BONGKAR HABIS! Ajudan Jokowi Diperiksa Polisi, Penuduh Ijazah Palsu Ketar-ketir

BONGKAR HABIS! Ajudan Jokowi Diperiksa Polisi, Penuduh Ijazah Palsu Ketar-ketir

BONGKAR HABIS! Ajudan Jokowi Diperiksa Polisi, Penuduh Ijazah Palsu Ketar-ketir

detakpolitik.com, Jakarta – Dalam babak lanjutan dari drama panjang tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, aparat kepolisian kembali menunjukkan komitmennya terhadap penegakan hukum berbasis fakta. Pemeriksaan terhadap ajudan Presiden, Kompol Syarif Fitriansyah, yang dilakukan oleh Direktorat Keamanan Negara (Kamneg) Polda Metro Jaya pada 3 Juli 2025 menjadi peristiwa penting yang menguatkan langkah menuju konklusi hukum atas fitnah yang sudah kelewat batas.

Namun perlu dicatat: apa yang sedang berlangsung di Polda Metro Jaya bukan sekadar proses hukum biasa. Ini bukan hanya soal memanggil saksi dan mengurai kronologi laporan. Ini adalah perang narasi antara kebenaran dan kebohongan, antara negara hukum dan pengadilan jalanan, antara integritas seorang kepala negara dan ambisi politis para pemburu panggung.

Pemeriksaan terhadap Kompol Syarif dilakukan untuk mengklarifikasi keterangan dan fakta-fakta terkait laporan dugaan ijazah palsu yang dilayangkan oleh kelompok yang menamakan dirinya Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA). Kelompok ini selama bertahun-tahun telah memainkan skenario penggembosan citra Presiden Jokowi, memanfaatkan sentimen publik dengan memainkan emosi agama, nasionalisme semu, dan kebencian buta terhadap kemajuan yang dicapai bangsa ini dalam satu dekade terakhir.

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, menegaskan bahwa pemeriksaan terhadap Syarif Fitriansyah dilakukan dalam rangka pemenuhan fakta-fakta. Ini menunjukkan bahwa penyidik bekerja berdasarkan prinsip legal formal, bukan opini publik yang digoreng panas oleh akun-akun provokatif di media sosial. Ketika negara bekerja lewat mekanisme hukum, para pemfitnah bekerja lewat ruang komentar Facebook dan YouTube, menyebar tudingan tanpa dasar, lalu menyebutnya “data”.

Sungguh menggelikan bila ditelusuri ke belakang. Tuduhan terhadap keaslian ijazah Jokowi tidak pernah bisa disertai bukti konkret. Tidak ada satu pun saksi otentik dari kalangan akademik Universitas Gadjah Mada yang membantah keberadaan Jokowi sebagai alumnus Fakultas Kehutanan. Tidak ada profesor, tidak ada dosen, tidak ada mahasiswa seangkatan, tidak ada catatan resmi universitas yang menyangkal eksistensi akademiknya. Justru sebaliknya berbagai tokoh akademik, mulai dari rekan kuliah hingga pihak birokrasi kampus sendiri, telah angkat suara membantah tudingan keji ini.

Namun logika para penuduh tetap jalan terus. Mereka menuntut pembuktian dari Presiden, padahal yang melaporkanlah yang semestinya membuktikan. Mereka mengklaim punya “data pembanding” dari UGM, tetapi saat ditelusuri, ternyata hanya cuplikan video yang sudah dipotong-potong. Mereka meneriakkan keadilan, tetapi tak mau tunduk pada asas praduga tak bersalah. Mereka menyebut diri pembela ulama dan aktivis, tapi menebar fitnah tanpa landasan iman dan hukum.

Yang patut dicermati, Polda Metro Jaya tidak serta-merta mengambil kesimpulan adanya tindak pidana dalam laporan tersebut. Ade Ary menegaskan bahwa penyidik masih mendalami fakta-fakta dan akan menyimpulkan apakah ada unsur pidana atau tidak. Ini adalah cara kerja hukum yang rasional, profesional, dan objektif. Sayangnya, logika ini tidak berlaku di benak para penuduh. Bagi mereka, semua proses yang tidak sesuai kehendak mereka adalah konspirasi. Bila pemeriksaan belum menetapkan tersangka, itu disebut kriminalisasi balik. Bila pengadilan menolak gugatan, itu disebut intervensi kekuasaan. Bila fakta tak berpihak pada mereka, maka fakta itu dianggap palsu.

Inilah penyakit kronis di negeri ini: logika jungkir balik yang dipakai untuk menghalalkan segala bentuk pembunuhan karakter. Jokowi difitnah memakai ijazah palsu, tanpa mempedulikan kenyataan bahwa ia telah melewati semua proses administratif sejak menjadi Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden dua periode. Apakah mungkin seorang kepala negara bisa lolos semua proses verifikasi dari KPU, Kemendagri, dan BKN selama 20 tahun terakhir hanya dengan ijazah palsu? Apakah semua lembaga negara itu ikut menutupi kebenaran? Apakah seluruh pejabat akademik UGM sejak tahun 1980-an terlibat dalam pemalsuan?

Jika iya, maka tuduhan ini bukan hanya menyasar Jokowi, melainkan seluruh sistem republik ini. Dan tuduhan semacam itu tidak hanya dungu, tapi juga subversif. Mereka seolah ingin mengatakan bahwa negara ini bisa dikibuli oleh seorang pria dari Solo yang hanya bermodalkan ijazah palsu dan senyum tulus. Sebuah logika yang bahkan dalam teori konspirasi sekalipun terasa kelewat picik.

Kita harus jujur bertanya: siapa yang paling diuntungkan dari narasi ijazah palsu ini? Bukan rakyat. Bukan mahasiswa. Bukan aktivis. Yang diuntungkan adalah kelompok politik tertentu yang sejak awal memang tak mampu bertarung secara elegan. Mereka gagal merebut kekuasaan lewat Pemilu, lalu mencoba merusak dari luar dengan memainkan isu murahan yang bisa viral. Mereka menggiring opini publik lewat hoaks, kemudian menekan institusi negara agar tunduk pada tekanan media sosial. Jika ini dibiarkan, maka masa depan kita akan ditentukan bukan oleh suara rakyat, melainkan oleh buzzer fitnah yang memegang akun fake dengan ribuan followers palsu.

Sungguh ironis, bahwa seorang ajudan presiden seorang anggota Polri berpangkat Komisaris—harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang seharusnya tidak pernah ada. Kompol Syarif memenuhi panggilan karena menghormati proses hukum. Tapi pertanyaannya: apakah para penuduh pernah punya itikad baik menghormati proses yang sama? Ataukah sejak awal memang mereka hanya mengincar panggung dan sensasi?

Dalam penjelasannya, Syarif tidak banyak memberi komentar. Ia hanya mengatakan bahwa pemeriksaan ini atas laporan yang dilakukan oleh pihak Presiden. Ini artinya, Jokowi sendiri yang meminta agar semua tuduhan dijawab secara hukum, bukan dengan emosional. Sebuah sikap negarawan sejati. Seandainya ia ingin menggunakan kekuasaannya untuk membungkam fitnah, ia bisa saja memakai jalur lain yang lebih cepat. Tapi tidak. Ia memilih jalur hukum. Ia menghormati proses. Ia percaya pada logika, bukan lompatan liar teori konspirasi.

Inilah yang membedakan pemimpin sejati dengan pemfitnah bayaran. Jokowi membela diri dengan cara konstitusional. Para penuduh membela diri dengan video potongan dan kata-kata penuh caci maki. Jokowi membuktikan keabsahan identitasnya dengan rekam jejak, kerja nyata, dan legitimasi hukum. Sementara mereka dari TPUA, dari buzzer fitnah, dari politisi gagal hanya mengandalkan suara keras, bukan suara benar.

Satu hal yang harus kita pahami: tuduhan ijazah palsu ini bukan sekadar serangan personal. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap akal sehat bangsa. Ini adalah upaya membajak kebenaran lewat narasi dusta. Ini adalah proyek jangka panjang untuk melemahkan kepercayaan rakyat terhadap sistem negara. Dan mereka yang terlibat dalam proyek ini secara sadar atau tidak telah menjadi kaki tangan kerusakan demokrasi.

Kini, ketika proses hukum terus berjalan, rakyat harus lebih cerdas memilah informasi. Jangan mudah tergoda oleh viralitas. Jangan percaya pada mereka yang berkata “demi rakyat” tapi bekerja demi klik dan konten. Jangan ikuti mereka yang berteriak “kebenaran” padahal niatnya cuma menumbangkan pemerintahan sah dengan cara picik.

Pemeriksaan ajudan Jokowi adalah langkah penting untuk mengembalikan marwah hukum. Tapi lebih dari itu, ini adalah peringatan bagi kita semua: bahwa di era digital ini, kebenaran bisa tenggelam bila kita membiarkannya dikalahkan oleh kebohongan yang dikemas rapi. Sudah saatnya kita sebagai bangsa berdiri tegak bukan hanya untuk membela Presiden, tapi untuk membela nalar dan akal sehat.

Dan pada akhirnya, bila kebenaran itu tak cukup lantang, maka biarlah negara yang menjawab lewat proses hukum. Karena di tengah kegaduhan, hanya hukum yang mampu menjadi jangkar peradaban. (widodo/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow