KAMPUS ADALAH BENTENG TERAKHIR: BELA NEGARA MELALUI AKAL, NURANI, DAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL

KAMPUS ADALAH BENTENG TERAKHIR: BELA NEGARA MELALUI AKAL, NURANI, DAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL

KAMPUS ADALAH BENTENG TERAKHIR: BELA NEGARA MELALUI AKAL, NURANI, DAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL

KAMPUS ADALAH BENTENG TERAKHIR: BELA NEGARA MELALUI AKAL, NURANI, DAN TANGGUNG JAWAB INTELEKTUAL

Oleh: Hengki Tamando Sihotang
Dosen Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

detakpolitika.com, Jakarta - Di tengah arus deras globalisasi, derasnya disinformasi, dan merebaknya intoleransi yang membelah nalar serta hati anak bangsa, kampus tidak boleh lagi berdiri seperti menara gading yang tinggi, indah, namun terasing dari denyut nadi rakyat dan keresahan negeri. Sudah lewat masanya kampus bersembunyi di balik pagar akademik dan jargon netralitas yang mandul. Kini, ketika bangsa ini menghadapi ancaman multidimensi dari radikalisme, polarisasi ideologi, degradasi etika publik, hingga sabotase kepercayaan terhadap institusi negara kampus harus bangkit sebagai benteng terakhir pertahanan bangsa. Benteng yang bukan hanya melawan dengan data dan logika, tapi juga dengan empati dan komitmen bela negara yang menyala dari nurani terdalam para dosen, mahasiswa, dan seluruh civitas akademika.

Bela negara bukan semata soal angkat senjata. Ia adalah soal keberanian berdiri di barisan yang benar, bahkan ketika kebenaran terasa sunyi. Di ruang kelas, bela negara terwujud dalam keberanian seorang dosen membimbing mahasiswa berpikir kritis, tanpa takut disalahpahami atau dicap berpihak. Dalam riset, bela negara menjelma dalam kejujuran ilmiah yang menolak fabrikasi data demi proyek-proyek pesanan. Dalam dinamika kampus, bela negara hadir sebagai pengingat bahwa kemerdekaan akademik bukan alasan untuk lari dari tanggung jawab kebangsaan. Sebaliknya, ia adalah hak istimewa yang harus dibayar lunas dengan kontribusi nyata kepada republik.

Ketika bangsa ini diuji oleh isu-isu seperti radikalisme berbaju agama, disinformasi politik, dan upaya memecah belah masyarakat dengan narasi-narasi sesat, kampus tidak boleh diam. Justru pada saat genting seperti inilah netralitas menjadi kemewahan yang tidak bisa lagi dibela. Netral dalam konteks ketika bangsa sedang terancam bukanlah sikap cendekiawan, melainkan bentuk kemalasan intelektual. Ketika fitnah menjadi arus utama dan kebencian diproduksi secara industri, tugas para akademisi adalah menyalakan obor logika, membekali mahasiswa dengan keberanian berpikir jernih, dan menjadi kompas moral yang memandu arah bangsa.

Sayangnya, tidak sedikit kampus hari ini yang terjebak dalam ilusi objektivitas yang steril. Mereka takut dituduh partisan, lalu memilih diam ketika kebohongan disebarkan, ketika kemajemukan bangsa dirongrong, dan ketika Presiden yang sah dihujat dengan fitnah paling keji. Mereka lupa bahwa di era post-truth, diam adalah bentuk keberpihakan. Dan diamnya kaum intelektual adalah pupuk bagi tumbuh suburnya ekstremisme dan politik kebencian. Justru karena kita memiliki privilese pendidikan, maka kita memikul tanggung jawab lebih besar dalam merawat akal sehat publik.

Kampus harus menjadi ruang perlawanan terhadap radikalisme. Tapi bukan dengan cara represif, melainkan dengan strategi yang jauh lebih elegan dan berkelanjutan: logika dan empati. Kita tidak bisa memadamkan api radikalisme hanya dengan larangan dan stigma. Kita harus memahami mengapa anak muda bisa tertarik pada ide-ide ekstrem. Kita harus hadir dalam ruang-ruang diskusi mereka, menunjukkan bahwa ada jalan lain yang lebih masuk akal dan lebih bermartabat. Kita harus mematahkan propaganda mereka dengan fakta dan membungkam kebencian mereka dengan cinta tanah air yang rasional.

Dalam hal ini, pendidikan adalah senjata paling ampuh. Tapi bukan sembarang pendidikan. Kita butuh pendidikan yang menyentuh nurani. Pendidikan yang tidak sekadar menjejalkan teori, tetapi yang membentuk karakter. Pendidikan yang menjadikan mahasiswa bukan hanya sarjana, tapi juga warga negara. Warga negara yang peka terhadap penderitaan bangsanya, yang peduli terhadap keutuhan negaranya, dan yang berani menyuarakan kebenaran meski harus menanggung resiko.

Integritas akademik adalah bagian dari pertahanan negara yang tidak kalah penting dari kekuatan militer. Ketika seorang dosen menolak plagiat, ia sedang memperkuat moral kolektif bangsa. Ketika seorang peneliti mengkritisi kebijakan publik dengan data yang valid dan analisis yang jujur, ia sedang menyelamatkan masa depan Indonesia. Ketika seorang mahasiswa bersuara menolak narasi sesat di media sosial, ia sedang menjadi pahlawan bela negara versi baru. Semua ini adalah bagian dari pertempuran, bukan di medan perang fisik, tapi di medan pertempuran ide, narasi, dan integritas.

Di era digital seperti sekarang, pertahanan negara bukan hanya di perbatasan geografis, tapi juga di perbatasan informasi. Kampus harus menjadi barikade pertama terhadap hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian. Mahasiswa harus dilatih untuk menjadi produsen pengetahuan, bukan hanya konsumen informasi. Mereka harus diajarkan untuk skeptis, untuk bertanya, dan untuk berani membantah ketika informasi yang mereka terima mencurigakan. Kampus harus menjadi tempat di mana nalar dikembalikan ke singgasana, bukan dilucuti oleh algoritma dan ilusi media sosial.

Perlu digarisbawahi: membentuk mahasiswa menjadi warga negara adalah tujuan utama pendidikan tinggi. Kampus bukan tempat melahirkan elite yang tercerabut dari realitas sosial. Ia adalah kawah candradimuka tempat karakter digembleng, idealisme diuji, dan rasa cinta tanah air dipupuk. Oleh karena itu, segala aspek kehidupan kampus kurikulum, organisasi mahasiswa, kegiatan riset, pengabdian masyarakat semuanya harus diarahkan untuk satu misi besar: menjadikan generasi muda Indonesia sebagai pejuang kebangsaan yang siap membela negaranya dalam berbagai bentuk dan medan.

Kita juga harus jujur bahwa kampus-kampus di Indonesia hari ini sedang dalam ancaman. Ancaman itu bukan hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam. Dari birokrasi kampus yang terlalu pragmatis, dari dosen yang kehilangan semangat mendidik, dari mahasiswa yang lebih sibuk menjadi buzzer ketimbang menjadi pemikir. Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap infiltrasi ideologi-ideologi transnasional yang menyusup lewat seminar, organisasi, bahkan beasiswa. Kita tidak bisa lagi membiarkan ruang-ruang diskusi diambil alih oleh mereka yang hendak mengganti fondasi kebangsaan kita dengan ide-ide puritan, eksklusif, dan destruktif. Ini saatnya civitas akademika menegaskan kembali bahwa kampus adalah rumah bagi Pancasila, bagi kebhinekaan, bagi nalar, dan bagi masa depan Indonesia.

Di sinilah pentingnya menegaskan bahwa kampus adalah benteng terakhir. Ketika semua institusi lelah, ketika politik menjadi bising dan penuh intrik, ketika media menjadi arena jual beli opini, maka kampus harus tetap berdiri kokoh sebagai penjaga akal sehat dan nurani bangsa. Kampus adalah tempat terakhir di mana idealisme masih bisa tumbuh, di mana perdebatan bisa jujur, dan di mana masa depan bisa dibayangkan dengan jernih. Maka jangan nodai kampus dengan apatisme. Jangan biarkan ruang-ruangnya diisi oleh kekacauan algoritma dan politik uang. Isi kampus dengan nilai, dengan ide, dengan tekad untuk membuat Indonesia lebih baik.

Maka, wahai para dosen, peneliti, mahasiswa, dan seluruh insan akademik: sadarilah bahwa kalian tidak sedang menjalani profesi biasa. Kalian sedang menjaga nyala api republik. Kalian sedang memikul peran sejarah. Jangan rendahkan profesi ini hanya menjadi rutinitas birokratis atau sekadar pekerjaan bergaji tetap. Jadikan profesi ini sebagai pengabdian mulia kepada bangsa. Beranilah bersuara, beranilah membela, beranilah menjadi pelindung terakhir ketika negeri ini diserang bukan oleh peluru, tapi oleh hoaks, intoleransi, dan ketidakpedulian.

Inilah bentuk bela negara kita hari ini. Bukan dengan seragam loreng, tapi dengan jubah intelektual. Bukan dengan senapan, tapi dengan pena, mikrofon, dan keberanian berkata benar. Bukan dengan komando militer, tapi dengan diskusi terbuka, riset yang jujur, dan pendidikan yang menyentuh nurani. Karena di era ini, musuh negara bukan hanya yang datang membawa senjata, tapi juga yang menyamar sebagai “influencer”, “ulama”, “aktivis” atau bahkan “cendekiawan”, tapi sejatinya menyebarkan racun perpecahan.

Mari jaga kampus kita. Mari hidupkan kembali roh intelektual yang merdeka namun berpihak pada kebenaran. Mari jadikan setiap mata kuliah sebagai ladang bela negara. Mari jadikan setiap skripsi sebagai kontribusi kepada republik. Mari jadikan kampus sebagai ruang suci tempat lahirnya warga negara yang cinta damai tapi siap berjuang. Karena ketika kampus diam, republik runtuh pelan-pelan. Tapi ketika kampus bicara, rakyat akan mendengar. Dan ketika kampus bertindak, sejarah akan mencatatnya sebagai tonggak kebangkitan bangsa. (hengki/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow