Rocky Gerung sebut Kondisi Jokowi: Bukan Sekadar Alergi, Diduga Gangguan Psikosomatik karena Tekanan

Rocky Gerung sebut Kondisi Jokowi: Bukan Sekadar Alergi, Diduga Gangguan Psikosomatik karena Tekanan

Rocky Gerung sebut Kondisi Jokowi: Bukan Sekadar Alergi, Diduga Gangguan Psikosomatik karena Tekanan

Rocky Gerung, Psikosomatik, dan Drama Politik yang Tak Kunjung Tamat

Penulis: Putri Simbolon  |  Mahasiswa Universitas Negeri Medan

Kesehatan mantan Presiden Joko Widodo kembali menjadi bahan konsumsi publik. Bukan hanya karena publik menyayangi beliau, tapi karena sebagian lainnya seperti Rocky Gerung seolah tak ingin melepaskan satu inci pun dari tubuh dan pikiran Jokowi tanpa disorot. Dalam dunia politik Indonesia yang semakin nyinyir dan kehilangan keanggunan, narasi tentang wajah pucat, sembab, dan flek hitam Jokowi berubah menjadi wacana kelas nasional yang bahkan diulas dengan wajah serius oleh seorang akademisi dadakan seperti Rocky. Kali ini bukan soal etika hukum, bukan pula tentang konstitusi, melainkan tentang “psikosomatik”—sebuah istilah medis yang kini menjadi senjata politik.

Rocky Gerung, yang dulunya dikenal dengan debat-debat filsafat kopi sore dan celotehan keras di forum-forum akademis, kini menjelma menjadi semacam komentator visual medis. Dia tak lagi mengkritisi kebijakan, tapi menelisik flek di pipi seseorang. Alih-alih mempertanyakan struktur kekuasaan atau arah demokrasi pasca-pilpres, dia memilih membahas sembabnya wajah Jokowi. Sungguh transformasi yang menarik: dari filsuf jalanan menjadi dukun virtual.

Apakah Jokowi benar-benar sakit? Apakah kondisi wajahnya itu pantas menjadi bahan analisis politik? Atau jangan-jangan yang sesungguhnya “psikosomatik” itu bukan Pak Jokowi, melainkan mereka yang terlalu obsesif terhadap kehadirannya, bahkan setelah ia tak lagi menjabat?

Rocky menyebut bahwa wajah pucat dan sembab Jokowi adalah cerminan dari tekanan mental. Ia mengaitkan kondisi itu dengan gangguan psikosomatik, yaitu gangguan fisik yang dipicu oleh beban mental yang berat. Menurut Rocky, tekanan itu berasal dari ketergantungan Jokowi terhadap sorotan media dan rasa cemas yang disebabkan oleh tekanan terhadap putranya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjadi Wakil Presiden.

Sekilas, pernyataan itu terdengar meyakinkan. Rocky membalut dugaannya dengan istilah medis agar tampak saintifik. Tapi bagi rakyat yang sehari-hari berjuang membeli beras dan membayar SPP anaknya, pernyataan seperti itu justru terdengar nyeleneh, bahkan menjengkelkan. Rakyat tidak sedang ingin tahu apakah Jokowi cemas karena Gibran dihujat netizen. Rakyat lebih peduli apakah Gibran bekerja untuk mereka atau tidak. Lagipula, siapa yang bisa bebas dari tekanan ketika menjadi pemimpin?

Menganalisis wajah Jokowi lalu menyimpulkan ada gangguan psikosomatik adalah seperti menatap langit sore dan meramalkan hujan karena “awan terlihat stres”. Itu bukan kritik; itu adalah opini liar yang dibalut pseudo-logika.

Jika benar Jokowi memiliki tekanan mental, lalu apa salahnya? Bukankah setiap mantan presiden di dunia menghadapi transisi emosional yang berat setelah keluar dari kekuasaan? Bahkan tokoh-tokoh besar seperti Barack Obama dan Angela Merkel pernah mengungkapkan tantangan mental setelah meninggalkan panggung politik. Namun, tak satu pun pengamat di negeri mereka yang sibuk menganalisis warna kulit mereka di televisi nasional.

Rocky mengklaim bahwa Jokowi "ketagihan kamera". Pernyataan ini tentu saja menyulut tawa sarkastik. Ironisnya, Rocky sendiri adalah makhluk media yang lebih sering muncul di layar kaca dibanding sebagian besar pejabat negara. Ia menyebut Jokowi mencandu pencitraan, padahal dirinya sendiri mencandu sorotan. Bayangkan seseorang yang hampir setiap hari hadir di YouTube, podcast, televisi, bahkan TikTok, menuduh orang lain sebagai pencandu kamera. Jika Jokowi mencandu kamera, maka Rocky bisa disebut sudah keracunan studio.

Yang lebih menyedihkan adalah bahwa pernyataan semacam ini diambil mentah-mentah oleh sebagian publik sebagai fakta, karena datang dari mulut seseorang yang dikenal sebagai “pengamat”. Ini adalah bukti bagaimana opini bisa menjadi racun, jika dikemas dengan retorika intelektual. Sungguh dunia yang penuh ironi: mantan presiden dinilai dari kantung matanya, bukan dari jejak kerja dan dedikasinya.

Mereka yang menyimak pernyataan Rocky lalu ikut menyebarkan dengan gaya penuh kekhawatiran semu, seolah mereka benar-benar peduli dengan kesehatan Jokowi. Padahal lebih dari separuh dari mereka selama ini adalah pengkritik keras Jokowi, bahkan menuduhnya sebagai tiran atau dalang kekuasaan keluarga. Kini, mereka pura-pura peduli, hanya untuk memperkuat narasi bahwa "Jokowi sudah kalah, lelah, dan lebur".

Publik patut bertanya: siapa yang sebenarnya sedang mengalami tekanan mental di sini? Jokowi yang santai berjalan di halaman rumahnya menyapa rakyat, atau Rocky yang merasa perlu mencari-cari makna politik dari wajah sembab seseorang? Apakah gangguan psikosomatik itu nyata di wajah Jokowi, atau hanya ilusi yang timbul dari imajinasi politik Rocky yang tak rela kehilangan musuh untuk dikritik?

Ada sesuatu yang sangat menyedihkan dari seorang pengamat yang terlalu larut dalam kebiasaan membidik kelemahan orang lain. Ia tak lagi berbicara tentang sistem, kebijakan, atau etika publik, tapi sibuk menilai kondisi kulit wajah mantan presiden. Ini bukan lagi pengamatan ilmiah. Ini adalah "nyinyirisme akademik".

Sementara itu, di dunia nyata, Jokowi tetap menerima ucapan ulang tahun dari masyarakat. Ia mungkin lelah, ia mungkin tidak dalam kondisi fisik terbaik, tapi bukankah itu wajar bagi siapa pun yang telah melewati masa 10 tahun kepemimpinan yang keras, penuh tekanan, dan rentan terhadap serangan politik dari segala arah? Apakah rakyat menilai pemimpinnya hanya dari kulit yang sembab?

Kondisi kesehatan tokoh publik memang menjadi hak untuk diketahui publik. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kita membahasnya. Apakah dengan empati dan kesadaran akan hak privasi? Ataukah dengan gaya nyinyir dan sinisme tanpa batas yang berujung pada perundungan karakter?

Rocky Gerung lupa bahwa psikosomatik bukan hanya tentang individu yang ditekan, tapi juga bisa menyerang mereka yang terlalu larut dalam obsesinya terhadap seseorang. Ketika seseorang tidak bisa berhenti membahas, mengkritik, bahkan menebak isi kepala dan hati orang lain setiap hari, mungkin justru dia yang membutuhkan terapi mental.

Jika Rocky percaya bahwa tekanan mental bisa menimbulkan gejala fisik, maka mungkin Rocky sendiri sedang dalam fase awal psikosomatik akibat ketergantungannya terhadap narasi Jokowi. Bukankah sangat melelahkan hidup dengan terus-menerus mencari celah orang lain, apalagi jika orang itu sudah tidak lagi berada di tampuk kekuasaan?

Akhirnya, publik bisa menilai sendiri siapa yang sebenarnya lelah. Jokowi yang tampak lemas namun tetap menyapa rakyatnya, atau Rocky Gerung yang tak kunjung bisa move on dari bayang-bayang presiden yang selama ini ia kritisi habis-habisan, dan kini bahkan wajah sembab pun jadi bahan sorotannya?

Mungkin sudah saatnya kita berhenti menguliti kondisi fisik seseorang untuk kepentingan narasi politik. Mungkin sudah saatnya kita menyadari bahwa politik seharusnya lebih besar dari sekadar warna kulit, garis wajah, atau gaya berjalan seseorang. Dan mungkin juga sudah waktunya Rocky Gerung menatap cermin dan bertanya: apakah benar Jokowi yang sedang mengalami psikosomatik, atau justru dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan antara nalar dan obsesi?

Ingatlah, bahkan filsuf pun butuh istirahat. Terutama ketika kritiknya sudah bergeser dari analisis menjadi asumsi, dari intelektualisme menjadi gosip beraroma akademis. Karena yang lebih berbahaya dari psikosomatik adalah kehilangan etika dalam berpikir. Dan itulah yang kini sedang kita hadapi di panggung opini publik hari ini. (putri/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow