Jejak Tersamar di Balik Roy Suryo: Sebuah Autopsi Nalar atas Laporan Ijazah Jokowi

Jejak Tersamar di Balik Roy Suryo: Sebuah Autopsi Nalar atas Laporan Ijazah Jokowi

Jejak Tersamar di Balik Roy Suryo: Sebuah Autopsi Nalar atas Laporan Ijazah Jokowi

detakpolitik.com, Jakarta - Dalam panggung politik Indonesia yang penuh sandiwara, Roy Suryo kembali muncul sebagai aktor yang walau bukan utama selalu tahu bagaimana mencuri perhatian. Kali ini, dia tampil dengan topik lama yang dipaksakan hidup: tudingan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Dalam wawancaranya yang penuh nada pembelaan, Roy berkeras bahwa tidak ada pihak di belakangnya. Ia menyebut dirinya dan rekan-rekan sebagai "peneliti independen" yang hanya terpanggil oleh “cinta pada kebenaran”.

Namun narasi yang terdengar manis ini rapuh sejak dari fondasinya. Dalam politik, apalagi menyangkut figur sekaliber Presiden Republik Indonesia, tidak ada yang sepenuhnya bebas kepentingan. Klaim bahwa dia bergerak sendiri sebagai peneliti hanya menjadi tirai tipis yang menutupi aktor-aktor bayangan di balik layar. Dalam opini ini, akan dibuktikan bahwa secara struktural, psikologis, dan kontekstual, sangat mungkin jika tidak dapat dikatakan pasti—ada kekuatan yang mendorong Roy Suryo mengambil peran dalam isu ini.

Pertama-tama, mari kita lihat latar belakang Roy. Ia bukan akademisi aktif, bukan peneliti hukum, bukan pula bagian dari komunitas kampus yang selama ini berdiri dalam otoritas keilmuan. Ia adalah mantan politisi Partai Demokrat, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, dan mantan anggota DPR. Reputasinya, baik dalam urusan politik maupun akademik, kerap diselimuti kontroversi. Roy Suryo dikenal sebagai sosok yang gemar tampil dalam media dengan beragam analisis yang tidak selalu terbukti akurat dari forensik digital foto, hoaks berbau sains, hingga komentar politik yang lebih menyerupai teater daripada tesis.

Jika benar ia hanya bergerak sebagai peneliti independen, maka pertanyaannya sederhana: apa motivasinya? Siapa yang membiayai risetnya? Di mana ia mempublikasikan temuannya? Mengapa analisisnya tidak diajukan dalam jurnal hukum atau pendidikan tinggi, melainkan dibawa ke ranah hukum dan media? Klaim “peneliti independen” tidak serta merta menghapus kewajiban menjelaskan metodologi, sumber data, serta jejak pembuktian ilmiah. Di sinilah absurditas mulai terbaca: Roy bukan sedang mengajukan hipotesis ilmiah, tapi sedang mengemas tuduhan sebagai kebenaran untuk konsumsi politik.

Jika kita menilik kronologi kasus ijazah palsu Jokowi, tampak pola yang mencurigakan. Isu ini pertama kali ditiupkan oleh dr. Tifa dan kelompok TPUA yang secara konsisten memosisikan diri sebagai oposisi ekstrem terhadap Presiden. Mereka menggugat ke pengadilan, memelintir narasi hukum, dan menyeret lembaga pendidikan seperti Universitas Gadjah Mada ke dalam pusaran fitnah. Setelah isu ini mulai padam akibat pembuktian yang cukup telak (baik dari saksi, dokumen asli, maupun pernyataan kampus), tiba-tiba Roy Suryo masuk membawa "temuan" baru. Bagi pengamat objektif, ini bukanlah upaya kebenaran. Ini adalah pengulangan isu yang telah basi, dibumbui aktor baru agar tampak segar.

Kemunculan Roy dalam momentum yang tepat yakni saat politik nasional memasuki fase transisi dari Jokowi ke Prabowo juga memperkuat dugaan adanya pihak yang mengatur ritme. Serangan terhadap kredibilitas Jokowi saat ini tidak lepas dari upaya merusak legitimasi presiden menjelang Prabowo mengambil alih kekuasaan. Ada kelompok yang tidak rela transisi ini berlangsung damai. Mereka ingin menodai warisan Jokowi agar Prabowo tidak mendapat landasan politik yang kuat dari pendahulunya.

Siapa pihak itu? Tentu kita tidak bisa menunjuk langsung tanpa bukti. Tapi mari kita gunakan logika sederhana. Siapa yang diuntungkan bila nama Jokowi jatuh? Siapa yang selama ini menyimpan dendam politik pada presiden? Dan siapa yang punya jaringan cukup untuk mengarahkan Roy Suryo masuk kembali ke panggung isu nasional setelah lama menghilang pasca kasus penyalahgunaan aset Kemenpora? Jawabannya bisa jadi bukan satu, tapi sekelompok kekuatan yang saling terhubung dalam barisan oposisi oportunis.

Selain faktor kepentingan politik, ada pula motif rehabilitasi citra pribadi. Roy Suryo selama ini membawa reputasi tercemar. Dalam kasus peminjaman barang milik negara yang tak dikembalikan, citranya terpuruk. Jika ia berhasil menumbangkan presiden dengan bukti palsu, atau setidaknya membuat presiden tampak cacat secara hukum, maka ia bisa kembali mendapat ruang dalam narasi publik sebagai "pembela kebenaran". Tapi jika ia bergerak sendiri, mengapa kini muncul sinergi antara dirinya dan suara-suara lama seperti dr. Tifa, Natalius Pigai, dan bahkan Refly Harun yang belakangan menyuarakan hal serupa? Mereka bukan aliansi ideologis. Mereka hanya disatukan oleh kebencian terhadap satu figur: Jokowi.

Aspek teknis juga tidak bisa diabaikan. Setiap laporan hukum butuh sumber daya: pengacara, dokumentasi, dana operasional. Jika Roy menyebut dirinya peneliti, maka siapa tim legal yang menyusun laporan? Siapa yang mencetak dan mengurus administrasi? Siapa yang membiayai kampanye opini di media sosial? Kita tidak melihat crowdfund. Kita tidak mendengar permintaan dukungan. Tapi publikasi mereka begitu masif, dengan kehadiran opini di kanal YouTube, media online, hingga konferensi pers. Semuanya butuh logistik. Maka, kecil kemungkinan ini adalah gerakan individual.

Yang lebih menarik, dalam banyak pernyataan, Roy Suryo dan koleganya justru tampak menggunakan bahasa politik, bukan bahasa hukum. Mereka berbicara dengan nada retoris, menggiring persepsi, dan seringkali mengabaikan prinsip praduga tak bersalah. Ini bukan karakter seorang peneliti. Ini adalah gaya kampanye gaya agitasi yang dimaksudkan untuk menggiring massa, bukan untuk menemukan kebenaran objektif. Seorang peneliti akan sibuk di laboratorium data, bukan di meja konferensi pers.

 

Dengan melihat semua ini latar belakang Roy Suryo, konteks kemunculannya, pola gerakan, dan narasi yang dibangun maka sangat sulit untuk menerima klaim bahwa tidak ada pihak di belakangnya. Setiap elemen dalam gerakan ini menunjukkan koreografi. Dan setiap koreografi pasti memiliki sutradara.

Oleh karena itu, narasi Roy Suryo bahwa ia bergerak sendiri harus dibaca sebagai bagian dari strategi kamuflase. Ia tidak ingin ditarik lebih dalam untuk membuka jejaring. Ia menjaga agar nama-nama di belakang layar tetap terlindungi, bahkan saat dirinya bermain api di depan panggung. Tapi publik tidak bodoh. Masyarakat bisa membaca motif, bisa melihat benang merah, dan bisa menilai integritas seseorang bukan dari ucapannya, tapi dari rekam jejak serta konsistensinya.

Jika benar Roy Suryo mencintai kebenaran, maka seharusnya ia mulai dengan membuktikan bahwa dirinya netral. Bukan hanya mengaku peneliti, tapi menunjukkan sumber dan metode. Bukan hanya menyerang, tapi membuka ruang diskusi akademik. Dan jika ia sungguh ingin membela negara, maka bukan Jokowi yang harus diserang, tapi para penyebar kebencian dan pemecah bangsa yang selama ini menunggangi demokrasi demi ambisi pribadi.

Maka pada akhirnya, publik berhak curiga. Dan dalam dunia politik, kecurigaan yang logis seringkali lebih dekat ke kebenaran daripada pembelaan yang dikemas indah tapi kosong. Roy Suryo mungkin bisa mengelak dari pertanyaan hari ini, tapi sejarah tidak akan lupa bahwa di balik setiap sandiwara, selalu ada dalang yang menyusun cerita. (lina/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow