Pemakzulan Gibran dan Kekeliruan Mahfud MD dalam Menilai Etika Konstitusional
Pemakzulan Gibran dan Kekeliruan Mahfud MD dalam Menilai Etika Konstitusional
Penulis: Widodo Sihotang | Peneliti Detak Politika
detakpolitik.com, JAKARTA - Pernyataan Mahfud MD yang menyebut langkah Forum Purnawirawan TNI dalam mengusulkan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai tindakan yang “sah dan elegan” bukan hanya membingungkan secara politik, tetapi juga menyesatkan dari sudut pandang konstitusional. Di tengah kekacauan informasi dan polarisasi opini publik, seorang tokoh sekelas Mahfud—yang pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan—seharusnya bersikap jernih, hati-hati, dan taat asas dalam berbicara, apalagi menyangkut isu fundamental seperti pemakzulan seorang Wakil Presiden. Sayangnya, pernyataan Mahfud dalam podcast “Terus Terang Mahfud MD” justru menjadi contoh nyata bagaimana seorang intelektual hukum bisa terseret dalam narasi politik yang membajak konstitusi.
Mari kita mulai dengan hal yang paling mendasar: pemakzulan bukanlah hak politik biasa. Ini bukan ruang aspirasi bebas seperti hak memilih dalam pemilu atau menyampaikan pendapat dalam mimbar bebas. Pemakzulan adalah mekanisme konstitusional yang sangat ketat, penuh syarat, dan diatur dengan presisi oleh UUD 1945. Oleh karena itu, menyebut bahwa siapapun warga negara bisa secara sah mengusulkan pemakzulan seorang Wakil Presiden hanya karena merasa tidak puas dengan proses pencalonannya adalah penyederhanaan berbahaya, bahkan bisa disebut sebagai pembiaran terhadap upaya delegitimasi jabatan publik dengan cara yang inkonstitusional.
Pasal 7B UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa dilakukan apabila yang bersangkutan diduga telah melakukan pelanggaran hukum berat: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Dan bahkan itu pun harus melalui mekanisme konstitusional yang sangat rumit: usulan oleh DPR, penyelidikan oleh Mahkamah Konstitusi, dan persetujuan MPR. Tidak ada celah sedikit pun dalam konstitusi yang membuka ruang pemakzulan atas dasar ketidakpuasan politik, penilaian moral subyektif, atau tafsir etika personal.
Forum Purnawirawan TNI, yang sejatinya tidak memiliki posisi hukum formal dalam sistem ketatanegaraan kita, telah mengambil langkah yang tidak hanya inkonstitusional, tetapi juga manipulatif. Dengan membawa isu moralitas dan kepatutan, mereka menampilkan wajah moralitas semu yang seolah mewakili suara rakyat. Padahal, mereka bukan lembaga perwakilan yang sah, bukan ormas keagamaan, bukan lembaga etik, dan bukan pula bagian dari otoritas hukum. Apa dasar legal mereka untuk mengajukan surat ke DPR dan MPR agar Wapres dicopot? Tidak ada. Dan lebih mencemaskan lagi, Mahfud MD justru memberi pengakuan seolah ini adalah bentuk demokrasi yang ideal.
Di titik ini, kita perlu mengingatkan Mahfud MD pada sejarahnya sendiri. Ia pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi, sebuah posisi yang mensyaratkan integritas hukum paling tinggi dan tanggung jawab terhadap penegakan konstitusi secara utuh, bukan sepotong-potong. Mahfud tahu—dan sangat mungkin masih ingat—bahwa Mahkamah Konstitusi tidak bisa begitu saja mengadili atau menanggapi usulan pemakzulan tanpa adanya pelanggaran hukum yang konkret dan terbukti. Oleh karena itu, Mahfud seharusnya menjadi orang pertama yang meluruskan cara berpikir keliru dari kelompok yang menyeret tafsir konstitusi ke dalam lubang hitam kebencian politik.
Pernyataan Mahfud bahwa langkah Forum Purnawirawan itu “lebih elegan” ketimbang membuat video TikTok provokatif justru mencerminkan kekeliruan mendasar dalam menilai derajat bahaya tindakan inkonstitusional. Mempublikasikan video TikTok yang bernada sindiran memang bisa mengganggu kenyamanan diskusi publik, tetapi itu tetap berada di wilayah kebebasan berekspresi. Sebaliknya, mengirim surat resmi kepada DPR dan MPR yang berisi permintaan untuk memakzulkan Wakil Presiden tanpa dasar hukum, justru merupakan bentuk pembangkangan konstitusi yang dibungkus dengan amplop formalitas.
Sikap Mahfud seperti ini sangat berbahaya karena membiarkan tafsir liar atas konstitusi dibiarkan hidup di ruang publik. Dalam demokrasi yang sehat, konstitusi adalah rambu. Ketika rambu itu diabaikan atas nama ekspresi politik atau aspirasi moral, maka demokrasi tidak lagi berjalan di jalan tol hukum, melainkan tercebur dalam got kepentingan partisan. Mahfud seharusnya sadar bahwa ucapannya memberi justifikasi terhadap perilaku politik yang berpotensi menginspirasi kelompok-kelompok lain untuk melakukan hal serupa: menolak hasil pemilu, merongrong keabsahan jabatan publik, dan mempolitisasi tafsir hukum demi tujuan politik jangka pendek.
Mengenai Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahfud tentu mengetahui bahwa putusan itu, terlepas dari kontroversi dan konflik kepentingan yang menyertainya, tetaplah putusan resmi dari lembaga peradilan konstitusi. Konstitusi kita tidak mengenal mekanisme pembatalan putusan MK oleh DPR, MPR, atau forum purnawirawan mana pun. Jika putusan itu cacat hukum, satu-satunya jalan adalah melalui mekanisme pengujian ulang atau legislative review oleh pembentuk undang-undang, bukan melalui tekanan publik atau jalur pemakzulan pejabat yang diuntungkan oleh putusan tersebut. Bahkan jika kita mengakui adanya konflik kepentingan oleh Ketua MK saat itu, tetap tidak serta-merta menjadikan Gibran sebagai sosok yang bisa dimakzulkan. Apalagi, MK sendiri sudah menjalankan proses etik lewat Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), dan keputusannya telah dijalankan.
Kita tidak bisa menyamakan “ketidaksukaan” terhadap seorang pejabat dengan “alasan konstitusional” untuk memakzulkannya. Ketidaksukaan adalah hak pribadi, bahkan hak politik. Tetapi pemakzulan adalah perkara hukum yang berbasis pada pembuktian dan kerangka konstitusi. Dalam dunia hukum, kita tidak menghukum seseorang atas dasar asumsi atau persepsi, melainkan atas dasar bukti dan pelanggaran yang terverifikasi.
Pernyataan Mahfud bahwa para purnawirawan “berhak secara politik” untuk menyuarakan pemakzulan memang tidak salah dalam konteks kebebasan berpendapat. Tetapi ketika pendapat tersebut diarahkan untuk mendesak tindakan konstitusional tanpa dasar konstitusional, maka negara harus hadir untuk meluruskan, bukan justru memuji. Salah satu tugas utama negara hukum adalah mencegah abuse of freedom yang justru merusak sendi hukum itu sendiri. Kebebasan berekspresi tidak boleh dibiarkan menjadi kebebasan mengacaukan sistem kenegaraan.
Pernyataan Mahfud dalam podcast tersebut bukan hanya kurang hati-hati, tetapi juga berbahaya jika dianggap sebagai rujukan moral. Ini adalah contoh klasik bagaimana otoritas moral bisa disalahgunakan oleh popularitas dan romantisme kebebasan. Kita perlu menyadarkan Mahfud bahwa seorang negarawan bukan hanya harus bijak, tetapi juga konsisten. Konsisten dalam menegakkan hukum, bukan dalam membagi-bagikan pembenaran atas tindakan yang mencederai tatanan konstitusional.
Sebagai penutup, marilah kita renungkan kembali peran Mahfud MD sebagai mantan Ketua MK dan tokoh hukum nasional. Ia telah menikmati posisi strategis dalam membentuk diskursus hukum nasional, dan karena itu memiliki beban moral untuk menjadi penjaga rambu-rambu konstitusi, bukan justru pemandu jalan pintas yang dipakai oleh kelompok-kelompok yang frustrasi secara politik. Tidak semua yang “resmi” adalah “konstitusional”. Tidak semua yang “elegan” adalah “benar”. Dan tidak semua yang “aspiratif” adalah “absah secara hukum”.
Apa yang dibutuhkan hari ini bukan pujian terhadap langkah inkonstitusional yang dikemas secara rapi, tetapi pembelajaran publik bahwa demokrasi bukan ruang bebas tanpa pagar hukum. Mahfud MD harus kembali kepada prinsip awalnya sebagai guru besar hukum tata negara: menegakkan konstitusi, bukan menari di atas tafsir lentur yang menggadaikan hukum pada romantisme oposisi. Jika Mahfud tidak kembali ke jalan itu, maka ia bukan lagi penjaga konstitusi, melainkan penyelundup logika di tengah hiruk-pikuk demokrasi.
(Widodo Sihotang/dp)
Apa Reaksi Anda?






