LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri) dan Mimpi Palsu Akreditasi: Saat Pendidikan Tinggi Menjadi Proyek Elite Berbungkus Mutu
LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri) dan Mimpi Palsu Akreditasi: Saat Pendidikan Tinggi Menjadi Proyek Elite Berbungkus Mutu

Akreditasi Mandiri, Integritas yang Tergadai: Ketika Standar Kualitas Ditetapkan di Atas Biaya, Bukan Mutu
Penulis Hengki Tamando Sihotang | Peneliti IOCSCIENCE
detakpolitik.com, SUMUT - Di atas kertas, kita diajarkan bahwa pendidikan adalah jalan menuju peradaban. Bahwa universitas adalah benteng terakhir akal sehat. Bahwa lembaga akreditasi hadir untuk menjaga mutu pendidikan agar tak tergelincir menjadi ladang komersialisasi. Namun di negeri ini, kertas tak selalu menjelma kenyataan. Tulisan-tulisan indah tentang kualitas sering kali terhapus oleh tinta-tinta transaksional. Dan salah satu wajah dari paradoks ini adalah Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) sebuah entitas yang katanya independen, tapi dalam praktiknya tak ubahnya menjadi bayang-bayang dari lembaga yang dinilainya sendiri.
LAM, yang seharusnya berdiri di atas prinsip obyektivitas, kini dipertanyakan independensinya secara terbuka. Alih-alih menjadi lembaga penjamin mutu, ia kerap dianggap justru menjadi gerbang legitimasi palsu bagi kampus-kampus yang sejatinya belum pantas mengklaim diri sebagai institusi pendidikan bermutu. Pertanyaannya: apakah LAM adalah pagar kualitas atau justru pintu belakang yang bisa dibuka siapa saja asal membawa cukup banyak uang dan koneksi?
Sungguh ironis ketika kita menyaksikan kenyataan pahit bahwa kampus-kampus yang bahkan belum memiliki gedung sendiri, yang hanya menyewa tiga empat lantai ruko sempit di pinggir kota, justru menyabet predikat “Baik Sekali” dalam akreditasi. Apa makna dari “baik sekali” jika ruang dosen tak ada, laboratorium hanya sebatas nama, dan ruang kelas sempit yang serupa gudang lebih layak disebut tempat bimbingan belajar ketimbang perguruan tinggi? Ini bukan sekadar soal estetika infrastruktur ini tentang keseriusan dalam membangun lingkungan akademik yang layak dan manusiawi.
Tapi jangan heran, sebab dalam logika akreditasi yang kini berkembang, bukan mutu yang diukur, melainkan kepatuhan terhadap format dokumen. Prosedur kaku, checklist kering, dan pengisian borang yang lebih mirip ujian administratif ketimbang proses penilaian substansi. Maka tak salah jika para pengelola kampus lebih sibuk menyiapkan dokumen ketimbang memperbaiki mutu. Sebab mereka tahu, dokumen bisa direkayasa, tapi memperbaiki sistem membutuhkan waktu dan integritas dua hal yang kian langka di tengah industri pendidikan kita yang semakin pragmatis.
Salah satu alat kekuasaan LAM yang paling kontroversial adalah pemaksaan terhadap kurikulum berbasis OBE (Outcome Based Education). Ide OBE memang tak keliru; di negara-negara maju ia menjadi instrumen penting untuk menyelaraskan capaian pembelajaran dengan kebutuhan dunia nyata. Tapi penerapan yang serampangan dan memaksa di Indonesia, tanpa pemahaman mendalam dan kesiapan sumber daya, justru menjadikan OBE sebagai jargon kosong.
Di lapangan, fakta yang menyakitkan adalah: pengakuan atas kurikulum berbasis OBE justru tergantung pada siapa yang menjadi narasumber pelatihannya. Jika narasumber berasal dari LAM, meskipun materinya dangkal dan implementasinya setengah hati, kurikulum itu tiba-tiba mendapat cap “OBE compliant.” Sebaliknya, jika perguruan tinggi merancang sendiri kurikulumnya dengan susah payah, mendatangkan pakar-pakar non-LAM, menyusun struktur capaian pembelajaran dengan serius, itu tak cukup. Kenapa? Karena tak ada stempel dari “orang dalam.” Ini bukan lagi persoalan ilmiah ini sudah masuk wilayah patronase dan gengsi kelembagaan. Di sinilah wajah pendidikan kita dipermalukan di depan etika akademik.
Lebih menyakitkan lagi adalah fakta bahwa akreditasi ini dibayar mahal oleh perguruan tinggi itu sendiri. Ya, dibayar. Bukan hanya biaya administrasi, tetapi juga seluruh operasional visitasi, akomodasi asesor, bahkan mungkin dalam beberapa kasus, ada “kebiasaan” di balik layar yang seolah menjadi rahasia umum: pemberian service yang “berlebihan” agar suasana penilaian menjadi lebih “ramah.” Biaya akreditasi yang membengkak, mulai dari Rp40 juta hingga Rp75 juta per program studi, bukan hanya beban finansial yang berat bagi kampus-kampus kecil, tapi juga menciptakan relasi timpang antara yang menilai dan yang dinilai.
Inilah ironi kita: dalam sistem yang katanya independen, justru kampuslah yang membiayai seluruh proses akreditasi. Bukankah ini mirip sidang pengadilan di mana terdakwa membiayai hakim? Lantas bagaimana kita bisa yakin bahwa hasil penilaiannya objektif? Di sini, pertanyaan moral menganga lebar: apakah asesor LAM bisa benar-benar menilai dengan hati nurani, jika ia tahu bahwa rektor, dekan, dan ketua prodi sudah bersusah payah mengeluarkan dana besar untuk “menjamu” mereka?
Tak sedikit cerita dari balik layar visitasi yang meresahkan. Asesor yang terlihat enggan memberi penilaian objektif karena tak tega menyakiti pihak kampus yang telah bersusah payah menyambut mereka. Asesor yang menutup mata pada kelemahan-kelemahan struktural karena merasa berhutang budi atas perlakuan yang nyaman selama visitasi. Kampus yang menyembunyikan kekurangan dengan “menyulap” dokumen dan merias tempat visitasi dalam waktu semalam. Semua menjadi drama akreditasi yang dikemas rapi demi satu tujuan: nilai baik.
Pemerintah dan Kementerian Pendidikan pun tak bisa cuci tangan dari kegaduhan ini. Sebab mereka justru yang membuka jalan bagi hadirnya LAM, menyerahkan sepenuhnya urusan mutu pendidikan tinggi kepada entitas di luar negara. Di atas nama otonomi, negara melepaskan tanggung jawabnya terhadap mutu. Tapi yang tak disadari adalah: otonomi tanpa pengawasan yang sehat hanya akan melahirkan lembaga yang merasa tak tersentuh hukum dan etika.
Maka jangan heran jika masyarakat perlahan mulai apatis terhadap makna akreditasi. Jika seorang lulusan dari kampus “akreditasi unggul” ternyata tak mampu menulis surat lamaran kerja dengan baik, siapa yang harus disalahkan? Jika program studi dengan predikat “baik sekali” ternyata tak memiliki dosen tetap yang cukup, apa arti semua simbol kualitas itu? Akreditasi yang seharusnya menjadi refleksi mutu telah berubah menjadi kosmetik kelembagaan.
Kita perlu jujur dan berani mengatakan bahwa sistem ini sedang sakit. Bahwa LAM dalam praktiknya tidak sedang menjaga kualitas, tapi justru menjadi bagian dari masalah. Pendidikan tinggi kita bukan hanya butuh evaluasi, tapi reformasi menyeluruh. Reformasi yang menyasar ke jantung persoalan: transparansi, integritas, profesionalisme.
Pendidikan tidak boleh disandera oleh birokrasi boros dan lembaga akreditasi yang menjelma menjadi lembaga jasa legalisasi mutu. Tidak boleh ada lagi tempat bagi “akreditasi semu” yang dibangun di atas relasi transaksional. Pendidikan harus kembali ke marwahnya: sebagai instrumen pembebasan, bukan legitimasi palsu.
Kini saatnya pemerintah turun tangan. Negara tidak boleh tinggal diam melihat lembaga yang mengklaim diri sebagai penjaga mutu justru terjebak dalam transaksi mutu semu. LAM harus diaudit secara menyeluruh bukan hanya audit finansial, tapi juga audit etik dan akademik. Jika tidak, maka sesungguhnya negara sedang membiarkan sistem pendidikan tingginya digerogoti dari dalam, dengan legalitas yang semu dan kualitas yang tak pernah menjadi prioritas.
Dan kepada masyarakat, para orang tua, mahasiswa, dan para akademisi muda: janganlah tertipu oleh label akreditasi di atas kertas. Lihatlah isi kampus, bukan sampulnya. Tanyakan: apakah dosennya berkualitas? Apakah ruang belajarnya layak? Apakah mahasiswa dibentuk untuk berpikir atau sekadar dikondisikan untuk mengejar IPK?
Jika kita terus membiarkan lembaga-lembaga seperti LAM berjalan tanpa koreksi, tanpa kritik, dan tanpa reformasi, maka yang terjadi bukan hanya degradasi pendidikan. Tapi pembusukan sistem dari dalam. Dan pada akhirnya, kita hanya akan mewarisi generasi yang terdidik secara administratif tapi kosong secara intelektual.
LAM bukan lembaga dewa. Ia harus diawasi. Ia harus diaudit. Ia harus dikritik. Karena hanya dengan itulah, pendidikan tinggi Indonesia bisa bangkit dari koma panjangnya. Dan hanya dengan itulah, bangsa ini bisa berharap pada generasi yang benar-benar terdidik bukan sekadar terakreditasi. (hengki/dp)
Apa Reaksi Anda?






