Mulyono Dipanggil KPK Terkait OTT Anak Buah Bobby Nasution
Mulyono Dipanggil KPK Terkait OTT Anak Buah Bobby Nasution

detakpolitik.com, Jakarta - Di republik ini, setiap helai aspal adalah saksi. Di setiap tikungan jalan provinsi, ada jejak keputusan, kontrak, hingga kongkalikong yang barangkali tak pernah sampai ke meja publik. Kita, rakyat biasa, hanya tahu bahwa jalan itu akhirnya diaspal. Tapi di belakangnya, siapa yang menandatangani kontrak? Siapa yang menyetujui besaran anggaran? Siapa yang memberi izin pelelangan? Dan siapa yang akhirnya mendapatkan "jatah"?
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir Juni 2025 di Sumatera Utara, membuka kembali luka lama yang tak kunjung sembuh dalam praktik pembangunan di daerah. Kasus ini menjadi bom waktu yang menampar wajah pemerintahan daerah, bahkan menyeret nama besar seperti Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution menantu Presiden Joko Widodo meski ia sendiri belum secara langsung terlibat dalam penyidikan.
OTT itu mengungkap adanya dugaan praktik korupsi dalam enam proyek pembangunan jalan dengan total nilai mencengangkan: Rp 231,8 miliar. Angka ini bukan sekadar besar; ia cukup untuk membangun ratusan kilometer jalan berkualitas, membangun jembatan, atau memperbaiki sekolah-sekolah rusak di desa-desa terisolasi. Tapi angka itu, dalam berita dan pengakuan para penyidik, justru menjadi bahan bancakan.
Topan Obaja Putra Ginting, Kepala Dinas PUPR Sumut, menjadi tokoh sentral dalam pusaran kasus ini. Dialah yang disebut-sebut sebagai 'anak buah' langsung Gubernur Bobby Nasution. Dalam praktik birokrasi di Indonesia, istilah "anak buah" bukan semata hubungan administratif. Di dalamnya terkandung loyalitas, pertanggungjawaban moral, dan kadang-kadang perintah yang tak tertulis.
KPK tidak berhenti pada satu nama. Mereka memanggil delapan saksi, termasuk Mulyono, mantan Kepala Dinas PUPR Sumut. Nama ini tidak asing bagi mereka yang mengikuti pembangunan infrastruktur di Sumut beberapa tahun ke belakang. Mulyono pernah menjadi aktor penting dalam pengelolaan anggaran proyek jalan dan irigasi. Apakah ia hanya diminta menjadi saksi, atau akan bergeser statusnya menjadi tersangka, tentu bergantung pada hasil pemeriksaan.
Namun, yang menarik dari perkembangan kasus ini bukan hanya siapa yang ditangkap atau dipanggil. Yang lebih menarik adalah bagaimana kasus ini meletakkan satu nama yang sangat politis di garis tembak opini publik: Bobby Nasution.
Sebagai Gubernur, Bobby telah menyatakan dirinya siap jika dipanggil KPK. Dalam wawancara singkat, ia tampak tenang, menyampaikan komitmen transparansi, dan menyatakan dirinya akan kooperatif bila dibutuhkan. Ini sikap normatif yang kita harapkan dari semua pejabat publik. Tapi di ruang realita, banyak yang tahu bahwa status "siap dipanggil" sering kali menjadi tameng politik semacam kartu putih yang dilempar ke tengah arena untuk menenangkan suasana.
KPK, pada saat ini, memang belum menjadwalkan pemeriksaan terhadap Bobby. Tapi publik bertanya: apakah bisa seorang kepala daerah tidak mengetahui adanya korupsi sebesar ini di lingkungan dinas yang berada langsung di bawah komandonya?
Tentu kita tidak boleh berspekulasi. Tapi kita juga tidak boleh menutup mata. Dalam sistem birokrasi yang sangat hirarkis dan sentralistik seperti di Indonesia, kepala daerah lazimnya mengetahui setiap pergerakan anggaran besar, terlebih yang menyangkut proyek strategis bernilai ratusan miliar. Proyek jalan bukan proyek kecil. Ia melibatkan rapat-rapat tender, evaluasi teknis, supervisi lapangan, dan kadang jika tak diawasi suap dalam bentuk fee proyek.
Dan jika benar ada bancakan proyek dalam jumlah besar, bagaimana mungkin seorang Gubernur yang memiliki kuasa penuh atas perencanaan pembangunan tidak mencium bau anyirnya?
Bukan berarti kita harus menuduh Bobby Nasution terlibat. Tapi kita harus berani bertanya. Apalagi Bobby bukan sekadar pejabat biasa. Ia menantu Presiden. Ia bagian dari elite nasional. Dan dalam beberapa tahun terakhir, namanya mencuat sebagai figur potensial untuk kontestasi nasional di masa depan. Ketika publik menuntut transparansi dan integritas, maka sorotan terhadap Bobby bukan sekadar karena posisinya sebagai Gubernur, melainkan juga karena simbol yang melekat pada dirinya simbol kekuasaan yang lebih besar dari sekadar jabatan.
Jika ia memang tidak terlibat, maka inilah momen terbaik untuk membuktikannya. Kooperatif bukan hanya dalam kata, tapi juga dalam tindakan. Memang, KPK mengatakan mereka masih mendalami siapa saja yang mengetahui, memerintahkan, atau mendapat keuntungan dari kasus ini. Tapi kita semua tahu, kasus korupsi tidak hanya berhenti pada pelaksana teknis. Jarang sekali uang miliaran hanya berhenti di tangan pejabat level dinas. Ia mengalir dan terkadang mendaki ke atas.
Sayangnya, sejarah kita menunjukkan bahwa OTT sering kali berhenti di lapisan bawah. Kepala dinas, kepala bidang, atau bahkan staf teknis, menjadi kambing hitam yang menanggung semua dosa birokrasi. Sementara di atas, mereka yang mengatur ritme anggaran tetap nyaman di kursi kekuasaan.
OTT Sumut ini harus menjadi pengecualian. Publik harus bersuara lebih keras. Media harus menggali lebih dalam. Akademisi dan LSM harus aktif mendorong audit menyeluruh terhadap proyek-proyek pembangunan yang diduga menjadi ladang korupsi. Kita tidak bisa membiarkan Rp 231,8 miliar hilang begitu saja di jalan yang tampak mulus, tapi menyimpan keretakan moral di bawahnya.
Dan yang lebih penting: inilah saatnya menguji integritas Bobby Nasution. Apakah ia berani membuka seluruh dokumen perencanaan proyek? Apakah ia bersedia mengumumkan siapa saja kontraktor yang terlibat, bagaimana mekanisme tender berlangsung, dan ke mana saja dana proyek mengalir?
Kalau benar ia ingin menjadi figur nasional di masa depan, maka inilah panggung yang sesungguhnya. Bukan di atas podium kampanye, bukan di acara televisi, tapi di depan rakyat, menjelaskan bagaimana ia mengelola pemerintahan dan bagaimana ia menghadapi badai.
Kita juga berharap KPK tidak melempem. OTT ini adalah pintu masuk, bukan tujuan akhir. Di balik enam proyek jalan itu, mungkin ada ratusan proyek lain yang dikerjakan dengan skema yang sama. Modus fee proyek bukanlah cerita baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kontraktor harus menyetor sejumlah persen untuk bisa menang tender. Uangnya mengalir naik, dan terkadang digunakan untuk membiayai kampanye politik, konsolidasi partai, atau bahkan pengamanan hukum.
Jika KPK ingin membuktikan diri sebagai lembaga independen yang benar-benar memihak kepentingan publik, maka Sumatera Utara adalah ujian berat. Tak hanya soal jumlah uangnya, tapi juga karena kasus ini bisa menjadi preseden: apakah pejabat daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan bisa disentuh atau tidak?
Di tengah kekecewaan publik terhadap penegakan hukum, OTT ini seharusnya menjadi momentum pemulihan kepercayaan. Tapi kepercayaan tidak dibangun dari satu operasi. Ia dibangun dari keberanian menelusuri aliran dana, menghadirkan keterbukaan, dan membongkar struktur mafia anggaran dari akar hingga pucuk.
Karena jalan bukan hanya soal aspal dan beton. Jalan adalah cermin dari bagaimana kita membangun negeri. Jika jalannya bengkok karena dikorupsi, maka perjalanan bangsa pun ikut menyimpang. Dan jika yang dikorup bukan hanya uang, tapi juga kepercayaan rakyat, maka yang rusak bukan cuma jalan tapi juga arah masa depan.
Mulyono dan saksi-saksi lainnya bisa menjadi kunci. Tapi pintu utamanya tetap ada pada transparansi pemerintahan daerah. Ini bukan lagi soal hukum semata, tapi soal moralitas. Dan kalau moralitas sudah menjadi barang langka di pemerintahan, maka suara publik harus menjadi hakim terakhir.
Biarlah rakyat yang mengingat: setiap jalan yang mereka lewati bukan sekadar sarana, tapi juga pengingat bahwa di balik tiap kilometer yang dibangun, ada uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan. Dan siapa pun yang mencoba bermain-main dengan uang itu, tidak layak lagi mendapat kepercayaan baik sebagai pejabat daerah, maupun sebagai calon pemimpin bangsa. (jons/dp)
Apa Reaksi Anda?






