Thailand dan Indonesia Gagal Lolos ke Piala Asia 2026

Thailand dan Indonesia Gagal Lolos ke Piala Asia Wanita 2026: Antara Kecewa yang Tulus dan Alasan yang Mengawang, Narasi Kritik dan Solusi Menuju Masa Depan Sepak Bola Putri yang Lebih Layak

Thailand dan Indonesia Gagal Lolos ke Piala Asia 2026

detakpolitik.com, JAKARTA - Kegagalan Tim Nasional Wanita Thailand dan Indonesia untuk menembus Piala Asia Wanita 2026 bukan hanya menjadi catatan kelam dalam dunia sepak bola kawasan ASEAN, tetapi juga membuka luka lama yang terus saja dibiarkan menganga: abainya kita semua terhadap sepak bola wanita. Tidak mengherankan jika hasil menyakitkan ini menimbulkan reaksi emosional dari para pemimpin federasi masing-masing negara. Namun yang menjadi sorotan adalah perbedaan cara pandang dan tanggapan terhadap kegagalan ini dan dari sinilah kita bisa menilai keseriusan masing-masing negara dalam membangun sepak bola wanita, bukan sekadar menjadikannya pelengkap di tengah gempita industri sepak bola pria.

Madam Pang, Ketua Umum Federasi Sepak Bola Thailand, dengan segala kerendahan hatinya langsung memohon maaf kepada publik. Ia mengakui bahwa kegagalan ini adalah bentuk tanggung jawab yang tidak bisa ia elakkan. Tak ada dalih teknis yang mengawang-awang. Tak ada pembelaan yang membingkai kekalahan sebagai "proses". Tidak ada usaha mencuci tangan dengan melempar kesalahan pada pihak lain. Justru yang ada adalah sikap kepemimpinan tulus yang langka dalam dunia olahraga kita: kesediaan mengakui kesalahan dan janji konkret untuk merombak ulang struktur.

Dalam satu pernyataannya, Madam Pang menegaskan bahwa pada tanggal 7 Juli 2025 ia akan memimpin restrukturisasi total terhadap timnas wanita Thailand. Ini bukan janji normatif atau jargon "evaluasi menyeluruh" yang sering kita dengar dalam pidato para pejabat olahraga pascakegagalan. Ini adalah bentuk ketegasan seorang pemimpin yang punya visi dan tanggung jawab moral terhadap sejarah yang pernah ia ukir sendiri karena 18 tahun lalu, dialah manajer yang mengantar tim wanita Thailand lolos dua kali ke Piala Dunia Wanita. Tentu, bagi orang seperti Madam Pang, hasil buruk hari ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap jejak gemilang yang dulu pernah ia torehkan. Maka wajar, jika ia merasa terpukul dan wajar pula jika publik menaruh harapan baru setelah pernyataan terbukanya.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, pendekatan yang diambil Ketua Umum PSSI Erick Thohir jauh dari spirit tanggung jawab. Alih-alih menyatakan permohonan maaf atas kegagalan, Erick malah menebar narasi pembenaran. Ia menganggap kekalahan 1-2 dari Taiwan sebagai sesuatu yang wajar karena keterbatasan waktu persiapan. Dalihnya: Taiwan mempersiapkan diri selama dua tahun, sedangkan Indonesia hanya beberapa bulan. Pernyataan ini tampak masuk akal di permukaan, tapi bila dikupas lebih dalam, justru memperlihatkan betapa lemahnya fondasi pembangunan sepak bola wanita di tanah air.

Apa gunanya memiliki federasi besar jika ujung-ujungnya waktu persiapan jadi alasan kekalahan? Bukankah yang harusnya menjadi tugas federasi adalah menciptakan sistem pembinaan yang berjalan kontinu, bukan dadakan? Kalaupun Taiwan butuh dua tahun, seharusnya Indonesia sudah bisa mulai lebih awal, apalagi ini bukan turnamen yang mendadak diumumkan. Persiapan bukanlah hal yang "tiba-tiba", melainkan bentuk perencanaan matang jangka panjang. Di sinilah celah pertama muncul: tak adanya roadmap pembangunan timnas putri yang berkesinambungan.

Kritik terhadap Erick Thohir semakin menguat saat muncul insiden yang menggambarkan secara simbolik betapa minimnya perhatian terhadap sepak bola wanita. Ketika para pemain Indonesia selesai bertanding, mereka sempat membentangkan spanduk terima kasih sambil menyanyikan lagu "Tanah Airku". Namun kemudian, kapten tim, Shafira Ika Putri Kartini, membentangkan spanduk lain yang isinya menyuarakan keresahan banyak pemain dan pecinta sepak bola wanita: "Park Erick, kapan Liga 1 Putri digelar?"

Spanduk ini hanya sempat terlihat sebentar sebelum direbut paksa oleh seorang wanita berjas hitam, kemungkinan bagian dari protokol keamanan. Tapi pesan itu sudah telanjur menggema. Ia menjadi pertanda bahwa yang tidak beres bukan hanya soal hasil pertandingan, tetapi tentang sistem yang cacat dan visi federasi yang sempit terhadap sepak bola wanita. Para pemain sudah bersuara namun suara itu malah diredam, bukan ditanggapi.

Erick bukannya merespons dengan kepekaan, malah menjawab dengan nada keras: "Saya sudah jawab berkali-kali. Saya tidak takut tekanan. Masalahnya timnya tidak ada." Ini adalah pengakuan jujur yang pahit, tetapi juga sekaligus pengingkaran terhadap tanggung jawab utama PSSI itu sendiri: membangun sistem. Jika Erick mengatakan "timnya tidak ada", maka publik berhak balik bertanya: lalu apa kerja PSSI selama ini?

Federasi tidak bisa hanya duduk dan menunggu klub-klub secara ajaib membentuk tim wanita. Mereka harus menjadi motor penggerak, bukan penonton pasif. Jika klub-klub belum membentuk tim wanita karena alasan bisnis atau operasional, maka tugas federasi-lah untuk memberi insentif, membuat regulasi, dan menciptakan ekosistem yang menarik bagi lahirnya Liga 1 Putri.

PSSI tidak bisa terus bersembunyi di balik alasan "belum ada talent pool". Talent tidak akan pernah muncul kalau wadahnya tidak disediakan. Dengan tidak adanya liga, para atlet wanita Indonesia hanya bisa menggantungkan harapan mereka pada pemanggilan ke timnas. Itu pun tanpa jaminan kompetisi yang berkelanjutan. Padahal, sebuah timnas yang kuat hanya lahir dari liga yang kompetitif, bukan dari seleksi dadakan.

Bandingkan dengan Jepang, Korea Selatan, atau bahkan Vietnam semua negara itu memiliki sistem liga wanita, meskipun kecil dan belum sekomersial liga pria. Tapi dari sanalah muncul konsistensi dan ritme pertandingan yang dibutuhkan atlet untuk berkembang. Indonesia, sayangnya, masih berada di tahap wacana. Kita sudah beberapa kali menyebut "Liga 1 Putri" sejak 2019, tapi tak pernah benar-benar dijalankan secara reguler dan profesional.

Kritik ini tidak ditujukan untuk menjatuhkan siapa pun. Ini adalah bentuk cinta terhadap sepak bola wanita yang selama ini dipinggirkan. Ini adalah alarm bahwa jika kita tidak segera melakukan langkah nyata, maka masa depan sepak bola wanita Indonesia akan terus seperti ini menjadi tamu tak diundang di setiap turnamen besar, dan hanya dipanggil ketika federasi butuh alasan untuk membenarkan kekalahan.

Solusi yang dibutuhkan bukan hanya soal teknis lapangan, tetapi sistemik. Pertama, PSSI harus segera menetapkan roadmap jangka panjang untuk sepak bola wanita, termasuk pengembangan liga, pembinaan usia dini, dan penguatan pelatih wanita. Kedua, regulasi federasi harus mengharuskan klub Liga 1 pria memiliki tim wanita, minimal di usia muda, sebagai syarat mendapatkan lisensi profesional. Ketiga, pemerintah melalui Kemenpora dan sponsor BUMN harus ikut mendorong pembiayaan awal liga wanita agar kompetisi bisa berjalan sambil mencari titik impas secara bisnis. Dan terakhir, media serta masyarakat luas perlu diberi edukasi bahwa sepak bola wanita bukan hiburan tambahan, melainkan bagian dari prestasi olahraga nasional yang setara nilainya.

Pada akhirnya, kisah kegagalan ini harus menjadi titik balik. Thailand, melalui Madam Pang, sudah mengambil langkah introspeksi. Kini giliran Indonesia jika tak ingin terus menjadi bangsa yang hanya kuat di gembar-gembor, tapi lemah dalam pembangunan yang sesungguhnya. Kita tidak bisa menunggu sampai ada bencana prestasi baru untuk berubah. Kita butuh perubahan sekarang. Bukan untuk hari ini saja, tetapi untuk mimpi ribuan anak perempuan yang ingin memakai lambang Garuda di dada mereka, bukan hanya sekali seumur hidup, tapi dalam sistem yang hidup. Jika federasi tidak bisa memberikan itu, maka sejatinya mereka telah gagal, bahkan sebelum peluit pertama ditiup. (bos/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow