Fitnah Rocky Gerung: Jokowi Terpojok Diserang Isu Bertubi, PSI Jadi Perahu Amankan Dinasti Politik

Fitnah Rocky Gerung: Jokowi Terpojok Diserang Isu Bertubi, PSI Jadi Perahu Amankan Dinasti Politik

Fitnah Rocky Gerung: Jokowi Terpojok Diserang Isu Bertubi, PSI Jadi Perahu Amankan Dinasti Politik

detakpolitik.com, JAKARTA - Di tengah dinamika politik pasca Pemilu 2024, narasi-narasi liar terus diproduksi oleh sebagian pihak yang gagal menerima perubahan zaman. Salah satunya datang dari Rocky Gerung, yang kembali melontarkan tuduhan tanpa dasar, kali ini dengan menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo tengah terpojok oleh serangan isu bertubi-tubi, dan bahwa PSI adalah perahu yang digunakan untuk mengamankan dinasti politik. Tuduhan ini bukan hanya tidak berdasar, tapi juga merupakan bagian dari upaya sistematis untuk mendistorsi kenyataan dan merusak reputasi Presiden Ketujuh Republik Indonesia yang selama satu dekade telah mempersembahkan kemajuan nyata bagi bangsa ini.

Jika dicermati dengan jernih, tidak ada satu pun pernyataan resmi, baik dari Joko Widodo sendiri maupun dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang menyebut bahwa Jokowi telah resmi menjadi kader PSI. Bahkan PSI sendiri secara terbuka menyatakan bahwa mereka menghormati posisi Jokowi sebagai tokoh bangsa dan tidak pernah mengklaim bahwa beliau telah menjadi bagian struktural partai. Namun, spekulasi terus digulirkan oleh orang-orang seperti Rocky Gerung yang cenderung mengandalkan analisis hiperbola daripada fakta-fakta konkret.

Rocky Gerung tampaknya tengah bermain dalam ruang opini yang dibalut dengan narasi retoris untuk membangun persepsi buruk terhadap Jokowi. Ia menuduh bahwa Presiden ke-7 sedang “terpojok” dan “diserang isu bertubi-tubi”, seolah ingin menggiring opini publik bahwa Jokowi sedang berada dalam posisi defensif yang lemah. Padahal kenyataannya, Jokowi tidak sedikit pun menunjukkan sikap panik atau tertekan. Beliau tetap menjalankan peran transisionalnya sebagai mantan kepala negara dengan elegan dan tenang, mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran demi kesinambungan pembangunan nasional yang telah dirintisnya selama sepuluh tahun terakhir.

Sangat tidak pantas jika seorang intelektual seperti Rocky justru memperkeruh suasana dengan menyebarkan tuduhan yang tidak didasari oleh dokumen, fakta hukum, atau pengakuan dari pihak yang bersangkutan. Menghubungkan Jokowi dengan PSI lalu mengklaim adanya skenario penyelamatan dinasti politik tanpa bukti konkret, adalah bentuk spekulasi yang cenderung fitnah. Lebih dari itu, ini merupakan tindakan yang berpotensi merusak marwah seorang mantan presiden yang telah mengabdi penuh bagi kepentingan rakyat.

Narasi bahwa PSI adalah "perahu dinasti" adalah bentuk penyederhanaan politik yang sembrono. PSI, sejak awal kelahirannya, telah menempatkan diri sebagai partai anak muda yang menjunjung nilai antikorupsi, transparansi, dan meritokrasi. Bahwa mereka menghormati Presiden Jokowi dan mengadopsi sebagian semangat reformis Jokowi adalah hal yang wajar, sebagaimana partai lain juga merujuk kepada tokoh-tokoh besar nasional sebagai panutan. Tapi menjadikan kedekatan itu sebagai dalih untuk menuduh PSI sebagai alat pelindung dinasti adalah tuduhan yang mengada-ada dan menyederhanakan realitas politik yang jauh lebih kompleks.

Dinasti politik, dalam konteks demokrasi modern, juga perlu dipahami secara lebih objektif. Tidak semua keluarga politik yang hadir di ruang publik bisa serta-merta dicap sebagai dinasti yang merugikan negara. Dalam sistem demokrasi, seseorang dipilih melalui suara rakyat, bukan ditunjuk melalui pewarisan kekuasaan. Gibran Rakabuming Raka, misalnya, menjadi Wali Kota Solo dan kini Wakil Presiden RI bukan karena dipaksakan, tetapi karena mendapatkan legitimasi dari pemilih. Menuduh ini sebagai hasil dinasti justru menunjukkan kedangkalan pemahaman terhadap proses politik demokratis yang sehat.

Rocky Gerung dan pihak-pihak yang sepaham dengannya seolah tidak bisa membedakan antara pengaruh politik dan penyalahgunaan kekuasaan. Mereka mencampuradukkan kedekatan emosional antara keluarga dengan desain konspiratif seolah-olah bangsa ini sedang digiring ke dalam bentuk kerajaan. Padahal, Jokowi justru telah memperkuat institusi-institusi negara dan tidak pernah sekalipun menciptakan lembaga baru yang dimaksudkan untuk melanggengkan kekuasaan pribadi atau keluarganya. Selama dua periode kepemimpinannya, Jokowi memprioritaskan pembangunan infrastruktur, penguatan ekonomi rakyat, dan reformasi birokrasi—bukan membangun tembok-tembok dinasti yang tertutup.

Apa yang dilakukan Rocky Gerung sejatinya bukan lagi sekadar kritik, melainkan bentuk agitasi opini yang beraroma politis. Ini bukan produk intelektual, tapi propaganda yang dibungkus dengan filosofi murahan. Kritik seharusnya lahir dari basis rasionalitas dan itikad baik untuk memperbaiki bangsa, bukan dari hasrat untuk menjatuhkan harga diri seorang pemimpin yang sudah purna tugas. Dalam banyak kesempatan, Rocky bahkan lebih sering menampilkan diri sebagai seorang oposisi permanen daripada seorang intelektual netral.

Lebih ironis lagi, Rocky Gerung menyebarkan opini tentang keterpojokan Jokowi tanpa sedikit pun menunjukkan data konkret yang menunjukkan bahwa Jokowi merasa tertekan atau kehilangan legitimasi. Apakah karena Jokowi memilih untuk tidak membalas hinaan, lantas dia dianggap lemah? Ataukah karena Jokowi tidak hadir dalam debat media dan lebih memilih diam, maka diam itu ditafsirkan sebagai tanda kekalahan? Inilah bentuk kekeliruan logika yang paling mendasar dari gerakan politik-opinion Rocky Gerung: memaksa interpretasi sesuai selera, lalu menuntut publik percaya begitu saja.

Fakta-fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Jokowi masih mendapatkan simpati luas dari masyarakat, dan warisan programnya terus dilanjutkan. Sosoknya masih hadir di berbagai kegiatan sosial dan kenegaraan dengan sambutan hangat dari publik. Bahkan dalam kondisi pascapemerintahan, ia tetap menjadi magnet politik yang disegani, bukan sebagai penguasa bayangan, tapi sebagai simbol kontinuitas pembangunan nasional yang konsisten.

Tuduhan bahwa Jokowi menggunakan PSI sebagai perahu politik dinasti, juga merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip demokrasi internal partai politik. PSI adalah partai dengan struktur organisasi sendiri, memiliki forum dan mekanisme demokratis sendiri. Keterlibatan Kaesang Pangarep di dalamnya adalah pilihan pribadi yang sah secara hukum dan politik. Mengapa ketika anak-anak politisi lain berpartisipasi dalam politik dianggap sebagai ekspresi kebebasan, tapi ketika itu dilakukan oleh anak Presiden Jokowi justru diseret ke dalam tuduhan dinasti?

Dalam demokrasi yang sehat, partisipasi politik adalah hak setiap warga negara—termasuk anak presiden. Janganlah kita menciptakan standar ganda hanya karena antipati politik terhadap seorang tokoh. Apakah Kaesang harus dilarang masuk politik hanya karena ia putra Jokowi? Jika iya, maka itu bentuk diskriminasi politik yang nyata.

Opini Rocky Gerung juga menunjukkan betapa para pengkritik Jokowi mulai kehilangan amunisi substansial dan lebih memilih membangun narasi-narasi murahan yang bersandar pada kata "dinasti", "perahu politik", dan "terpojok", demi menciptakan ilusi ancaman terhadap demokrasi. Padahal, yang menjadi ancaman sesungguhnya justru adalah ketika kebebasan berpendapat disalahgunakan untuk membenarkan tuduhan tanpa bukti.

Kita perlu menjaga kehormatan seorang mantan presiden. Jokowi adalah tokoh yang telah melalui proses pemilihan yang sah, bekerja dengan rekam jejak nyata, dan mengakhiri masa jabatannya tanpa menciptakan gejolak politik. Ia patut dihormati, bukan dijatuhkan melalui fitnah dan spekulasi. Kritik boleh, bahkan wajib dalam demokrasi. Tapi kritik yang baik harus dilandasi dengan niat membangun dan fakta yang bisa diverifikasi—bukan sekadar frasa bombastis dan jargon filosofis.

Opini yang mengatakan Jokowi terpojok, PSI adalah perahu dinasti, dan demokrasi Indonesia sedang dijajah oleh keluarga Presiden ke-7 adalah bentuk penyesatan logika yang berbahaya. Ini tidak hanya menyesatkan publik, tapi juga menciptakan atmosfer kebencian terhadap figur yang selama ini bekerja untuk rakyat. Kita tidak boleh membiarkan propaganda model ini merusak integritas demokrasi kita. Mari lawan fitnah dengan fakta, dan hadapi agitasi dengan akal sehat. Jokowi tidak sedang terpojok—yang terpojok justru adalah mereka yang kehilangan panggung dan berusaha merebutnya dengan menciptakan bayangan musuh yang tidak pernah ada.

(Widodo Sihotang/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow