Yang Palsu Bukan Ijazah Jokowi, Tapi Nurani Para Penebar Fitnah!

Yang Palsu Bukan Ijazah Jokowi, Tapi Nurani Para Penebar Fitnah!

Yang Palsu Bukan Ijazah Jokowi, Tapi Nurani Para Penebar Fitnah!

detakpolitik.com, Jakarta, Di tengah hiruk-pikuk dinamika politik nasional yang kerap kali dibalut oleh narasi-narasi penuh kecurigaan, kita menyaksikan satu babak baru yang mencederai akal sehat: tuduhan ijazah palsu terhadap Presiden Joko Widodo. Bukan hanya tidak berdasar, narasi ini menjadi manifestasi dari strategi lama yang dibungkus dalam selimut baru fitnah yang dipoles seolah-olah sebagai “pengungkapan kebenaran”. Namun dalam era ketika fakta bisa diverifikasi dengan sangat cepat, di mana data bisa ditelusuri secara forensik, dan lembaga-lembaga hukum telah mengambil posisi tegas, tetap saja ada segelintir pihak yang memilih menjadi penebar hoaks dan pembelok fakta. Inilah saatnya publik bersuara. Sudah terlalu lama akal sehat bangsa ini diinjak-injak oleh mereka yang menjual kebohongan demi panggung politik murahan.

Presiden Jokowi, seorang tokoh yang telah memimpin negeri ini selama dua periode dengan segudang pencapaian, kini kembali diguncang oleh isu yang tak masuk akal. Mereka, yang tak pernah bisa menerima kekalahan dalam berbagai gelanggang demokrasi, memilih jalan sunyi penuh kebencian: menyerang masa lalu dengan dalih akademik, padahal yang mereka lancarkan hanyalah peluru kosong penuh asumsi. Tuduhan bahwa ijazah Jokowi palsu adalah penghinaan terhadap lembaga pendidikan sekelas Universitas Gadjah Mada. Sebab dengan menuduh Jokowi memalsukan ijazah, mereka secara tidak langsung menuduh UGM, salah satu universitas terbaik negeri ini, telah terlibat dalam konspirasi besar yang menyelamatkan kebohongan. Ini bukan sekadar serangan personal terhadap presiden, ini adalah bentuk pelecehan terhadap sistem pendidikan tinggi nasional dan integritas akademik Indonesia.

Tentu, setiap warga negara berhak bertanya, tetapi ada garis halus yang membedakan antara bertanya dengan itikad mencari kebenaran dan bertanya demi merusak reputasi. Mereka yang menggugat ijazah Jokowi bukanlah kelompok pencari kebenaran. Mereka adalah para oportunis politik yang tak kunjung bisa berdamai dengan sejarah kekalahannya. Di balik topeng moralitas yang mereka pakai, tersembunyi agenda jangka panjang: mendeligitimasi pemimpin yang tidak lahir dari kalangan mereka, yang bukan bagian dari oligarki lama. Presiden Jokowi menjadi simbol pembaruan, dan ini membuat banyak kelompok merasa tersingkir. Maka tak heran, setiap narasi minor selalu diarahkan padanya, dengan harapan bisa mengikis sedikit demi sedikit fondasi kepercayaan rakyat.

Tuduhan tentang “Times New Roman” di ijazah Jokowi misalnya, telah menjadi bahan tertawaan publik akademik. Banyak tipografer profesional dan pakar desain yang membantah klaim ini. Bahkan pihak kampus, dalam hal ini UGM, telah memverifikasi bahwa format ijazah Jokowi sama dengan ribuan ijazah lain pada tahun yang sama. Namun narasi kebohongan selalu memiliki daya hipnosis yang lebih kuat bagi mereka yang ingin percaya. Mereka menolak klarifikasi, menolak fakta, menolak proses hukum, dan malah membangun dunia alternatif di mana logika mereka adalah satu-satunya hukum. Ini bukan lagi soal ijazah. Ini adalah upaya sistematis untuk merusak simbol negara. Ketika Presiden Jokowi menyebut adanya “orang besar” di balik narasi ini, itu bukan spekulasi. Itu adalah alarm kepada publik bahwa kita sedang berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar daripada sekadar pembenci di media sosial. Kita sedang menghadapi kekuatan yang bekerja diam-diam untuk menggulingkan stabilitas negara melalui perang narasi dan delegitimasi simbol-simbol kepemimpinan nasional.

Langkah Presiden Jokowi menyuarakan adanya aktor besar di balik ini adalah bentuk tanggung jawab kepada publik. Ia tahu bahwa fitnah yang terus-menerus disebar tak bisa dibiarkan menjadi kenyataan kedua di benak masyarakat. Fitnah yang tak dilawan akan jadi kebenaran di mata generasi yang tak sempat membaca sejarah dengan jernih. Maka ketika Roy Suryo dan kawan-kawan menyomasi Presiden atas pernyataan itu, justru kita harus bertanya: apa yang membuat mereka merasa tersinggung? Jika mereka tidak merasa sedang berada di balik skenario tersebut, untuk apa bereaksi sedemikian keras? Bukankah lebih baik fokus pada pembuktian data dan logika, ketimbang sibuk mencari celah hukum untuk membungkam suara seorang presiden?

Kita tidak hidup dalam kekosongan hukum. Bareskrim Mabes Polri telah menyatakan ijazah Presiden Jokowi asli. UGM pun telah memberikan keterangan yang konsisten. Bahkan sahabat-sahabat seangkatan Jokowi di Fakultas Kehutanan telah angkat suara, menertawakan kebodohan yang kini menjadi konsumsi publik. Tetapi apa daya, mereka yang hidup dari fitnah tak pernah mengandalkan akal sehat. Mereka hidup dari impresi semu, dari judul-judul clickbait, dari konten YouTube yang mengaburkan fakta dan menggiring opini. Kita sebagai rakyat Indonesia harus sadar bahwa demokrasi hanya bisa berjalan ketika rakyatnya cerdas, bukan mudah digiring oleh pembual yang mengaku intelektual.

Mengapa hoaks seperti ini bisa tumbuh subur? Karena kita membiarkannya. Karena terlalu banyak pihak yang enggan bersuara lantang melawan kebohongan. Karena media kadang justru menikmati viralitas dari hal-hal absurd seperti ini. Kita membiarkan algoritma lebih menentukan kebenaran ketimbang verifikasi akademik dan hukum. Maka sudah saatnya kita balikkan keadaan. Sudah saatnya suara waras mengambil alih ruang publik. Kita tak bisa terus membiarkan sosok seperti Roy Suryo mendikte narasi kebangsaan ini. Ia memang mantan menteri, mantan anggota DPR, tapi kredibilitasnya sudah lama runtuh dalam banyak hal. Publik tak bisa lupa bagaimana ia pernah tersandung berbagai polemik yang mencoreng wajah publik. Kini ia memosisikan diri sebagai pembela kebenaran? Sungguh ironi yang mencolok.

Kita bukan membela Jokowi sebagai individu, tetapi membela posisi institusi kepresidenan dan kehormatan bangsa. Jika seorang Presiden bisa difitnah seenaknya oleh warga sipil tanpa konsekuensi serius, maka siapa lagi yang bisa kita hormati? Jika ijazah Presiden saja bisa dianggap palsu tanpa bukti dan bisa menyulut reaksi nasional, maka ijazah siapapun bisa dituduh palsu hanya dengan asumsi. Ini bukan hanya soal politik. Ini soal masa depan sistem hukum dan kepercayaan publik terhadap negara. Mereka yang menjajakan hoaks tentang Jokowi bukan sedang mencari keadilan, mereka sedang menciptakan kekacauan.

Di tengah situasi global yang penuh ketidakpastian, Indonesia membutuhkan stabilitas, bukan drama politik murahan. Presiden Jokowi telah membawa negeri ini melewati pandemi, krisis pangan, inflasi global, dan kini sedang menyiapkan transisi kekuasaan yang sehat. Tapi di saat negeri ini membutuhkan soliditas, ada saja yang terus mencoba merusak fokus publik dengan narasi absurd tentang ijazah. Mereka menyebar kebohongan di pagi hari dan membungkusnya dengan jargon demokrasi di malam hari. Padahal yang mereka lakukan bukanlah demokrasi, tapi bentuk terburuk dari destruksi sosial yang dikamuflase sebagai aktivisme.

Kepada mereka yang masih ragu, bacalah putusan hukum. Lihatlah bukti otentik yang telah disampaikan kampus dan aparat. Jangan menjadi bagian dari massa yang hanya ingin percaya apa yang ingin mereka dengar. Kebenaran bukan soal selera. Kebenaran adalah soal data dan kesaksian, soal keberanian untuk melihat terang di tengah kabut. Jokowi bukanlah pemimpin sempurna, tetapi dalam soal ini, ia adalah korban dari fitnah politik paling keji dalam sejarah republik modern. Maka berdirilah bersama kebenaran. Jangan biarkan suara fitnah mengalahkan akal sehat kita sebagai bangsa.

Karena ketika fitnah menang, bukan hanya Jokowi yang kalah. Kita semua, sebagai rakyat yang mencintai kejujuran dan integritas, akan ikut tenggelam dalam lumpur kebohongan yang mereka bangun perlahan, tahun demi tahun. Sudah saatnya kita bangkit dan melawan. (roventus/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow