Sendirian Keras, Karangan Bunga Untuk “Dr. Hasto kristianto.” Dari Wanto Sugito : Balada Setangkai Florist di Depan KPK
Sendirian Keras, Karangan Bunga Untuk “Dr. Hasto kristianto.” Dari Wanto Sugito : Balada Setangkai Florist di Depan KPK
detakpolitik.com, Jakarta - Senin malam, 7 Juli, langit Jakarta menggantung mendung yang sama tebalnya dengan suasana di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gedung yang biasanya angker karena dihuni semangat anti-rasuah itu, tiba-tiba dihias oleh... sebongkah romantisme politik: sebuah karangan bunga ulang tahun.
Ya, hanya satu. Sendirian. Seperti penantian panjang terhadap integritas yang hilang arah. Dan tak main-main, karangan bunga ini dialamatkan kepada sang Sekretaris Jenderal sebuah partai besar yang namanya tak pernah absen dari headline mari kita sebut saja dia, “Dr. H.K.”, tokoh flamboyan penuh gelar yang saat ini lebih sering tampil di hadapan kamera sebagai korban narasi besar, ketimbang tokoh perubahan yang ia gembar-gemborkan sendiri.
Karangan bunga itu dikirim oleh seorang loyalis yang juga pegiat karangan politik bernama W.S., Ketua DPC partai dari Tangerang Selatan sekaligus pejuang demokrasi versi “reklame jalanan” karena ekspresinya memang selalu menempel di baliho atau bunga plastik. Bunga itu berwarna merah menyala, simbol semangat partai, atau mungkin simbol tekanan darah rakyat yang sudah lama naik melihat gaya politik lama bersolek seolah baru.
Tulisan pada karangan itu sederhana namun menggetarkan tulang rusuk satire:
“Selamat Ulang Tahun Sekjen Dr. Ir. Hasto Kristiyanto, M.M. Tetap Semangat, Satyam Eva Jayate.”
Ah, “Satyam Eva Jayate” kebenaran akan menang. Betapa ironis. Kalimat ini seolah dilemparkan oleh seorang filsuf yang sedang berdiri di perempatan Jalan Gatot Subroto, memunguti nilai-nilai kebenaran yang tercecer di antara pasal-pasal UU Tipikor dan serpihan integritas yang sudah pecah di bawah kursi kekuasaan.
Namun yang membuat semua ini begitu kocak, bukan hanya karena posisinya yang "tepat" di depan gedung antirasuah, tetapi karena... ya ampun, hanya satu karangan bunga! Tak ada lautan dukungan. Tak ada banjir solidaritas dari rekan-rekan separtai. Tak ada bahkan sekadar brosur diskon florist lainnya. Yang ada hanyalah satu karangan bunga, berdiri kikuk seperti badut pesta ulang tahun yang ditinggal tamu karena terlalu jujur membongkar rahasia dapur.
Bayangkan, ulang tahun seorang sekjen partai besar, dirayakan dengan satu papan bunga sendirian, di hadapan gedung KPK. Apakah ini bentuk puisi politik? Instalasi seni realisme surealis? Atau hanya satire hidup tentang seberapa sunyinya kesetiaan di masa reformasi yang mulai busuk?
W.S. dalam wawancara dramatis menyebut bahwa bunga itu bukan sekadar ucapan selamat ulang tahun, melainkan simbol perjuangan. Ah, perjuangan. Kata yang dulu agung, kini jadi semacam slogan kafe revolusioner yang menjual kopi tiga lapis dan harapan palsu. Menurut W.S., ini adalah bentuk dukungan moral terhadap kader ideologis partai yang dianggap teguh pada prinsip perjuangan dan keberpihakan kepada rakyat.
Mari kita bahas. Apakah yang dimaksud dengan “teguh pada prinsip perjuangan” itu adalah keberanian menghadiri pemeriksaan KPK dengan wajah datar dan kata-kata diplomatis yang sudah dirancang seperti skenario sinetron hukum? Ataukah mungkin prinsip itu terlihat dari kemampuan sang tokoh, “Dr. H.K.”, menyebut dirinya korban konspirasi hanya karena namanya tersangkut dalam pusaran penyidikan serius?
Di tengah masyarakat yang lapar keadilan, karangan bunga ini tampil seperti ironi yang berdansa di atas fakta. Saat publik berharap transparansi, yang mereka dapatkan hanyalah bunga ulang tahun dengan kutipan bahasa Sanskerta.
Dan jangan lupakan tempatnya: Gedung KPK. Tempat orang-orang yang sedang berhadapan dengan proses hukum atau dalam bahasa “Dr. H.K.”: sedang menjadi martir kebenaran yang difitnah oleh politik hitam. Betapa indahnya dunia ini jika tiap undangan klarifikasi dari KPK bisa diiringi karangan bunga, bukan surat panggilan.
Di sinilah muncul komedi tingkat tinggi. Ketika rakyat menunggu kebenaran, politisi justru menggelar pesta ulang tahun dalam bentuk simbolik. Ketika aparat penegak hukum menanti kesaksian jujur, yang datang malah bunga plastik dengan pesan spiritual.
“Dr. H.K.” sendiri bukan tokoh baru. Ia pernah menjadi bintang harapan kaum nasionalis, intelektual kampus, dan para aktivis pinggiran. Tapi seiring waktu, banyak yang mulai bertanya-tanya: apakah gelar demi gelar yang dia sandang hanya semacam ornamen di balik agenda politik? Apakah semangat reformasi yang dia dengungkan kini telah berubah menjadi perisai untuk melawan hukum?
Ia sering bicara lantang tentang konstitusi, keadilan sosial, dan demokrasi. Tapi ketika dirinya diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan penyidik, ia lebih sibuk membuat narasi tandingan, seperti seorang penulis fiksi yang takut kehilangan pembaca.
Dan kini, karangan bunga itulah yang bicara paling jujur. Ia berdiri, sendiri, menjadi metafora tentang seseorang yang tengah kehilangan dukungan namun masih ingin terlihat gagah. Seolah menyuarakan: “Lihatlah aku, aku masih punya satu orang yang percaya!”
Lucu? Tragis? Atau kombinasi keduanya?
Tak sedikit warga yang lewat bertanya-tanya: "Siapa yang ultah? Kenapa karangan bunganya di sini? Siapa yang nikah? Apa ini perpisahan? Atau selamat datang?" karena bagi masyarakat awam, karangan bunga biasanya untuk peristiwa besar: pernikahan, pemakaman, atau pembukaan warung seafood.
Tapi untuk ulang tahun? Di depan KPK?
Mungkin ini cara baru dalam merayakan ulang tahun bagi politisi Indonesia. Tak lagi cukup dengan tiup lilin, sekarang harus ada sesi klarifikasi, tabur bunga, dan pemanggilan penyidik. Sungguh, politik kita telah naik kelas menjadi drama telenovela bertema hukum.
Lalu, bagaimana dengan “Dr. H.K.”? Apakah ia tersenyum bangga melihat karangan bunga itu? Atau justru diam-diam merasa kecut karena yang datang hanya satu? Dalam ruang batin yang jujur, mungkinkah ia bertanya: “Kemana semua orang? Di mana rekan-rekan seperjuangan yang biasa bersuara lantang di podium?”
Atau mungkin... ia tahu. Bahwa dalam dunia politik, ketika badai datang, hanya yang benar-benar percaya yang akan berdiri di sampingmu. Dan kalau hanya satu karangan bunga yang datang di hari ulang tahunmu dan itu pun dari orang yang punya jabatan di partai maka bisa jadi, itu bukan cinta sejati. Itu cuma... formalitas.
Ulang tahun, wahai “Dr. H.K.”, mestinya jadi momen renungan. Tapi kalau dirayakan di depan gedung KPK, dengan bunga merah menyala, ia berubah jadi lelucon paling simbolik tahun ini. Sebuah pertunjukan antara absurditas dan harapan. Antara satire dan realitas.
Dan pada akhirnya, publik akan tetap menonton. Karena seperti kata filsuf dunia maya:
“Kalau politik sudah jadi drama, jangan heran kalau rakyat jadi penontonnya yang terpaksa bayar mahal.”
Selamat ulang tahun, “Dr. H.K.”. Semoga kebenaran benar-benar menang. Dan kalau nanti bunga itu layu, semoga bukan karena angin malam, tapi karena keadilan akhirnya datang tanpa karangan. Tanpa kemunafikan. Tanpa simbol plastik. (dede/dp)
Tertanda,
Rakyat yang hanya bisa kirim doa, bukan papan bunga.
Apa Reaksi Anda?






