4 Pulau Sengketa Sumut-Aceh Memakan Korban, Fitnah di Balik TikTok dan Medsos : Saat Nama Baik Bobby dan Jokowi Dilecehkan, Lalu Polisi Dituduh Kriminalisasi

4 Pulau Sengketa Sumut-Aceh Memakan Korban, Fitnah di Balik TikTok dan Medsos : Saat Nama Baik Bobby dan Jokowi Dilecehkan, Lalu Polisi Dituduh Kriminalisasi

4 Pulau Sengketa Sumut-Aceh Memakan Korban, Fitnah di Balik TikTok dan Medsos : Saat Nama Baik Bobby dan Jokowi Dilecehkan, Lalu Polisi Dituduh Kriminalisasi

Antara Kritik, Fitnah, dan Delik Hukum – Membongkar Batas antara Kebebasan Bersuara dan Serangan Brutal Terhadap Kehormatan Publik

detakpolitik.com, SUMUT - Di tengah hiruk-pikuk dinamika politik dan administrasi wilayah Indonesia yang makin kompleks, peristiwa pelaporan pemilik akun TikTok @tripx313_ oleh relawan Bobby Nasution membawa kita kembali ke satu pertanyaan fundamental yang terus berulang dalam diskursus demokrasi digital kita: di mana batas antara kebebasan berpendapat dan ujaran kebencian? Apakah semua ekspresi bisa berlindung di bawah jubah kritik? Ataukah publik harus mulai sadar bahwa ujaran kebencian, fitnah, dan perundungan, jika dibiarkan liar atas nama demokrasi, justru akan menggerogoti martabat demokrasi itu sendiri?

Peristiwa ini bermula dari isu administratif yang cukup teknokratik: keputusan Kementerian Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 mengenai pemutakhiran kode wilayah dan data administrasi pemerintahan, yang menetapkan empat pulau,Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Namun, dari urusan administratif yang seharusnya diselesaikan dengan pendekatan hukum dan diskusi elegan antar-pemerintah daerah, polemik ini menjelma menjadi pertempuran politik identitas dan sentimen emosional yang membakar jagat maya.

Tak tanggung-tanggung, akun TikTok @tripx313_ mengunggah video berisi hinaan pribadi, tidak hanya kepada Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution, tetapi juga menyeret istri, mertuanya, bahkan Presiden Joko Widodo dengan tudingan ekstrem seperti “PKI sebuah narasi yang telah berulang kali digunakan oleh pihak-pihak yang kehabisan argumen. Konten tersebut menyulut emosi Relawan Parhobas (Pelayan Rakyat Horas Bobby Surya) hingga mereka melaporkannya ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara, tepat pada Jumat, 13 Juni 2025.

Namun seperti biasa, pola berulang pun muncul. Begitu pelaporan terjadi, narasi tandingan yang menuduh balik aparat sebagai alat kekuasaan pun langsung digulirkan. Polisi dituding melakukan kriminalisasi. Bobby dikaitkan dengan Jokowi seolah-seolah semua kritik terhadapnya langsung dianggap kritik terhadap penguasa, dan dilindungi oleh kekuasaan absolut. Publik diseret ke dalam pertarungan persepsi, bukan lagi pada fakta atau dalil hukum. Di sinilah masalah besar kita bermuara ketika publik kehilangan kepercayaan pada logika, dan lebih terpikat pada narasi emosional.

Namun publik harus mulai cerdas membedakan antara kritik dan fitnah. Kritik adalah ekspresi yang ditujukan kepada kebijakan, keputusan, atau tindakan seorang pejabat publik, disertai alasan dan argumentasi rasional. Fitnah adalah tuduhan palsu, biasanya disertai penghinaan, dan diarahkan kepada integritas pribadi seseorang tanpa dasar apapun. Contoh konkret: menyebut keputusan Bobby Nasution soal isu empat pulau sebagai bentuk “ambisi kekuasaan tanpa dialog” adalah kritik. Tapi menyebut istrinya boleh “dipakai selama 3 bulan” adalah pelecehan verbal dan kekerasan simbolik terhadap martabat perempuan. Bahkan dalam konteks satire politik pun, hal ini tidak bisa dibenarkan.

Cyberbullying adalah realitas pahit era digital. Dan fitnah terhadap pejabat publik kerap dibalut sebagai satire demi menyelamatkan pelaku dari jeratan hukum. Tapi hukum tidak tidur. Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dikenai pidana. Ini bukan pasal karet jika konteksnya jelas dan buktinya konkret.

Apakah dengan demikian kita harus membungkam semua suara yang berbeda? Tentu tidak. Kritik tetap harus ada. Bahkan terhadap Presiden. Bahkan terhadap Gubernur Bobby sekalipun. Tapi kritik punya etika, punya batas. Kritik berbasis logika dan data. Sebaliknya, fitnah adalah bentuk pengecut dari argumen yang tak sanggup berdiri tegak dalam diskursus rasional.

Dalam polemik empat pulau ini, kita juga harus adil melihat akar sejarah dan aspek hukum yang menyertainya. Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden RI, bahkan mengingatkan pemerintah agar tidak mengabaikan sejarah dan UU No. 24 Tahun 1956 yang meresmikan Provinsi Aceh dan menetapkan batas wilayahnya. Ia menyebut bahwa jika batas Aceh pada 1 Juli 1956 dijadikan rujukan dalam MoU Helsinki 2005 antara RI dan GAM, maka Keputusan Menteri tidak dapat membatalkannya begitu saja, sebab norma hukum tertinggi dalam hirarki perundang-undangan tetap berada pada tingkat undang-undang, bukan keputusan menteri.

Jusuf Kalla tidak sedang membela satu pihak, tapi mengajak pemerintah untuk bijak. Keputusan administratif harus tunduk pada norma hukum yang lebih tinggi, dan dalam konteks ini, rakyat Aceh punya hak untuk menyuarakan keberatannya. Tapi sekali lagi, keberatan tersebut harus disampaikan dengan adab, dengan prosedur, dan dengan semangat dialog, bukan dengan serangan personal atau fitnah murahan.

Dalam kerangka ini pula, kita harus menghargai posisi aparat kepolisian. Ketika relawan Parhobas melaporkan akun @tripx313_ ke Polda Sumut, yang mereka lakukan adalah menggunakan hak hukum warga negara. Mereka tidak meneror, tidak menyiksa, tidak memaksa. Mereka hanya ingin polisi menyelidiki apakah konten tersebut melanggar hukum atau tidak. Dan langkah itu bukan bentuk kriminalisasi, tapi langkah legal yang tersedia dalam negara hukum.

Kita tidak bisa terus-menerus menggunakan narasi "kriminalisasi aktivis" setiap kali seseorang yang membuat konten vulgar, menghina, atau memfitnah ditangani polisi. Sebab jika semua yang mengunggah fitnah dianggap “aktivis” dan “pejuang demokrasi”, maka demokrasi justru akan runtuh oleh kebebasannya sendiri. Demokrasi membutuhkan koridor. Tanpa koridor hukum, demokrasi menjadi anarki digital. Dan dalam anarki itu, kehormatan pribadi, harga diri keluarga, dan martabat pejabat publik akan jadi sasaran tembak yang sah, tanpa batas.

Kita juga harus sadari satu hal penting: saat Bobby diserang, sebenarnya yang diserang adalah struktur demokrasi kita. Bobby adalah pejabat publik yang terpilih secara demokratis, menantu Presiden yang juga dipilih secara demokratis oleh jutaan rakyat Indonesia. Menyerang Bobby secara personal karena keputusan Kemendagri adalah sesat pikir yang berbahaya. Apalagi jika kata-kata kotor yang digunakan mencederai perempuan dan anak-anaknya.

Apa edukasi berharga yang bisa kita petik?

Pertama, rakyat harus mulai cerdas membedakan antara satire politik dan ujaran kebencian. Satire bisa menyindir keras tanpa menjatuhkan martabat orang. Tapi jika menyasar kehormatan pribadi dengan kata-kata cabul, itu bukan kritik, itu kekerasan simbolik.

Kedua, aparat kepolisian tidak selalu identik dengan instrumen kekuasaan. Jika ada yang melapor ke polisi karena merasa dicemarkan nama baiknya, biarkan proses hukum berjalan. Jangan buru-buru mencap polisi sebagai alat rezim.

Ketiga, kebebasan berekspresi bukan kebebasan tanpa batas. Dalam Pasal 28J UUD 1945 pun ditegaskan, bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Keempat, masyarakat Aceh dan Sumut adalah dua entitas besar dengan sejarah panjang. Perselisihan wilayah harus diselesaikan melalui hukum, bukan lewat TikTok yang menyebar fitnah. Apalagi sampai merendahkan perempuan dan membawa-bawa nama Jokowi sebagai PKI sebuah tudingan keji yang tak pernah dibuktikan.

Jika hari ini Bobby dilaporkan, besok siapa lagi? Apakah kita ingin menjadikan TikTok dan media sosial sebagai arena bebas untuk menistakan siapa saja? Demokrasi butuh perlindungan dari hukum, bukan dari narasi emosional.

Mari kita jaga demokrasi ini dengan akal sehat, bukan amarah. Kritiklah kebijakan, bukan menyerang pribadi. Berdebatlah dengan argumen, bukan dengan hinaan. Dan jangan pernah mengira bahwa fitnah adalah kebebasan. Sebab kebebasan yang tidak dibatasi hukum bukanlah demokrasi itu adalah kejatuhan moral sebuah bangsa.

Indonesia tidak boleh tenggelam dalam kebebasan yang membabi buta. Kita butuh keadaban digital. Kita butuh warga yang berani bicara, tapi juga berani bertanggung jawab. Dan kita butuh hukum yang bekerja bukan untuk membungkam, tapi untuk menjaga agar demokrasi tetap berada di jalurnya. (widodo/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow