Isu Pemakzulan Gibran Memanas, tapi Rakyat Justru Mulai Bersatu Dukung Pemerintahan

Isu Pemakzulan Gibran Memanas, tapi Rakyat Justru Mulai Bersatu Dukung Pemerintahan

Isu Pemakzulan Gibran Memanas, tapi Rakyat Justru Mulai Bersatu Dukung Pemerintahan

detakpolitik.com, JAKARTA - Di tengah dinamika politik yang terus bergulir dan spekulasi yang menghiasi ruang publik, satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh bangsa ini adalah pentingnya menjaga kewarasan bernegara. Dalam pusaran isu reshuffle kabinet, relasi antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, hingga wacana pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, kita semua dihadapkan pada pilihan: apakah kita ingin membiarkan narasi-narasi provokatif merusak kohesi nasional, ataukah kita memilih menjadi bagian dari bangsa yang mendewasakan diri dalam proses demokrasi yang penuh tantangan ini?

Rocky Gerung, dalam komentarnya yang disampaikan melalui kanal YouTube-nya, menyoroti bagaimana Presiden Prabowo dianggap belum berani melakukan reshuffle kabinet karena masih menunggu sinyal dari PDIP. Pandangan ini tentu sah sebagai bagian dari kebebasan berpendapat. Namun, penting untuk disadari bahwa membingkai sikap Prabowo sebagai ketakutan terhadap Megawati atau sebagai bentuk ketergantungan yang ekstrem kepada PDIP, adalah bentuk penyederhanaan yang tidak adil dan berpotensi mengadu domba kekuatan politik nasional.

Kita harus ingat bahwa Prabowo Subianto bukan sosok yang baru belajar tentang kekuasaan. Ia adalah seorang jenderal purnawirawan dengan pengalaman politik panjang dan kepemimpinan yang telah ditempa oleh ujian berat sejak era reformasi. Ketika ia memilih untuk tidak terburu-buru melakukan reshuffle, kita patut bertanya lebih dalam: apakah ini semata-mata karena tekanan politik? Ataukah karena beliau menyadari bahwa sebuah perubahan dalam struktur kabinet tidak hanya soal menggeser kursi, tapi juga soal menjaga stabilitas pemerintahan, kesinambungan program, dan kepercayaan publik?

Justru dalam langkah yang tampak tenang inilah terlihat keunggulan strategis seorang Prabowo. Ia memahami bahwa reshuffle yang terburu-buru bisa memicu friksi baru, menimbulkan instabilitas, dan membuka celah bagi politisasi yang merugikan rakyat. Ini bukan kelemahan, tapi bentuk kedewasaan politik. Dan di saat sebagian elite dan pengamat sibuk mencari sensasi dari manuver-manuver politik, Prabowo memilih berfokus pada bagaimana pemerintahan ini bisa tetap solid dan melayani rakyat secara konkret.

Dalam hal ini, PDIP pun tidak bisa disalahkan. Sebagai partai besar dengan basis massa yang kuat, mereka tentu juga sedang melakukan evaluasi politik internal pasca kekalahan di Pilpres 2024. Keputusan apakah akan bergabung ke pemerintahan atau tetap menjadi oposisi adalah bagian dari hak politik mereka yang sah. Namun harus ditegaskan, pilihan PDIP tidak seharusnya menjadi pemicu polarisasi lebih dalam. Kita sebagai bangsa tidak boleh terus menerus dipaksa memilih antara "pro" atau "anti" PDIP, "pro" atau "anti" Prabowo. Yang kita butuhkan adalah ruang dialog sehat antar semua elemen bangsa.

Isu ekonomi yang menjadi sorotan utama masyarakat—seperti PHK, inflasi, dan kesenjangan sosial—memang nyata. Tapi membenturkan keresahan rakyat ini seolah-olah sebagai bukti bahwa pemerintah tidak kompeten adalah pendekatan yang tidak bijak. Pemerintahan manapun di dunia pasca pandemi dan di tengah krisis global saat ini mengalami tekanan ekonomi yang besar. Data dari BPS per kuartal pertama 2025 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih stabil di kisaran 5,1%, meskipun ada tekanan dari sektor manufaktur dan ekspor. Pemerintah saat ini justru tengah bekerja keras melalui berbagai program seperti hilirisasi industri, subsidi pupuk, bantuan sosial, dan stimulus fiskal untuk UMKM agar daya beli masyarakat tetap terjaga.

Rakyat memang memiliki hak untuk menyuarakan keresahan, namun para intelektual publik juga memiliki tanggung jawab moral untuk tidak mengubah keresahan itu menjadi amarah tanpa arah. Kita tidak boleh mendorong narasi seolah-olah pemerintah tutup mata terhadap penderitaan rakyat. Yang benar adalah, pemerintah sedang bekerja di tengah keterbatasan dan kompleksitas zaman. Dan dukungan konstruktif dari publik sangat dibutuhkan untuk menyukseskan agenda pembangunan nasional.

Isu pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka adalah contoh lain dari bagaimana narasi politik bisa diseret ke arah yang menyesatkan jika tidak diletakkan dalam konteks hukum dan etika yang proporsional. Adalah benar bahwa dalam demokrasi, siapapun bisa dikritik, termasuk presiden dan wakil presiden. Namun pemakzulan bukanlah jalan pintas untuk melampiaskan kekecewaan politik. Pemakzulan adalah mekanisme konstitusional yang sangat serius, hanya bisa dilakukan jika ada pelanggaran hukum berat, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, atau tindakan tidak bermoral yang terbukti secara hukum.

Sejauh ini, tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa Gibran melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Ia terpilih melalui proses pemilu yang telah diakui sah oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum. Mengangkat isu pemakzulan hanya karena ketidakpuasan terhadap hasil pemilu bukanlah cara yang sehat dalam berdemokrasi. Justru itu bisa menjadi preseden buruk yang merusak tatanan konstitusi kita.

Surat dari Forum Purnawirawan TNI tentang pemakzulan Gibran memang harus dihargai sebagai bentuk aspirasi politik. Namun harus dipahami bahwa negara ini tidak bisa dikelola berdasarkan aspirasi satu kelompok saja, seberapa besar pun pengaruhnya di masa lalu. Demokrasi kita memberi ruang pada semua warga negara, termasuk mahasiswa, buruh, petani, dan pelaku usaha kecil—semua harus punya tempat yang adil dalam percaturan kebijakan nasional.

Justru inilah saatnya semua elemen bangsa duduk bersama, bukan saling menyudutkan. Pemerintahan Prabowo-Gibran baru berjalan kurang dari satu tahun. Banyak program strategis nasional yang sedang disusun dan dijalankan. Proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara, penguatan ketahanan pangan, transformasi digital, dan reformasi birokrasi adalah tugas-tugas berat yang membutuhkan stabilitas politik, bukan guncangan yang bersumber dari obsesi kekuasaan atau dendam politik masa lalu.

Mahasiswa dan masyarakat sipil perlu terus kritis, tetapi juga harus arif dalam menilai situasi. Gerakan sipil yang kuat tidak harus selalu diwujudkan dalam aksi jalanan atau retorika panas. Bisa juga dalam bentuk kolaborasi dengan pemerintah daerah, advokasi berbasis data, partisipasi dalam musyawarah, atau mengawal transparansi anggaran melalui media dan teknologi digital. Demokrasi yang matang bukan hanya soal menolak, tapi juga soal membangun.

Di tengah semua ini, kita patut bersyukur bahwa Indonesia masih berdiri tegak sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kita punya presiden yang tegas namun komunikatif, wakil presiden muda yang energik, dan sistem pemerintahan yang meskipun belum sempurna, tetapi tetap menjamin keterbukaan dan pergantian kekuasaan secara damai.

Oleh karena itu, narasi bahwa Prabowo berada di bawah bayang-bayang PDIP, atau bahwa Gibran layak dimakzulkan, sebaiknya kita letakkan dalam kerangka yang lebih objektif dan membangun. Kita tidak perlu menambah bara dalam tungku bangsa ini. Sudah cukup sejarah mencatat bagaimana politik penuh kebencian bisa mengoyak bangsa. Kini saatnya kita memperkuat narasi persatuan, kerja bersama, dan tanggung jawab kolektif untuk membangun masa depan.

Mari kita kawal pemerintahan ini dengan semangat yang sehat: bukan dengan cacian, tapi dengan cinta terhadap republik ini. Bukan dengan fitnah, tapi dengan fakta. Bukan dengan upaya menjatuhkan, tetapi dengan semangat mendorong agar lebih baik. Pemerintahan Prabowo-Gibran adalah pemerintahan sah yang harus kita dukung, koreksi, dan doakan agar sukses menyelesaikan tugasnya demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.

Dan pada akhirnya, sejarah akan mencatat bukan siapa yang paling banyak bicara, tetapi siapa yang paling banyak bekerja. Bangsa ini tidak butuh narasi kebencian baru. Bangsa ini butuh pemulihan. Dan pemulihan itu hanya mungkin jika kita semua berhenti saling curiga, saling menuding, dan mulai membangun bersama, dengan pikiran yang jernih dan hati yang teduh. (Merlin/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow