Drama Pemakzulan Gibran, Ilusi Konstitusional dan Provokasi Rocky Gerung

Drama Pemakzulan Gibran, Ilusi Konstitusional dan Provokasi Rocky Gerung

Drama Pemakzulan Gibran, Ilusi Konstitusional dan Provokasi Rocky Gerung

detakpolitik.com, JAKARTA - Dalam beberapa minggu terakhir, publik diguncang oleh kabar perihal surat yang diklaim berasal dari Forum Purnawirawan TNI yang secara frontal meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk memakzulkan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka. Surat itu, sebagaimana dikonfirmasi Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, memang telah diterima dan akan dibahas dalam forum Rapat Pimpinan DPR. Namun, publik pun bertanya-tanya: sampai sejauh mana surat ini memiliki landasan hukum dan kekuatan moral? Ataukah ia hanya merupakan satu dari sekian upaya untuk menggiring opini publik ke arah delegitimasi pemerintahan yang sah?

Dalam kesempatan berbeda, akademisi sekaligus komentator politik Rocky Gerung ikut bersuara. Ia menilai bahwa mengabaikan surat dari para purnawirawan bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Ia menyebut bahwa suara-suara dari masyarakat, khususnya netizen dan generasi muda, telah mengisyaratkan kekecewaan terhadap Gibran. Rocky bahkan secara retoris mengangkat frasa “batin yang luka” ungkapan yang seolah ingin memberi bobot moral pada keberatan sebagian kecil publik terhadap posisi Gibran sebagai Wapres.

Namun di balik gaya orasi intelektual khas Rocky Gerung, publik yang jernih pikirannya sebaiknya tak tertipu. Ada satu fakta mendasar yang gagal dijelaskan oleh Rocky dan kelompok yang mendramatisasi surat tersebut: bahwa mekanisme pemakzulan Wakil Presiden diatur dengan sangat ketat oleh konstitusi, dan tidak bisa dimanipulasi hanya dengan surat dari sekelompok tokoh yang mengatasnamakan purnawirawan.

Pasal 7A UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; atau apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Bukan karena dianggap terlalu muda, bukan karena ia anak Presiden sebelumnya, dan tentu bukan karena ada "batin netizen yang luka."

Mekanisme ini bahkan lebih kompleks daripada sekadar mosi tidak percaya di negara parlementer. DPR harus lebih dulu menyetujui usulan pemakzulan melalui sidang paripurna dengan dukungan sekurang-kurangnya dua pertiga anggota yang hadir dalam sidang yang kuorumnya dua pertiga. Setelah itu, Mahkamah Konstitusi harus memeriksa dan mengadili pendapat DPR atas dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wapres. Jika MK menyatakan Presiden atau Wapres terbukti bersalah, barulah MPR bisa melaksanakan sidang untuk memutuskan apakah akan memberhentikan atau tidak.

Dengan mekanisme seketat ini, siapa pun yang menyerukan pemakzulan dengan dasar suka atau tidak suka, sejatinya sedang bermain api. Mereka tengah memanipulasi opini publik dengan harapan menciptakan krisis kepercayaan. Namun sayangnya, logika mereka cacat dari dasar. Bahkan jika seluruh rakyat Indonesia menandatangani petisi meminta Gibran mundur, jika tidak ada pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud Pasal 7A, maka tidak akan ada dasar legal untuk pemakzulan. Inilah benteng konstitusional yang melindungi stabilitas pemerintahan.

Sialnya, Rocky Gerung justru memilih untuk memperkuat opini publik yang sesat ini. Ia tidak bicara dalam kerangka hukum, melainkan dalam kerangka rasa kecewa, keresahan emosional, dan narasi psiko-politis yang tak dapat diverifikasi. Ia mengangkat suara netizen seolah suara Tuhan. Tapi sejak kapan netizen menjadi konstitusi negara? Sejak kapan kekecewaan media sosial menjadi dasar hukum untuk memberhentikan Wapres?

Pernyataan Rocky soal “anak muda yang tidak mau diwakili oleh Gibran” adalah pernyataan kosong. Ia mengambil sebagian suara dari ruang gema digital dan mengklaimnya sebagai representasi umum. Padahal faktanya, Gibran memenangkan Pilpres bersama Prabowo dengan suara sah rakyat dalam pemilu yang terbuka, transparan, dan diawasi ketat. Lebih dari 96 juta suara diberikan kepada pasangan ini—angka yang tidak bisa disangkal bahkan oleh oposisi yang paling keras sekalipun.

Jika Rocky benar peduli pada demokrasi, maka semestinya ia tahu bahwa demokrasi tidak hanya tentang kebebasan berbicara, tetapi juga tentang menghormati hasil suara rakyat. Jika ia benar mencintai Indonesia, maka seharusnya ia menjaga stabilitas politik nasional, bukan malah menebar propaganda ketidakpuasan yang dibalut analisis palsu. Tapi tampaknya Rocky lebih senang bermain di wilayah populisme retoris menjadi pelayan bagi atmosfer kekecewaan dan memperalat logika awam demi sensasi dan tepuk tangan dari audiens yang tak peduli pada kedalaman hukum.

Adakah Rocky membaca konstitusi? Ataukah ia hanya membaca komentar di Twitter? Narasi tentang Gibran sebagai simbol dinasti memang menarik secara emosional, tetapi tidak punya signifikansi legal. Dan jika kita membiarkan narasi seperti itu terus berkembang tanpa bantahan rasional, maka bukan tidak mungkin ke depan kita akan menyaksikan pemakzulan hanya karena politisi tak disukai oleh opini viral di media sosial. Demokrasi macam apa yang kita bangun kalau begitu?

Surat dari Forum Purnawirawan pun sebetulnya tidak lebih dari ekspresi politik biasa, yang bisa dihargai sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, tetapi tidak otomatis memiliki daya legal. Bahkan isi dan pengirim surat tandingan yang sempat disebut oleh Indra pun masih belum jelas. Justru dengan adanya surat-surat gelap semacam itu, publik perlu curiga bahwa ini semua bagian dari rekayasa opini, bukan dari kekuatan moral sejati.

Ada keganjilan serius dalam dinamika ini: mengapa Rocky yang dulu dikenal sebagai pengkritik oligarki, hari ini justru membela manuver para mantan jenderal yang mencoba menekan sistem dari luar koridor hukum? Bukankah ini bentuk lain dari elitisme politik yang mencoba menjungkirbalikkan aturan konstitusi demi kepentingan mereka sendiri?

Jangan tertipu oleh drama. Pemakzulan Gibran bukan hanya tidak mungkin karena ia tak melakukan pelanggaran hukum, tapi juga karena semangat demokrasi kita menolak proses politik yang dikendalikan oleh dendam pribadi dan narasi sesat. Para penebar wacana pemakzulan sebaiknya mawas diri: kalau mereka masih punya niat baik terhadap republik ini, maka berhentilah merusak kepercayaan publik terhadap sistem dengan ilusi-ilusi politik yang tak berdasar.

Indonesia bukan negara Instagram. Kita tak boleh menjadikan keresahan media sosial sebagai pengganti prosedur konstitusi. Dan Rocky Gerung, jika benar ingin menjadi intelektual publik, sebaiknya berhenti menjadi penghasut akademis dan kembali pada kejujuran berpikir. Sebab jika tidak, sejarah hanya akan mencatatnya sebagai komentator sinis yang gagal memberi arah, tetapi sukses membakar kekecewaan.

Dalam suasana politik yang sedang dalam proses konsolidasi, isu pemakzulan ini justru hanya menjadi pengalih perhatian dari agenda-agenda besar kenegaraan. Pemerintahan Prabowo-Gibran, apapun pandangan kita terhadapnya, saat ini sah secara hukum dan perlu diberi ruang untuk bekerja. Kritik boleh, bahkan harus. Tetapi jangan campur aduk kritik dengan kudeta perasaan.

Gibran adalah Wakil Presiden Republik Indonesia, dipilih oleh rakyat dalam pemilu yang sah. Jika Rocky Gerung dan kawan-kawan merasa tidak puas, maka jalan satu-satunya adalah bertarung di pemilu berikutnya. Itulah demokrasi. Bukan dengan surat misterius. Bukan dengan manipulasi narasi. Dan bukan dengan “batin yang luka.”

Sebab Republik ini terlalu besar untuk diombang-ambingkan oleh logika yang kabur. Dan konstitusi terlalu mahal untuk dijadikan mainan oleh mereka yang hanya ingin tampil sebagai pahlawan dalam drama politik semu. (WIDODO/DP)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow