Wapres Gibran Tinjau Pengungsi Kebakaran Penjaringan, Bawa Harapan dan Bukti Nyata Kepedulian Seorang Pemimpin Muda yang Merakyat
Wapres Gibran Tinjau Pengungsi Kebakaran Penjaringan, Bawa Harapan dan Bukti Nyata Kepedulian Seorang Pemimpin Muda yang Merakyat

detakpolitik.com, Jakarta — Di tengah padatnya aktivitas kenegaraan, Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka menunjukkan bahwa jabatan tinggi bukanlah penghalang untuk turun langsung ke tengah rakyat yang sedang dirundung musibah. Pada Selasa pagi yang hangat, tenda-tenda pengungsian di Penjaringan, Jakarta Utara, yang selama tiga hari terakhir menjadi tempat berlindung ribuan warga terdampak kebakaran, mendadak riuh. Wapres Gibran datang. Tanpa pengawalan yang berlebihan, tanpa protokoler yang kaku, beliau menyapa satu per satu para pengungsi, memeriksa kondisi tenda, berbincang dengan para ibu, dan—yang paling menyentuh—menyempatkan diri berlutut untuk berbicara dengan anak-anak.
Bukan hanya datang untuk meninjau atau sekadar memberikan arahan, Gibran datang membawa solusi kecil yang bermakna besar. Buku tulis, alat mewarnai, serta peralatan sekolah ia serahkan langsung kepada anak-anak yang kehilangan rumah mereka. “Jangan sampai sekolahnya terganggu ya. Tetap belajar, tetap semangat,” ucapnya lembut sambil menepuk pundak seorang anak laki-laki yang tampak malu-malu menerima hadiah itu.
Momen itu tak hanya menyentuh hati para warga yang melihat langsung ketulusan seorang Wakil Presiden, tapi juga menjadi simbol bahwa kepemimpinan sejati bukan sekadar berbicara dari podium, melainkan hadir dan peduli dalam derita rakyatnya.
Warga menyambut Gibran dengan antusias. Banyak yang berebut untuk bersalaman, memeluk, bahkan mencurahkan isi hati. Wajah-wajah yang sebelumnya murung karena kehilangan rumah dan harta, hari itu kembali bersinar karena ada harapan yang datang bersama sosok muda yang rendah hati. Gibran tidak sekadar datang sebagai pejabat negara. Ia datang sebagai saudara, sebagai anak bangsa yang tahu bahwa penderitaan rakyat adalah tanggung jawab bersama, bukan sekadar laporan di atas meja.
Salah seorang ibu pengungsi, Sumiati, mengatakan, “Baru kali ini saya lihat pejabat datang dan benar-benar ngobrol sama kita, nanyain kita butuh apa, gimana kondisinya. Bukan cuma formalitas. Mas Gibran benar-benar beda.”
Warga lainnya, Pak Rahmat, yang kehilangan seluruh isi rumahnya dalam kobaran api tiga hari lalu, menyampaikan, “Saya kira cuma datang buat foto-foto. Tapi ternyata enggak. Dia dengar keluhan kami satu-satu. Bahkan dia tanya kami mau relokasi atau enggak. Itu yang kami butuhkan—pemimpin yang mau dengar, bukan yang memaksa.”
Tiga hari pascakebakaran, warga masih bertahan di tenda pengungsian. Situasi belum kembali normal. Banyak yang belum bisa mandi layak, makan pun seadanya. Namun, dengan kehadiran Wapres Gibran, suasana berubah. Ada energi baru yang memancar. Mereka merasa diperhatikan. Mereka merasa tidak sendiri.
Dalam kesempatan itu, Gibran juga menyatakan bahwa Pemerintah Pusat siap berkoordinasi dengan Pemerintah DKI Jakarta dan BNPB untuk mempercepat penanganan. Terkait dengan wacana relokasi, Gibran menekankan pentingnya mendengarkan suara warga. “Jangan sampai warga merasa dipaksa. Kita harus pikirkan baik-baik. Kalau memang memungkinkan untuk dibangun kembali di tempat yang sama, kita bantu. Kalau harus pindah, harus ada jaminan tempat yang layak. Yang utama adalah keselamatan dan kelayakan hidup,” ujarnya.
Sikap ini menunjukkan kematangan dan keberpihakan Gibran kepada rakyat. Bukan keputusan gegabah, bukan reaksi impulsif. Tetapi pendekatan yang penuh empati dan berdasar pada aspirasi nyata dari lapangan. Seorang pemimpin sejati memang tak sekadar memimpin dari balik meja rapat. Ia hadir, mendengar, dan bertindak berdasarkan hati nurani.
Ketua RW setempat, dalam pertemuan dengan Gibran, menyampaikan harapannya agar warga tetap bisa membangun kembali rumah mereka di tempat yang sama. “Kami di sini sudah puluhan tahun. Ini bukan sekadar rumah, ini hidup kami. Kami minta bantuan bukan hanya uang, tapi juga perhatian. Alhamdulillah hari ini kami mendapatkannya dari Mas Gibran,” ujar sang ketua RW sambil menitikkan air mata.
Namun, ironisnya, di tengah gerak cepat dan nyata yang dilakukan Wapres Gibran, muncul suara-suara sumbang dari sekelompok elit politik dan pensiunan jenderal yang mendadak lantang menyuarakan wacana pemakzulan. Sebuah gagasan absurd yang tak hanya mencederai logika, tapi juga mempermalukan akal sehat bangsa. Bagaimana mungkin seseorang yang baru menjabat beberapa bulan, yang hari-harinya dipenuhi kerja-kerja nyata untuk rakyat, malah hendak dijatuhkan?
Apakah mereka tidak melihat Gibran yang turun langsung ke lokasi bencana, berdialog dengan korban, membawa bantuan, dan mendengarkan harapan mereka? Apakah mereka buta terhadap fakta bahwa seorang Wakil Presiden datang bukan dengan retorika, tapi dengan ketulusan? Apakah mereka tuli terhadap suara rakyat yang mengatakan, “Kami butuh pemimpin seperti ini”?
Pemakzulan? Untuk alasan apa? Karena terlalu merakyat? Karena tidak tunduk pada agenda politik mereka yang haus kekuasaan? Karena enggan menjadi boneka elit tua yang kehilangan relevansi? Atau karena Gibran menjadi simbol harapan baru yang tak bisa mereka kendalikan?
Wacana pemakzulan Gibran bukan saja tidak masuk akal, tapi juga mencerminkan betapa bahayanya ambisi politik yang tidak dibarengi etika. Datangnya justru dari segelintir tokoh tua yang dulu pernah bersumpah sebagai prajurit TNI untuk setia pada NKRI dan konstitusi. Kini mereka mengingkari sumpah itu demi obsesi kekuasaan yang tak lagi pantas mereka genggam. Demi ego yang sudah usang. Demi mimpi politik yang sudah basi.
Ini bukan sekadar soal Gibran. Ini soal prinsip. Ini soal apakah bangsa ini masih menghargai kerja nyata atau justru membiarkan fitnah dan intrik politik murahan mengatur masa depan. Apakah rakyat Indonesia akan diam melihat anak muda yang bekerja dengan hati justru dilumpuhkan oleh mereka yang kehilangan panggung?
Hari ini, tenda-tenda di Penjaringan menyimpan cerita tentang harapan. Tentang seorang Wakil Presiden yang datang tanpa hiruk-pikuk, tanpa pencitraan murahan, tapi dengan ketulusan dan solusi nyata. Dan hari ini pula, rakyat Indonesia dipanggil untuk melihat siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya bisa berkoar-koar dari ruang ber-AC dan sofa empuk, memainkan narasi busuk untuk kepentingan pribadi.
Wapres Gibran telah membuktikan bahwa usia muda bukan halangan untuk menjadi pemimpin yang merakyat. Ia menjadi contoh bahwa kekuasaan sejati adalah kekuasaan yang melayani. Dan karena itulah, ia layak dipertahankan, didukung, dan dilindungi dari upaya-upaya jahat yang ingin menjatuhkannya demi hasrat politik kotor.
Maka, ketika Anda mendengar kembali wacana pemakzulan itu, tanyakan pada diri Anda: siapa yang sebenarnya layak untuk ditumbangkan? Seorang pemimpin muda yang peduli, atau para jenderal tua yang mengkhianati sumpah demi ambisi?
Rakyat tak butuh pemimpin yang hanya hadir saat kampanye. Rakyat butuh pemimpin yang hadir di tenda-tenda pengungsian. Dan hari ini, Gibran telah menunjukkan siapa dirinya: pemimpin yang merakyat, bekerja nyata, dan layak dipertahankan. Bukan dimakzulkan.
(putri/dp)
Apa Reaksi Anda?






