Mahfud MD Sebut Langkah Purnawirawan TNI Usulkan Pemakzulan Gibran Sah dan Elegan: Mahfud MD dan Pembenaran Elegan yang Menyesatkan

Mahfud Sebut Langkah Purnawirawan TNI Usulkan Pemakzulan Gibran Sah dan Elegan: Mahfud MD dan Pembenaran Elegan yang Menyesatkan

Mahfud MD Sebut Langkah Purnawirawan TNI Usulkan Pemakzulan Gibran Sah dan Elegan: Mahfud MD dan Pembenaran Elegan yang Menyesatkan

Penulis: Widodo Sihotang  | Peneliti Bidang Politik Detak Politika

detakpolitik.com, JAKARTA - Di tengah arus deras dinamika politik nasional, pernyataan Mahfud MD soal pemakzulan Gibran Rakabuming Raka oleh Forum Purnawirawan TNI tak pelak mengundang keheranan sekaligus keprihatinan mendalam. Bagaimana tidak, seorang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang dikenal luas sebagai cendekiawan hukum justru memilih menyematkan kata “elegan” untuk sebuah langkah yang sejatinya berpotensi mencederai akal sehat konstitusi dan menyuburkan semangat pemakzulan prematur. Klaim Mahfud bahwa langkah Forum Purnawirawan sah secara konstitusional dan mencerminkan demokrasi yang sehat, patut diuji lebih dalam: benarkah demikian, ataukah itu sekadar pembenaran politis yang dibungkus dengan jargon etika demokrasi?

Pertama-tama, perlu ditegaskan bahwa konstitusi Indonesia, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, memang memberi ruang bagi mekanisme pemakzulan. Tetapi ruang itu bukanlah ladang bebas untuk segala bentuk ketidakpuasan atau spekulasi moral. Pasal 7B UUD 1945 secara eksplisit menetapkan bahwa pemakzulan hanya dapat dilakukan apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, serta apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden. Bukankah sudah jelas? Maka ketika Forum Purnawirawan TNI menyodorkan alasan "etika", "kepantasan", atau "cacat prosedural dalam pencalonan", maka mereka sesungguhnya sedang menggiring isu politik menjadi alat pemakzulan yang tidak sesuai mekanisme hukum. Mahfud MD sebagai pakar hukum, sangat tahu akan hal ini. Namun alih-alih memberikan edukasi hukum kepada publik, ia justru melontarkan pernyataan yang mengaburkan batas antara kritik politik yang wajar dengan agenda pemakzulan yang menyesatkan.

Lebih jauh, Mahfud MD menyebut bahwa karena surat pemakzulan itu dikirim secara resmi ke DPR dan MPR, maka ia menyebutnya sebagai “elegan” dan sah. Padahal, elegan atau tidaknya suatu tindakan politik tidak bisa dinilai semata dari formalitas prosedural. Surat yang resmi tak serta merta menjadikannya mulia atau bermartabat. Nazi pun naik ke tampuk kekuasaan melalui prosedur demokratis yang “resmi” di parlemen Jerman pada 1930-an, tetapi apakah itu membuat langkah mereka sah secara moral? Dalam hal ini, “resmi” dan “konstitusional” bukanlah dua kata yang bisa digunakan secara bergantian tanpa konteks hukum yang mendalam. Surat resmi yang menyodorkan dasar tuduhan pemakzulan tanpa pembuktian hukum hanya akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi, menjadikan wakil rakyat sebagai hakim moral yang bebas menafsirkan etika politik semaunya. Ini bukan elegan, ini adalah bentuk baru dari populisme elitis yang bersembunyi di balik seragam pensiun dan bintang jasa.

Mahfud juga menyatakan bahwa para purnawirawan punya hak politik sebagai warga negara. Tidak ada yang menyangkal itu. Tapi hak politik bukanlah tiket bebas untuk mengintervensi proses kenegaraan dengan dalih idealisme veteran. Justru sebagai kelompok yang pernah berada dalam struktur militer, mereka mestinya menjadi garda terdepan dalam menjaga stabilitas dan kehormatan institusi, bukan menjadi pelopor keresahan politik dengan aroma pembangkangan sipil terselubung. Bukankah dalam tradisi militer, loyalitas terhadap konstitusi dan negara di atas segalanya? Bila para purnawirawan kini hendak menjadi oposisi aktif, hendaknya mereka bertarung di arena politik yang resmi dan terbuka—bukan dengan menyusupkan sentimen nostalgia militer ke dalam ruang sipil yang demokratis. Dan Mahfud, alih-alih mengingatkan akan pentingnya pemisahan peran sipil dan militer dalam demokrasi, justru memuji mereka sebagai contoh etika demokrasi. Ini jelas kontradiktif dengan semangat reformasi 1998 yang membatasi peran politik TNI demi menjaga netralitas dan supremasi sipil.

Kita juga tak boleh lupa bahwa dasar pemakzulan yang diusulkan Forum Purnawirawan sangat lemah dan problematis. Mereka mengutip Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memberi celah bagi Gibran untuk maju sebagai Cawapres sebagai “cacat hukum” karena Anwar Usman adalah pamannya. Tapi perlu dipahami bahwa MK sendiri sudah menjatuhkan sanksi etik berat kepada Anwar Usman, dan putusan tersebut sudah bersifat final dan mengikat. Artinya, dalam logika hukum, tidak ada lagi dasar yang sah untuk menggugat legalitas pencalonan Gibran melalui jalur MK. Memang benar ada persoalan etik di prosesnya, tetapi etik bukanlah pidana, dan tidak bisa menjadi dasar pemakzulan. Jika etika bisa digunakan sesuka hati untuk menjatuhkan pejabat publik, maka setiap kebijakan atau keputusan politik yang tidak disukai sekelompok elite bisa digiring menjadi agenda pemakzulan. Maka, bukankah justru ini yang akan menciptakan instabilitas dan krisis konstitusi yang jauh lebih berbahaya?

Yang lebih ironis lagi adalah ketika Mahfud MD menilai penyampaian aspirasi secara surat resmi lebih baik daripada “TikTok provokatif”. Pernyataan ini seolah ingin menjatuhkan kekuatan rakyat biasa yang menyuarakan kegelisahannya melalui media sosial, sembari mengangkat eksklusivitas suara elite veteran yang mengklaim moralitas lebih tinggi. Mahfud lupa, demokrasi bukan hanya memberi ruang kepada mereka yang punya pangkat dan akses ke parlemen, tapi juga mereka yang bersuara dari lorong-lorong TikTok, ruang Twitter, dan pojok-pojok YouTube. Bila kita percaya pada demokrasi, maka ukuran validitas aspirasi bukan terletak pada media penyampaiannya, tapi pada dasar dan argumentasi yang dibawa. Forum Purnawirawan tidak lebih valid hanya karena mereka mantan jenderal atau menyurati MPR. Demokrasi bukan meritokrasi veteran.

Lebih menyedihkan lagi ketika Mahfud mencoba menutup argumennya dengan pernyataan normatif: “Negara demokrasi memberi ruang untuk mengkritik.” Siapa yang menyangkal itu? Tapi kritik dalam demokrasi tidak boleh menyimpang menjadi kudeta sipil terselubung dengan baju “elegan”. Mengirim surat ke MPR yang isinya pemakzulan berdasarkan sentimen etik, bukan pelanggaran hukum, adalah bentuk penyimpangan yang seharusnya diluruskan, bukan dibenarkan. Mahfud telah gagal memosisikan dirinya sebagai guru bangsa. Ia lebih tampak seperti komentator politik yang ingin merawat relevansi opini publiknya dengan memoles tindakan tak berdasar hukum sebagai tindakan elegan.

Akhirnya, kita harus menyadari bahwa pengusulan pemakzulan Gibran oleh Forum Purnawirawan TNI adalah gejala dari kegelisahan elit tertentu yang tak puas dengan hasil Pemilu 2024. Mereka kehilangan akses, kehilangan posisi strategis, dan kini berusaha menggunakan cara-cara “resmi” untuk merebut kembali pengaruh mereka. Mereka tidak berbicara untuk rakyat, mereka berbicara atas nama trauma elit yang kalah. Sayangnya, Mahfud MD, alih-alih menjadi penjernih di tengah kekacauan, justru ikut menegaskan narasi bahwa pemakzulan bisa dijadikan kanal politik alternatif ketika kotak suara tak lagi memenangkan agenda mereka.

Jika Mahfud masih ingin dikenal sebagai intelektual hukum, maka sudah seharusnya ia berpijak pada prinsip dasar keadilan konstitusional, bukan menjadi juru bicara agenda elite yang menyamar dalam bahasa demokrasi. Mengatakan pemakzulan Gibran sebagai sah dan elegan sama saja membuka kotak Pandora: bahwa di masa depan, setiap Wapres bisa dijatuhkan hanya karena tidak disukai sekelompok elite pensiunan. Demokrasi kita akan dirusak bukan oleh rakyat biasa yang membuat konten TikTok, tapi oleh mereka yang mengaku paham konstitusi tapi membiarkan pasalnya ditekuk demi agenda politis yang manis-manis berbalut “aspirasi sah.”

Dan jika itu terjadi, maka Mahfud MD adalah bagian dari masalahnya.

(Widodo Sihotang/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow