Rapat Sekali, Kaya Raya? Prabowo Akhiri Era Komisaris Pemalas!

Rapat Sekali, Kaya Raya? Prabowo Akhiri Era Komisaris Pemalas!

Rapat Sekali, Kaya Raya? Prabowo Akhiri Era Komisaris Pemalas!

 

detakpolitik.com, Jakarta - Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menghapuskan tantiem bagi komisaris dan direksi BUMN adalah sebuah tonggak besar dalam sejarah tata kelola negara. Inilah titik balik yang menunjukkan bahwa kepemimpinan tidak boleh tunduk pada kompromi murahan yang hanya melanggengkan kerakusan. Sudah terlalu lama, jabatan di lingkaran BUMN dijadikan semacam lahan empuk bagi mereka yang mencari fasilitas, bukan pengabdian. Tantiem yang seharusnya hanya menjadi penghargaan berbasis kinerja, telah berubah menjadi akal-akalan licik untuk menyedot uang negara dengan cara yang seakan-akan sah. Istilah asing dipakai, supaya rakyat tidak memahami, supaya yang mengkritik dianggap tidak tahu aturan, padahal esensinya jelas: itu cara untuk membagi-bagi kue kekayaan negara bagi segelintir orang yang duduk di kursi empuk.

Prabowo dengan tegas menyebut bahwa sistem tantiem adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Dan memang benar, apa rasionalnya seorang komisaris yang rapat sebulan sekali bisa menikmati miliaran rupiah dalam setahun? Apa masuk akal direksi yang gagal membawa perusahaan menuju efisiensi justru tetap menikmati bonus seolah-olah mereka telah mengangkat harkat bangsa? Rakyat yang setiap hari berjuang membayar pajak, menahan lapar karena harga pangan yang tinggi, justru harus melihat uang negara digelontorkan untuk memberi makan orang-orang yang nyaris tidak memberi nilai tambah. Di titik inilah keberanian Prabowo harus dipuji: ia tidak hanya mengucapkan kritik, tetapi menindak dengan kebijakan yang konkret. Tantiem dihapus, jumlah komisaris dipangkas, dan bagi yang keberatan, Prabowo hanya punya satu kalimat: silakan berhenti. Tegas, sederhana, tanpa basa-basi.

DPR sendiri bersorak ketika Prabowo menyampaikan kebijakan ini dalam sidang paripurna. Sorak sorai itu bukan sekadar luapan emosi, melainkan sebuah penanda bahwa nurani wakil rakyat ikut bergolak. Selama ini banyak anggota DPR diam, sebagian juga terlibat dalam jaringan pengisian kursi komisaris, sebagian mungkin punya kepentingan dalam pembagian jabatan BUMN. Tetapi ketika seorang presiden dengan lantang menyapu bersih praktek-praktek itu, mereka tidak bisa menahan diri untuk bersorak. Ini bukan hanya dukungan simbolik, melainkan pengakuan terbuka bahwa apa yang dihapus Prabowo memang penyakit kronis dalam tubuh birokrasi ekonomi kita.

Mereka yang keberatan tentu akan muncul, terutama dari kalangan yang selama ini menikmati empuknya jabatan tanpa keringat. Para komisaris yang duduk diam di ruang ber-AC, mereka yang menjadikan rapat bulanan sebagai tiket menuju kemewahan pribadi, akan berteriak bahwa kebijakan ini tidak adil. Akan ada suara-suara yang menyebut bahwa tanpa tantiem, kualitas kepemimpinan BUMN akan menurun. Akan ada yang mengancam mundur, seolah-olah kepergian mereka akan membuat BUMN ambruk. Tetapi Prabowo sudah lebih dulu mengirim pesan yang gamblang: kalau tidak suka, silakan mundur. Negara ini tidak boleh terus dijadikan sapi perah. Kursi komisaris bukan hadiah, bukan bancakan, dan bukan ruang untuk menghisap anggaran negara. Kursi itu adalah tanggung jawab, amanah, dan ladang pengabdian.

Keberanian Prabowo ini sesungguhnya sudah lama dinanti rakyat. Reformasi di tubuh BUMN selalu macet di jalan tengah, selalu mentok pada kompromi dengan kepentingan politik, selalu gagal karena ada elite yang tak mau kehilangan akses ke pundi-pundi. Berbagai menteri BUMN di era sebelumnya hanya berani bicara tentang efisiensi, tetapi jarang yang berani menyinggung secara langsung praktek bagi-bagi kursi komisaris. Bahkan, di masa lalu, kursi BUMN sering dijadikan hadiah politik, kompensasi untuk kelompok, dan bancakan untuk mempererat koalisi. Hasilnya? BUMN yang seharusnya menjadi lokomotif ekonomi justru sering menjadi beban. Laba yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk memberi makan jajaran komisaris dan direksi. Uang negara yang seharusnya digunakan untuk rakyat, untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan, malah habis untuk memberi bonus kepada mereka yang sudah bergaji besar. Itulah wajah asli kerakusan yang selama ini disembunyikan di balik kata “tantiem”.

Langkah Prabowo tidak hanya tegas, tetapi juga penuh makna ideologis. Ia sedang mengembalikan ruh BUMN sebagai milik negara, bukan milik elite. Ia ingin memastikan bahwa kekayaan negara bukan untuk memperkaya segelintir orang, melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan ini bukan sekadar slogan. Dengan menghapus tantiem, ia sedang memutus aliran rente yang selama ini mengikat BUMN dengan jaringan kepentingan politik. Dengan membatasi jumlah komisaris, ia sedang merapikan barisan agar kursi tidak lagi bisa diobral sebagai hadiah. Dengan pernyataannya yang keras bahwa siapa pun yang keberatan silakan mundur, ia sedang memberi pesan bahwa kepemimpinan bangsa ini tidak lagi bisa disandera oleh kelompok yang haus fasilitas.

Apakah langkah ini akan menimbulkan kegaduhan? Pasti. Mereka yang terbiasa dengan kenyamanan akan selalu melawan ketika kenyamanannya diganggu. Akan ada kampanye hitam, akan ada narasi bahwa Prabowo anti-profesionalisme, bahwa ia merusak iklim investasi, bahwa ia mengabaikan aturan yang ada. Akan ada opini-opini murahan dari akademisi bayaran atau pengamat yang selama ini mendapat remah-remah dari sistem korup itu. Tetapi biarlah. Rakyat sudah terlalu lama muak melihat kemewahan pejabat yang kontras dengan penderitaan rakyat kecil. Di hadapan rakyat, kebijakan ini adalah cahaya yang menunjukkan keberpihakan. Rakyat tidak butuh komisaris yang mewah, rakyat butuh harga beras yang murah, sekolah yang terjangkau, dan pelayanan kesehatan yang adil. Kalau demi itu Prabowo harus menabrak kepentingan segelintir orang, rakyat akan berdiri di belakangnya.

Dan justru di sinilah nilai keberanian itu. Seorang pemimpin besar bukanlah mereka yang pandai membuat semua orang senang, tetapi mereka yang berani membuat marah mereka yang selama ini hidup dari uang negara tanpa pengabdian. Prabowo tahu bahwa langkah ini akan memunculkan resistensi dari kalangan elite, tetapi ia juga tahu bahwa dukungan rakyat jauh lebih besar daripada suara elite. Dan ketika DPR bersorak, ketika publik memberi tepuk tangan, itu artinya langkah ini telah menyentuh inti keadilan yang selama ini ditunggu.

Kita harus mendukung kebijakan ini tanpa ragu. Jangan beri ruang bagi mereka yang mencoba membelokkan narasi. Jangan biarkan para mantan komisaris atau direksi yang rakus itu membuat drama seolah-olah negara merugikan mereka. Justru selama ini merekalah yang merugikan negara. Mereka yang hanya rapat sebulan sekali, tetapi menerima miliaran rupiah, apa kontribusi nyatanya? Mereka yang datang ke BUMN bukan dengan visi membangun, tetapi dengan niat mencari keuntungan, apa pantas dipertahankan? Negara tidak boleh lagi menjadi ladang bancakan. Dan Prabowo telah membuka jalan agar BUMN kembali pada jalurnya: untuk rakyat.

Inilah saatnya kita berkata tegas: habis sudah era kemewahan di atas penderitaan rakyat. Habis sudah masa ketika jabatan komisaris menjadi tempat nyaman bagi mereka yang ingin tidur sambil kaya. Habis sudah waktu ketika istilah asing seperti “tantiem” dipakai untuk menutupi keserakahan. Sekarang, dengan kepemimpinan Prabowo, rakyat melihat cahaya keadilan. Kita harus kawal kebijakan ini, kita harus beri dukungan penuh, dan kita harus siap melawan mereka yang ingin menggagalkannya. Karena ini bukan hanya soal uang, ini soal keberanian mengembalikan negara kepada rakyatnya. Dan di titik ini, Prabowo berdiri sebagai pemimpin yang tidak takut, tidak tunduk, dan tidak kompromi. (riska/dp)

 

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow