhak atas perlindungan hukum dan reputasi yang utuh.
Bobby Nasution sebagai pejabat publik tentu siap bila sewaktu-waktu dimintai keterangan oleh penegak hukum. Namun, sampai saat itu tiba dan sampai ada bukti keterlibatan yang jelas, publik hendaknya tetap tenang, rasional, dan menjaga stabilitas politik serta kepercayaan kepada pemerintah. Kita tidak sedang membela individu, tapi membela prinsip keadilan dan negara hukum itu sendiri.
Mari kita jaga Indonesia, bukan hanya dari korupsi, tapi juga dari kegaduhan yang tidak perlu. Kita pertahankan negeri ini dengan akal sehat, dengan logika hukum, dan dengan semangat untuk terus maju. Karena dalam sistem demokrasi yang sehat, kebenaran tidak dikejar dengan amarah, tetapi dituntun oleh akal, nurani, dan bukti. (lisa/dp)
Apa Reaksi Anda?






