Kementerian Kesehatan Melawan Oligarki Medis dan Pendidikan Dokter: 372 Guru Besar Kedokteran Deklarasi Tak Percaya Menkes Budi Gunadi.
Kementerian Kesehatan Melawan Oligarki Medis dan Pendidikan Dokter: 372 Guru Besar Kedokteran Deklarasi Tak Percaya Menkes Budi Gunadi.

Kementerian Kesehatan Melawan Oligarki Medis dan Pendidikan Dokter: 372 Guru Besar Kedokteran Deklarasi Tak Percaya Menkes Budi Gunadi.
Merdekakan Pendidikan Dokter: Menyongsong Reformasi Radikal Dunia Kesehatan Indonesia.
Penulis: Christine Debora Simatupang | Mahasiswa Fasilkom Universitas Satya Terra Bhinneka
detakpolitik.com, JAKARTA - Sudah terlalu lama pendidikan dokter di Indonesia berdiri di atas menara gading yang eksklusif dan tidak transparan. Menjadi dokter, apalagi spesialis, bukan sekadar persoalan intelektual, kemanusiaan, atau dedikasi melainkan sebuah lintasan karier yang dipenuhi rintangan sosial, ekonomi, dan politik. Jalur yang seharusnya terbuka bagi mereka yang berkapasitas dan berkomitmen, kini dikunci oleh benteng mahalnya biaya, kerumitan birokrasi, dan kekuasaan segelintir elit institusional yang memonopoli sistem seleksi, pengakuan keahlian, dan distribusi kewenangan.
Dalam konteks inilah, kebijakan terbaru Menteri Kesehatan layak diapresiasi bukan hanya sebagai langkah administratif, tetapi sebagai sebuah terobosan struktural yang menyentuh akar persoalan. Empat agenda besar yang dicanangkan yakni pembentukan pendidikan dokter di luar sistem universitas, pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan, pemindahan kolegium di bawah Kemenkes, serta pelatihan dokter umum agar dapat melakukan tindakan seperti operasi caesar di daerah terpencil bukan hanya kebijakan, melainkan peta jalan menuju pembebasan dunia kedokteran dari belenggu oligarki birokrasi.
Kita perlu menyimak ini bukan sebagai wacana kebijakan biasa, tetapi sebagai upaya revolusioner dalam merebut kembali sektor kesehatan dari dominasi institusi-institusi yang terlalu lama merasa menjadi satu-satunya penjaga gerbang kualitas medis. Selama ini, justru mereka menjadi pemilik sistem yang eksklusif dan tidak akuntabel.
Monopoli Akademik dan Kekuasaan Kolegium
Salah satu masalah terbesar dalam dunia kedokteran Indonesia adalah peran kolegium. Kolegium profesi kedokteran yang idealnya menjadi badan ilmiah telah lama menjelma menjadi kerajaan kecil dalam dunia pendidikan dan karier kedokteran. Mereka menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh menjadi spesialis. Mereka menilai siapa yang pantas diterima dalam program pendidikan spesialis, siapa yang boleh mengulang, dan bahkan siapa yang berhak mendapatkan surat keterangan kompetensi.
Tidak ada transparansi. Tidak ada akuntabilitas publik. Tidak ada mekanisme koreksi. Bahkan Mahkamah Agung pun tidak bisa menyentuh wilayah keputusan kolegium yang dianggap sebagai ranah internal profesi. Dalam praktiknya, ini menjadi lahan diskriminasi, nepotisme, bahkan, seperti yang dikemukakan banyak dokter muda, “budaya mental abuse” dalam sistem pendidikan. Cerita tentang dokter-dokter muda yang harus mengulang tanpa alasan yang jelas, diminta untuk membayar uang dalam jumlah besar, atau bahkan dipaksa “bermain politik” agar bisa lulus bukanlah mitos. Itu fakta.
Maka ketika Menteri Kesehatan memutuskan memindahkan posisi kolegium dari struktur yang liar menjadi struktur yang tunduk pada regulasi Kementerian Kesehatan, itu bukan sekadar relokasi administratif. Itu pemulihan kekuasaan negara atas otoritas yang telah terlalu lama merajalela. Ini seperti menarik kembali otoritas pendidikan dari kartel profesi yang menjadikan pendidikan spesialis sebagai ladang rente, menjadi sistem negara yang wajib menjamin akses adil dan berkualitas bagi seluruh anak bangsa.
Tak sedikit perlawanan muncul. Wajar. Setiap kekuasaan yang mulai tersentuh oleh cahaya reformasi akan berteriak. Namun kita tak bisa membiarkan sistem lama terus mencengkeram dunia pendidikan dokter. Apa yang dilakukan Menteri Kesehatan bukanlah upaya pengambilalihan sewenang-wenang, melainkan reposisi lembaga agar bertanggung jawab kepada sistem nasional, bukan pada hasrat kelompok tertentu.
Pendidikan Dokter Tidak Harus Melulu di Universitas
Di sinilah letak kebijakan kedua yang juga strategis: pembentukan pendidikan dokter di luar sistem universitas. Ini akan menjadi angin segar bagi ratusan ribu calon dokter di Indonesia yang gagal bukan karena kurang pintar, tapi karena tidak mampu membayar atau tidak punya koneksi. Jika selama ini untuk masuk Fakultas Kedokteran harus melalui saringan akademik plus dana puluhan hingga ratusan juta rupiah, maka sistem baru ini akan mengangkat pendidikan dokter ke ranah inklusif dan meritokratis.
Kita tidak sedang bicara soal menurunkan standar. Kita sedang bicara soal membuka jalan alternatif dengan standar kualitas yang setara atau bahkan lebih baik karena fokus pada kompetensi dan kebutuhan layanan masyarakat. Pendidikan dokter tidak harus terkungkung di kampus formal. Di banyak negara maju, pendidikan kedokteran bisa dilakukan di pusat-pusat pelatihan profesional, rumah sakit, atau bahkan sistem apprenticeship (magang intensif) dengan kurikulum dan evaluasi ketat. Mengapa Indonesia tak bisa?
Contoh nyata bisa dilihat di beberapa negara Skandinavia dan Jerman, di mana pendidikan spesialis dilakukan langsung di rumah sakit dengan sistem kontrak pelatihan profesional. Mahasiswa bukan hanya belajar, tapi juga langsung melayani masyarakat di bawah pengawasan. Sistem seperti ini sangat efisien dan lebih siap pakai dibanding pendidikan berbasis kuliah teoritis semata.
Kita perlu bertanya: mengapa untuk menjadi dokter di Indonesia harus merogoh kocek ratusan juta hingga miliaran rupiah, bahkan setelah lulus pun harus kembali berutang untuk mengejar spesialis? Mengapa sistem ini terus dibiarkan? Jawabannya sederhana: karena sistem lama ini dinikmati oleh mereka yang sudah kadung mapan dalam struktur kekuasaan pendidikan. Maka wajar jika muncul resistensi atas sistem baru yang mengancam eksklusivitas tersebut.
Fungsi Akademik Rumah Sakit Harus Dipisah dari Fungsi Pelayanan
Langkah Menteri Kesehatan berikutnya, yakni pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan, merupakan cara jitu untuk menyelesaikan konflik kepentingan yang selama ini menjadi duri dalam daging. Rumah sakit pendidikan selama ini menjalankan dua fungsi sekaligus: mengajar dan melayani pasien. Namun dalam praktiknya, pasien sering menjadi “korban eksperimen” dari sistem pelatihan dokter muda yang tidak diawasi ketat, sementara dokter muda dijadikan tenaga kerja murah bahkan gratis yang dieksploitasi secara sistematis.
Dengan memisahkan fungsi akademik dari fungsi layanan, pengawasan terhadap proses pembelajaran dan keselamatan pasien akan jauh lebih baik. Mahasiswa kedokteran dan residen akan fokus pada kompetensi mereka tanpa menjadi alat eksploitasi sistem. Sebaliknya, rumah sakit akan dituntut untuk menjalankan standar pelayanan tanpa menyandarkan diri pada tenaga kerja magang yang belum tentu kompeten.
Bayangkan berapa banyak pasien yang selama ini menjadi “kelinci percobaan” tanpa sadar. Sudah bukan rahasia bahwa banyak pasien bedah yang justru ditangani oleh residen tanpa pengawasan yang memadai karena dokter senior sibuk atau absen. Sistem semacam ini harus dihentikan. Pendidikan dokter harus berbasis pengawasan, akuntabilitas, dan orientasi keselamatan publik bukan budaya senioritas dan eksploitasi.
Pelatihan Dokter Umum untuk Operasi Caesar: Terobosan untuk Daerah Terpencil
Langkah terakhir yang juga luar biasa penting adalah pelatihan dokter umum agar dapat melakukan tindakan medis lanjutan seperti operasi caesar, khususnya di daerah terpencil. Ini adalah jawaban nyata terhadap kegagalan distribusi dokter spesialis di Indonesia.
Banyak sekali daerah terpencil di Papua, NTT, Kalimantan, hingga pedalaman Sumatera yang tidak memiliki dokter spesialis kandungan. Akibatnya, angka kematian ibu dan bayi tinggi, hanya karena tidak ada yang bisa melakukan tindakan penyelamatan darurat. Ketika Menteri Kesehatan menyatakan bahwa dokter umum bisa dilatih secara khusus untuk mengambil alih tugas-tugas tersebut dengan prosedur terbatas dan pengawasan ketat, itu bukan kebijakan sembrono. Itu solusi konkret atas masalah yang nyata.
Selama ini, “izin” untuk melakukan operasi semacam itu dimonopoli oleh spesialis, padahal tidak semua daerah bisa mendatangkan mereka. Haruskah kita menunggu korban jiwa demi menjaga eksklusivitas profesi? Apakah keselamatan ibu dan bayi harus dikorbankan demi menjaga batas kompetensi yang terlalu kaku?
Faktanya, negara lain seperti India, Ethiopia, dan Brasil telah lama mengembangkan sistem pelatihan dokter umum untuk menangani tindakan penyelamatan hidup semacam ini. Hasilnya sangat positif. Indonesia tertinggal karena terlalu sibuk menjaga struktur piramida profesi yang rapuh dan tidak relevan dengan kondisi nyata di lapangan.
Dukungan Penuh untuk Menteri Kesehatan
Menteri Kesehatan saat ini layak mendapatkan dukungan penuh. Apa yang sedang dilakukan bukan hanya kebijakan teknis, tetapi reformasi struktural yang menyentuh jantung persoalan dunia kedokteran Indonesia. Kita butuh lebih banyak keberanian seperti ini. Kita butuh Menteri yang tidak takut melawan tekanan, ancaman, bahkan sabotase dari mereka yang merasa terusik.
Kita sudah terlalu lama tunduk pada sistem yang tidak adil. Sudah saatnya membuka akses pendidikan dan layanan medis bagi seluruh rakyat tanpa dibatasi oleh kasta birokrasi atau pagar profesi. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok kecil yang mempertahankan status quo demi kepentingan sempit.
Reformasi dunia kedokteran harus dilanjutkan. Kolegium harus tunduk pada Kemenkes. Pendidikan dokter harus bisa diakses luas tanpa diskriminasi ekonomi. Rumah sakit harus menjadi tempat pelayanan manusiawi, bukan ladang eksploitasi. Dan rakyat di pelosok negeri harus memiliki akses dokter terlatih, meskipun tidak bergelar spesialis. Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan nyawa bukan gelar, tapi kompetensi dan kehadiran di saat dibutuhkan.
(debo/dp)
Apa Reaksi Anda?






