Tokoh Besar di Balik Tuduhan Ijazah Palsu: Antara Ambisi Politik dan Strategi Menjatuhkan Legitimasi Jokowi
Tokoh Besar di Balik Tuduhan Ijazah Palsu: Antara Ambisi Politik dan Strategi Menjatuhkan Legitimasi Jokowi

detakpolitik.com, Jakarta - Dalam politik Indonesia yang penuh intrik dan manuver tak kasat mata, pernyataan Presiden Joko Widodo soal adanya “tokoh besar” di balik tudingan ijazah palsu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sebagai lelucon politik atau pernyataan emosional belaka. Sebaliknya, kalimat itu merupakan peringatan keras dari seorang kepala negara yang sudah kenyang menghadapi berbagai bentuk fitnah, hoaks, dan pembunuhan karakter sejak sebelum menjabat, dan justru makin intens saat menjelang akhir masa jabatannya.
Untuk memahami duduk persoalan ini secara jernih, kita harus menarik garis panjang dari sejarah perlawanan terhadap Jokowi sejak ia pertama kali muncul ke panggung nasional. Sosok yang bukan dari kalangan elite politik lama, tanpa garis keturunan ningrat atau trah partai besar, Jokowi adalah anomali dalam sistem oligarkis yang telah mengakar puluhan tahun. Ia bukan anak partai, bukan anak jenderal, dan bukan anak konglomerat. Maka kemunculannya sebagai pemimpin nasional adalah lonceng kematian bagi sebagian kekuatan lama yang merasa memiliki warisan kekuasaan di republik ini.
Tudingan ijazah palsu yang diembuskan secara sistematis oleh Roy Suryo, Rismon Sianipar, dr. Tifa dkk, bukanlah inisiatif pribadi semata. Tidak mungkin narasi sebesar itu yang menyasar legitimasi pendidikan presiden, menyasar kehormatan institusi seperti Universitas Gadjah Mada, dan berusaha mengubah persepsi publik lewat penggiringan opini di media sosial dilakukan tanpa logistik, jaringan distribusi konten, dan persiapan narasi yang rapi. Roy Suryo, terlepas dari reputasinya sebagai mantan Menteri Pemuda dan Olahraga serta pakar telematika, tidak memiliki cukup kekuatan sendirian untuk menggerakkan gelombang publikasi dan framing media sebesar itu. Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan dari serangan tersebut?
Presiden Jokowi mengisyaratkan adanya "tokoh besar" di belakang Roy Suryo cs. Ini bukan sekadar spekulasi. Jika kita membaca irama politik nasional, mudah dilihat bahwa tuduhan ijazah palsu mulai dimassifkan kembali menjelang momentum krusial seperti Pemilu 2024 dan masa-masa transisi kekuasaan menuju pemerintahan baru. Tuduhan ini tidak hanya menyasar Jokowi sebagai individu, melainkan menyasar legitimasi seluruh struktur pemerintahan termasuk Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sebagai penerus estafet yang sah melalui jalur demokrasi. Ketika Anda merusak fondasi legalitas seorang presiden, maka Anda juga mengguncang legitimasi seluruh bangunan negara yang dibentuk selama pemerintahannya.
Sebagai catatan penting: tuduhan serupa tidak muncul dari ruang hampa. Di baliknya, selalu ada motif. Dalam hal ini, motifnya jelas: mendelegitimasi Jokowi dengan cara paling fundamental melalui perusakan kredibilitas akademik, yang bisa berdampak hukum jika berhasil. Jika opini publik berhasil digiring bahwa Jokowi berijazah palsu, maka perintah-perintah negara yang ditandatanganinya selama 10 tahun bisa dipertanyakan, termasuk Peraturan Presiden, keputusan pengangkatan, kebijakan strategis nasional, bahkan hasil pemilu yang dia menangkan. Imbasnya bukan hanya pada Jokowi, melainkan pada stabilitas negara secara keseluruhan. Dan jika negara dalam kondisi guncang, siapa yang siap mengambil alih?
Di titik inilah dugaan tentang “tokoh besar” bukan lagi asumsi kosong. Kita berbicara tentang kemungkinan keterlibatan tokoh politik senior atau bahkan jejaring kekuatan lama yang tidak ingin Prabowo-Gibran meneruskan stabilitas yang telah dibangun Jokowi. Mungkin mereka menganggap pemerintahan Prabowo terlalu lunak pada Jokowi, terlalu meneruskan legacy sang Presiden. Maka satu-satunya cara untuk menghancurkan kesinambungan ini adalah menghancurkan figur utama: Jokowi.
Kita perlu mengingat bahwa Roy Suryo sebelumnya dikenal sebagai politisi dari Partai Demokrat, partai yang di masa lalu pernah berseberangan secara terbuka dengan Jokowi. Meski ia sudah tidak aktif secara formal, jejak relasi politik Roy tidak serta-merta hilang. Bahkan, saat dirinya memulai tuduhan soal ijazah, beberapa tokoh oposisi turut memberikan komentar, membagikan ulang narasi yang ia bangun. Beberapa portal berita non-arus utama yang condong pada kubu oposisi turut menggiring opini bahwa Jokowi harus dibuktikan ijazahnya — bahkan ketika Polri sudah menyatakan keasliannya. Ini menunjukkan bahwa narasi tersebut bukan hanya ‘riset akademik’, melainkan bagian dari grand strategy propaganda.
Sinyal lain muncul dari cara isu ini terus diulang meskipun fakta hukum sudah menyatakan bahwa ijazah Presiden sah. Setelah Bareskrim menyatakan keaslian dokumen Jokowi melalui validasi ke UGM pada Mei 2025, Roy Suryo dan koleganya tidak mundur. Mereka justru semakin intens bersuara di media. Ini menunjukkan bahwa misi mereka bukan sekadar pembuktian fakta, melainkan misi politis yang tak selesai walau kebenaran objektif sudah ditegakkan. Sementara mereka mengklaim sebagai “peneliti independen”, perilaku mereka menunjukkan intensi politis: merongrong kredibilitas presiden di ruang publik, bukan di ruang hukum.
Jokowi sebagai presiden tentu tahu lebih banyak daripada yang bisa ia ucapkan secara terbuka. Ia memiliki akses ke intelijen negara, laporan BIN, Polri, hingga tim siber yang menganalisis aliran konten dan motif di balik penyebaran isu-isu strategis. Jika ia sampai menyebut ada “tokoh besar” di balik Roy Suryo, maka itu bukan ucapan sembarangan. Presiden tidak akan mengeluarkan pernyataan demikian tanpa memiliki data pendukung. Kemungkinan besar, Presiden mengetahui siapa yang menjadi otak di balik narasi ijazah palsu, namun memilih tidak menyebut nama demi menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional.
Fakta-fakta lain yang memperkuat dugaan ini adalah keterkaitan Roy Suryo dengan aktor-aktor penyebar hoaks yang terorganisir. Misalnya, sebagian besar narasi soal ijazah palsu disebarkan oleh akun-akun yang juga sebelumnya terlibat dalam penyebaran hoaks soal Jokowi adalah keturunan PKI, Jokowi anti-Islam, dan Jokowi boneka China. Ini bukan kelompok baru. Ini kelompok lama dengan strategi daur ulang isu yang diperkuat ulang menjelang momen politik penting. Di sinilah terlihat bahwa serangan terhadap Jokowi bersifat struktural dan sistematis.
Sebagian besar jaringan penyebar hoaks ini juga berafiliasi dengan kelompok-kelompok garis keras yang sejak awal menolak Jokowi karena latar belakangnya yang bukan dari elite agama atau militer. Maka sangat mungkin, tokoh besar yang dimaksud Jokowi adalah seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kapasitas menggerakkan berbagai simpul oposisi: dari simpul politisi kecewa, akademisi oposisi, aktivis ideologis, hingga buzzer garis keras. Mereka terhubung oleh satu kepentingan: Jokowi harus dilenyapkan secara politik agar struktur kekuasaan lama bisa kembali.
Strategi delegitimasi lewat ijazah palsu ini memiliki analogi kuat dalam politik global. Di Amerika Serikat, Barack Obama pernah dituduh tidak lahir di AS oleh Donald Trump dan kelompoknya, yang dikenal dengan istilah “birtherism”. Tujuannya sama: menjatuhkan legitimasi presiden secara hukum dan moral agar masyarakat mempertanyakan keabsahan pemerintahannya. Dalam kasus Jokowi, tuduhan palsu soal ijazah adalah bentuk “birtherism” versi Indonesia hanya saja lebih jahat karena ditujukan kepada pemimpin yang telah menjalankan tugasnya selama dua periode dengan bukti nyata pembangunan, stabilitas, dan pengakuan internasional.
Dengan menyebut adanya tokoh besar di balik Roy Suryo cs, Jokowi sebenarnya sedang mengingatkan publik bahwa kita semua harus waspada terhadap gerakan terselubung yang ingin memecah belah bangsa. Serangan terhadap presiden bukan hanya soal pribadi, tapi soal upaya menghancurkan fondasi kepercayaan rakyat terhadap negara. Dan jika serangan ini berhasil, maka akan membuka pintu bagi kekuatan-kekuatan gelap untuk mengambil alih panggung politik dengan cara tidak demokratis.
Oleh karena itu, publik seharusnya tidak terjebak pada narasi seolah-olah Jokowi sedang bermain drama atau menutup-nutupi. Justru Jokowi sedang menjaga stabilitas nasional dengan tidak membongkar seluruh informasi yang ia miliki. Tapi cukup dengan satu kalimat “sudah tahu lah siapa” beliau mendorong rakyat untuk berpikir kritis dan menyusun kepingan fakta yang sudah tersebar.
Ketika Roy Suryo dengan mudahnya mengatakan bahwa dirinya “hanya peneliti”, maka masyarakat harus lebih cerdas. Peneliti macam apa yang tidak mau menerima hasil penyelidikan Polri dan justru terus menyebarkan opini? Peneliti macam apa yang justru lebih aktif di media sosial dan TV daripada di jurnal ilmiah? Itu bukan riset, itu propaganda. Dan propaganda yang dilakukan secara sistematis, didanai, disebar, dan tidak mau berhenti meski faktanya sudah jelas, hanya bisa dilakukan jika ada dalang besar di belakangnya.
Pernyataan Jokowi patut dipercaya. Dan bagi rakyat Indonesia yang mencintai negeri ini, sudah saatnya untuk berhenti menjadi konsumen isu-isu murahan. Kita harus bersatu melawan kekuatan politik gelap yang bersembunyi di balik klaim akademis dan narasi moral, padahal sejatinya mereka adalah pelaku disinformasi yang bertujuan menjatuhkan pemerintahan sah dengan cara-cara pengecut.
Jokowi sudah cukup memberi sinyal. Sekarang, giliran rakyat yang menentukan apakah akan terus percaya pada fitnah lama yang dibungkus “riset”, atau berdiri tegak bersama konstitusi dan presiden yang sah. Negara ini tak boleh tumbang hanya karena ulah segelintir orang yang sakit hati kehilangan kekuasaan. (doni/dp)
Apa Reaksi Anda?






