Setelah Jokowi, Kini Gibran: Serial Drama Ijazah yang Tak Pernah Tamat
Setelah Jokowi, Kini Gibran: Serial Drama Ijazah yang Tak Pernah Tamat

detakpolitik.com, Jakarta - Ada satu hal yang selalu membuat bangsa ini tampak kompak: hobi menciptakan drama nasional. Kita tidak pernah puas hanya dengan sinetron jam tujuh malam atau reality show berisi cekcok rumah tangga artis. Tidak. Kita harus punya tontonan politik yang sama dramatisnya, lengkap dengan plot twist, air mata buaya, dan tentu saja, cliffhanger yang bikin rakyat terperangah. Setelah bertahun-tahun publik disuguhi cerita “ijazah Jokowi palsu” yang tak pernah berkesudahan, kini babak terbaru hadir: “Ijazah Gibran.” Ya, seolah-olah republik ini tidak punya masalah lain selain memeriksa rapor dan absensi anak presiden.
Mari kita duduk sebentar, tarik napas panjang, dan bertanya: benarkah bangsa ini akan runtuh hanya karena selembar ijazah SMA? Apakah kita akan kehilangan kedaulatan hanya karena nama Gibran tercatat di buku induk sekolah tertentu? Atau, jangan-jangan, ini hanya hobi baru sebagian orang: mencari celah untuk bikin heboh, karena tanpa drama, hari-hari mereka akan terasa hampa.
Fenomena ini sesungguhnya bukan baru. Dulu Jokowi jadi sasaran: dicari-cari sekolahnya, disusuri teman-teman SMP-nya, bahkan ada yang hampir menggali lubang di Solo hanya untuk memastikan apakah di bawah tanah itu tertanam ijazah asli atau fotokopi. Semua dilakukan atas nama “mencari kebenaran”. Padahal yang dicari bukan kebenaran, tapi keributan. Bukankah lebih seru kalau ada sidang, ada debat, ada kamera wartawan yang menyorot dramatis? Kini, karena Jokowi sudah hampir purna, sasaran pun bergeser ke anaknya. Logika mereka sederhana: kalau tidak bisa menjatuhkan ayahnya, setidaknya goyahkan anaknya.
Inilah yang saya sebut sebagai “politik nostalgia”. Mereka yang gagal menghabisi Jokowi lewat isu ijazah, sekarang mencoba mengulang formula yang sama ke Gibran. Seperti penonton sinetron yang memaksa sutradara mengulang plot lama karena merasa belum puas. Tapi sayangnya, naskah yang diulang terlalu kentara. Jalan ceritanya sama, dialognya sama, bahkan aktor-aktor pendukungnya pun tidak banyak berubah. Ada yang dulu meneriakkan “ijazah palsu” di depan kamera, sekarang masih ada di sana, hanya mengganti target.
Mari kita bicara serius: apa dampaknya pada republik ini jika benar ijazah Gibran dipersoalkan? Apakah akan membuat harga beras turun? Apakah akan membuat rupiah menguat? Apakah akan memperbaiki kualitas udara Jakarta? Tidak. Paling jauh hanya akan menghasilkan sidang panjang, sorakan massa di media sosial, dan berita-berita heboh yang laku dijual di portal daring. Dampak ekonominya paling terasa justru bagi para pengiklan dan pengelola media online, bukan bagi rakyat yang sedang susah.
Satire terbesar di sini adalah bagaimana mereka mengklaim gugatan ini demi keadilan dan konstitusi. Padahal yang mereka lakukan adalah menjadikan pengadilan sebagai panggung teater. Para hakim dipaksa menjadi penonton, jaksa dipaksa menjadi pemain pendukung, dan publik dipaksa membeli tiket drama yang tidak pernah selesai. Dan yang paling menggelikan: Jaksa Pengacara Negara pun sampai “angkat tangan”, karena sadar ini bukan lagi urusan negara, tapi urusan pribadi. Bayangkan, negara harus ikut mengurusi apakah seseorang benar-benar lulus SMA atau tidak seakan-akan itu soal keamanan nasional.
Humor terbesar dari gugatan ini justru ada pada keputusasaan di baliknya. Mengapa harus mengorek-ngorek ijazah seorang pejabat sampai ke lubang cacing? Mengapa tidak sekalian saja periksa buku catatan SD, cek apakah dia pernah membolos, atau bahkan cari tahu nilai pelajaran keseniannya? Kita tunggu saja kalau ada yang menggugat bahwa Gibran pernah tidak ikut upacara bendera di kelas tiga SD, sehingga dianggap tidak nasionalis.
Ironi ini memperlihatkan sesuatu yang lebih dalam: ada sebagian orang yang sulit menerima kenyataan bahwa sebuah keluarga bisa memimpin negara dua periode, dan anaknya pun bisa naik ke kursi kekuasaan. Mereka ingin selalu ada noda yang bisa dipamerkan, supaya publik percaya bahwa tak ada yang suci di republik ini. Padahal rakyat sudah memberikan mandat lewat pemilu. Tapi rupanya, hasil pemilu saja belum cukup. Harus ada drama tambahan, agar hati mereka yang kalah bisa sedikit terhibur.
Sebagai warga, kita sebenarnya berhak menuntut transparansi pejabat publik, termasuk soal ijazah. Itu wajar. Tapi yang sedang terjadi ini bukan sekadar permintaan klarifikasi, melainkan upaya berulang-ulang, tak henti-hentinya, bahkan setelah berbagai klarifikasi diberikan. Ini seperti memeriksa pintu yang sudah dikunci, lalu marah-marah karena tidak percaya kuncinya asli.
Dan mari kita akui, ada rasa puas tersendiri bagi mereka yang menonton drama seperti ini. Publik Indonesia memang suka melihat pejabat dipermalukan. Semakin heboh, semakin ramai. Tapi masalahnya, kita jadi lupa membahas hal yang lebih substansial. Kita tidak bicara tentang bagaimana pemerintah mengatasi krisis pangan, bagaimana memajukan teknologi, atau bagaimana mengurangi ketimpangan sosial. Kita sibuk mengulik foto ijazah, memeriksa tanda tangan kepala sekolah, dan menghitung huruf kapital di stempel.
Dalam satire ini, kita bisa melihat betapa kreatifnya bangsa kita mengubah masalah sederhana menjadi sinetron epik. Jika dunia membuat drama politik soal skandal besar, kita membuat drama politik soal ijazah. Dunia mungkin sedang bicara tentang AI, quantum computing, dan perang energi, sementara kita sedang sibuk menghitung jumlah angka NIS di selembar kertas.
Mungkin suatu hari nanti, para penggugat akan menemukan target baru. Jika tidak ada lagi keluarga presiden yang bisa digugat, mereka mungkin akan menggugat guru-guru yang mengajar anak presiden. Siapa tahu ada yang menemukan bahwa guru matematika Gibran dulu pernah salah menulis angka di papan tulis, lalu itu dijadikan bukti bahwa seluruh nilai rapor Gibran batal demi hukum.
Dan pada akhirnya, drama ini akan berakhir seperti drama sebelumnya: ramai di awal, viral di media sosial, menghabiskan energi, lalu menguap begitu saja tanpa hasil signifikan. Sementara rakyat kembali menghadapi realitas sehari-hari: harga sembako, ongkos transportasi, dan masa depan anak-anaknya.
Jadi, kepada para penggugat, terima kasih sudah menghibur republik ini. Terima kasih sudah membuat kita lupa sejenak pada harga beras yang naik. Tapi ingatlah, republik ini tidak bisa terus-menerus dijadikan panggung drama. Ada batas di mana rakyat akan jenuh, lalu meninggalkan teater kalian. Dan saat itu tiba, kalian akan bicara sendiri di ruang sidang, tanpa penonton, tanpa sorotan kamera.
Mungkin saat itu kalian akan sadar: bangsa ini tidak butuh drama baru, bangsa ini butuh solusi. (dodo/dp)
Apa Reaksi Anda?






