Menteri Keuangan Purbaya, Saatnya Diam dan Bekerja: Negara Tak Butuh Koar, Butuh Hasil

Menteri Keuangan Purbaya, Saatnya Diam dan Bekerja: Negara Tak Butuh Koar, Butuh Hasil

Menteri Keuangan Purbaya, Saatnya Diam dan Bekerja: Negara Tak Butuh Koar, Butuh Hasil

detakpolitik.com, Jakarta - Di tengah hiruk-pikuk pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, publik dikejutkan oleh berita bahwa Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dipanggil ke Hambalang. Isu yang dibahas bukanlah perkara sepele. Keluhan PT Agrinas di Papua, sebuah program strategis nasional yang menyangkut hajat hidup rakyat di ujung timur negeri ini, menjadi sorotan. Prabowo ingin masalah dipercepat penyelesaiannya. Arahan presiden jelas: negara tidak boleh terhambat hanya karena administrasi berbelit. Namun, yang menjadi sorotan publik bukan hanya masalah substansinya, tetapi juga gaya komunikasi seorang menteri yang seharusnya lebih tenang, lebih matang, dan lebih memahami bahwa kata-katanya bisa menimbulkan gelombang politik yang tidak perlu.

Purbaya, kita tahu Anda bukan orang sembarangan. Rekam jejak Anda di dunia ekonomi panjang. Anda bukan sekadar birokrat, Anda seorang ekonom dengan teori dan konsep yang banyak dikagumi. Anda punya kapasitas akademik, kecerdasan analitis, dan wawasan makro yang mungkin jauh di atas rata-rata politisi di Senayan. Namun ingatlah, negeri ini tidak sedang mengadakan seminar. Indonesia sedang menghadapi tantangan nyata: pembangunan infrastruktur di Papua, ketimpangan ekonomi, kebutuhan mempercepat realisasi anggaran, dan keharusan menciptakan lapangan kerja yang masif. Publik tak butuh teori panjang lebar yang diungkap di media. Publik menunggu hasil nyata, yang bisa mereka rasakan di dapur, di sawah, di pasar, dan di meja makan.

Sayangnya, gaya Anda yang terlalu terbuka, terlalu "mengajar" di ruang publik, membuat banyak pihak gatal untuk menjegal. Ada DPR yang merasa ditantang, ada kelompok kepentingan yang merasa diintimidasi oleh transparansi Anda, ada birokrasi yang merasa tersinggung oleh kritik terbuka. Bukan berarti mereka benar, tetapi gaya komunikasi yang menantang bisa menciptakan musuh yang tidak perlu. Kita tahu, di rapat kerja DPR beberapa waktu lalu, Anda dengan lantang membantah, bahkan mematahkan argumen anggota dewan yang mencoba menekan Anda. Itu memang memuaskan bagi publik yang mendambakan pejabat berani, tetapi secara politik, itu membuat Anda menjadi sasaran empuk. Musuh Anda bertambah, dan setiap kebijakan yang Anda bawa kemudian akan dijegal di meja anggaran, di komisi-komisi, atau bahkan di opini media yang dimobilisasi.

Negara ini punya sejarah panjang bagaimana kebijakan bagus gagal karena perlawanan politik yang sistematis. Lihat kasus BLBI, lihat upaya reformasi subsidi energi, lihat bagaimana kebijakan pangan selalu menjadi ajang tarik-menarik kepentingan. Kita tidak boleh mengulang blunder yang sama. Dalam konteks ini, Purbaya harus paham bahwa komunikasi publik bukan hanya soal menjawab tuduhan, tetapi juga seni mengelola persepsi. Tidak semua teori ekonomi harus diumbar. Tidak semua strategi harus diumumkan. Apalagi jika strategi itu bisa menjadi peta bagi lawan-lawan politik untuk mencari celah menyerang.

Publik tentu mendukung percepatan program seperti yang diminta Prabowo. Kita semua sepakat, rakyat Papua berhak mendapat akses pada proyek pembangunan yang layak. Tetapi kita juga tidak ingin masalah kecil seperti surat bebas PNBP menjadi bahan bakar polemik. Purbaya mestinya diam-diam menyelesaikan masalah itu, langsung turun tangan, koordinasi cepat, bereskan dengan tim teknis, lalu laporkan ke presiden: “Pak, sudah selesai.” Selesai tanpa koar. Tanpa drama. Tanpa membuat headline.

Mari kita ingatkan, pekerjaan menteri bukan membuat dirinya viral, melainkan membuat hasil kerjanya terasa di masyarakat. Publik tidak perlu tahu berapa kali Purbaya dipanggil ke Hambalang, tidak perlu tahu berapa kali ia berdebat dengan anggota DPR, tidak perlu tahu bahwa ia “tidak mau jadi kambing hitam.” Biarkan hasil kerjanya yang berbicara. Kalau anggaran terserap cepat, kalau proyek strategis berjalan, kalau harga pangan stabil, maka Purbaya akan dihormati tanpa harus berteriak-teriak di media.

Dalam sejarah politik kita, terlalu banyak pejabat yang hancur bukan karena mereka bodoh, tetapi karena mereka terlalu banyak bicara. Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menghadapi situasi yang sama, bahkan dipaksa mundur dari kabinet gara-gara keputusan-keputusan tegasnya. Bedanya, Sri Mulyani memilih berkomunikasi dengan bahasa yang lebih diplomatis, lebih hati-hati, dan sering kali membiarkan angka-angka yang bicara. Purbaya harus belajar dari itu. Ia boleh cerdas, boleh kritis, tetapi harus luwes. Jangan jadi bahan baku konflik baru yang menguras energi presiden.

Kita juga harus ingat, setiap kata menteri akan menjadi kompas bagi investor. Bila menteri terlalu sering tampil emosional atau defensif, pasar akan membaca itu sebagai sinyal ketidakpastian. Dalam ekonomi, persepsi adalah setengah dari kenyataan. Jika persepsi yang lahir adalah bahwa pemerintah ribut di dalam, investor akan wait and see. Dana pembangunan yang kita butuhkan akhirnya tertahan. Siapa yang rugi? Rakyat juga.

Karena itu, kritik ini bukan sekadar kepada Purbaya pribadi, tetapi kepada semua pejabat publik. Jangan terlalu sering berbicara, bekerja saja. Negeri ini sudah terlalu ramai oleh suara-suara bising. Kita butuh keheningan di tingkat eksekutif, supaya kebijakan bisa lahir tanpa distraksi. Kita butuh menteri yang bukan hanya pintar, tetapi juga sabar. Kita butuh pejabat yang bisa menahan diri untuk tidak memuaskan ego intelektualnya di ruang publik, demi sebuah misi yang lebih besar: menyelamatkan bangsa.

Prabowo sudah memberi contoh bagaimana ia mengelola isu ini. Alih-alih marah di depan publik, ia memanggil langsung Purbaya ke Hambalang. Bicara empat mata, memberi arahan, meminta solusi. Itulah gaya kepemimpinan yang efektif: tidak perlu ribut, yang penting selesai. Purbaya seharusnya mengikuti pola itu. Kurangi koar, tingkatkan koordinasi. Kurangi drama, tingkatkan eksekusi.

Dan kepada DPR atau pihak-pihak yang senang mencari panggung lewat gesekan dengan menteri, berhentilah menganggap ini sebagai ajang pertarungan ego. Rakyat menunggu hasil, bukan drama. Negara tidak boleh disandera oleh kepentingan jangka pendek atau urusan politik murahan. Kalau Agrinas butuh percepatan izin di Papua, percepatlah. Kalau ada kendala teknis, selesaikan di meja kerja, bukan di meja debat televisi.

Opini ini sengaja keras, karena kita mencintai negeri ini. Kita tidak ingin seorang menteri yang punya kapasitas seperti Purbaya jatuh hanya karena salah kelola komunikasi. Kita ingin ia sukses, tetapi suksesnya hanya akan tercapai jika ia memilih untuk merendahkan nada, menahan mulut, dan melepaskan ambisi tampil pintar di hadapan publik. Saat ini, rakyat tidak sedang mencari guru besar ekonomi. Mereka sedang mencari pemimpin yang bisa membuat harga beras turun, listrik tetap menyala, jalan di Papua tembus, dan anggaran terserap tepat waktu.

Purbaya, Anda punya kesempatan emas untuk membuktikan diri sebagai menteri yang tidak hanya pintar di teori, tetapi juga tajam di eksekusi. Gunakan kesempatan ini dengan bijak. Jadilah menteri yang bekerja dalam senyap tetapi hasilnya mengguncang. Biarkan rakyat yang bicara nanti: “Ini menteri hebat.” Itu lebih berharga daripada ribuan konferensi pers yang Anda lakukan sekarang. (denny/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow