Dari Aspirasi ke Anarki: Polri Harus Tegas, Rakyat Jangan Terprovokasi
Dari Aspirasi ke Anarki: Polri Harus Tegas, Rakyat Jangan Terprovokasi

detakpolitik.com, Jakarta - Dalam beberapa pekan terakhir kita menyaksikan fenomena yang mencemaskan: pergeseran wajah demonstrasi dari sebuah wadah aspirasi rakyat, menjadi gerakan liar yang sarat dengan penjarahan, perusakan, bahkan intimidasi. Apa yang dahulu dimaknai sebagai ekspresi demokrasi, kini telah bergeser menjadi ancaman nyata terhadap keamanan nasional. Berbagai rekaman, pemberitaan, hingga kesaksian masyarakat menunjukkan bahwa para pendemo bukan hanya lagi berteriak menyuarakan tuntutan, melainkan telah menjebol pagar-pagar kewajaran, memasuki fasilitas umum, merusak sarana publik, hingga yang paling berbahaya: mencoba menembus markas kepolisian, termasuk markas komando (MAKO).
Pergeseran ini sangat serius dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Negara tidak bisa membiarkan aksi yang mengatasnamakan demokrasi, tetapi berujung pada anarki. Sebab, demokrasi sejati tidak pernah lahir dari tangan-tangan yang merusak, tetapi dari nalar sehat yang beradab. Begitu aksi berubah menjadi kekerasan, maka legitimasi moralnya gugur, dan yang tersisa hanyalah kejahatan.
Polri dalam hal ini berada di garis terdepan. Kepolisian adalah benteng hukum dan ketertiban negara, yang dituntut tidak hanya sabar dan humanis, tetapi juga tegas dan berani. Sebab, kalau ketegasan tidak ditunjukkan sejak dini, maka gerakan liar ini akan membesar, meluas, dan menjelma menjadi badai yang sulit dikendalikan.
Kita harus belajar dari sejarah. Banyak bangsa runtuh bukan semata karena perang dari luar, melainkan karena kelengahan menghadapi huru-hara di dalam negeri. Aksi massa yang dibiarkan melanggar aturan akan menciptakan preseden, bahwa kekerasan adalah jalan yang sah untuk memaksakan kehendak. Jika preseden ini mengakar, maka hukum akan runtuh, negara kehilangan wibawa, dan rakyat biasa menjadi korban.
Hari ini, kita melihat para pendemo bukan sekadar berteriak di jalan, melainkan sudah mencoba masuk ke markas polisi. Itu bukan lagi aksi spontan, melainkan sebuah upaya yang terorganisir, terukur, dan sangat berbahaya. Sebab, markas komando adalah jantung pertahanan keamanan. Di sana tersimpan senjata, amunisi, hingga bahan peledak yang mestinya hanya berada di tangan aparat terlatih. Bayangkan jika MAKO jatuh ke tangan perusuh: bukan hanya polisi yang terancam, tetapi seluruh masyarakat akan berada di ambang malapetaka. Senjata yang seharusnya melindungi rakyat bisa berubah menjadi alat kekacauan yang memakan korban tanpa pandang bulu.
Polri tidak boleh lagi ragu. Tindakan tegas harus diambil. Sebab ini bukan lagi soal protes sosial biasa, melainkan sudah menyentuh ranah ancaman terhadap kedaulatan negara. Aparat tidak boleh dibelenggu oleh opini minoritas yang sengaja memelintir fakta, seakan-akan setiap langkah tegas adalah bentuk represi. Tidak. Justru ketidaktegasanlah yang akan melahirkan represi dari jalanan, karena hukum yang absen akan digantikan oleh kekerasan massa.
Kita juga harus menempatkan peristiwa ini dalam bingkai yang jernih. Banyak orang yang mencoba membandingkan dengan kerusuhan 1998. Padahal konteksnya berbeda jauh. Aksi 1998 lahir dari sebuah akumulasi panjang krisis ekonomi dan politik, sementara yang terjadi hari ini lebih banyak ditunggangi kepentingan sempit dan provokasi aktor-aktor politik yang gagal menggunakan jalur demokrasi formal. Para pendemo hari ini hanyalah sebagian kecil dari rakyat Indonesia, bukan representasi utuh dari suara bangsa. Mayoritas rakyat kita justru ingin damai, ingin bekerja, ingin hidup tenang, dan mendukung penegakan hukum yang tegas.
Di sinilah pentingnya peran masyarakat. Kita harus cerdas memilah informasi, jangan mudah terprovokasi. Jangan terkecoh dengan narasi yang seolah membela rakyat, padahal hanya alat untuk meraih kekuasaan. Jangan mau dijadikan pion oleh pihak-pihak yang gemar melempar batu sembunyi tangan. Sebab, pada akhirnya yang menjadi korban adalah kita semua. Infrastruktur rusak, fasilitas publik hancur, ekonomi terhambat, rasa aman hilang. Semua demi ambisi segelintir orang yang bersembunyi di balik kata “aspirasi”.
Kita harus berani mengatakan dengan lantang: aspirasi sah, tapi anarki haram. Demokrasi boleh, tetapi penjarahan tidak. Demonstrasi boleh, tetapi merusak dan menyerang aparat adalah kejahatan. Negara hukum hanya bisa berdiri jika hukum ditegakkan, bukan jika hukum diobrak-abrik oleh kekuatan massa.
Maka dari itu, kita mendukung penuh langkah Polri untuk tegas. Tidak ada kata lain. Tegas bukan berarti brutal. Tegas adalah menjalankan hukum sesuai porsinya: siapa pun yang melanggar, harus ditindak. Tegas adalah memastikan markas kepolisian tidak jatuh, fasilitas vital negara tidak dirusak, dan rakyat kecil tidak menjadi korban. Tegas adalah keberanian untuk mengatakan bahwa demokrasi punya batas, dan batas itu adalah hukum.
Bagi masyarakat luas, inilah waktunya bersatu. Jangan biarkan segelintir perusuh mengatasnamakan kita. Mari tunjukkan bahwa bangsa Indonesia lebih besar daripada ambisi kelompok kecil yang haus kekacauan. Mari kita dukung aparat dalam menjaga negeri, sebab jika negara runtuh, tidak ada lagi yang bisa melindungi kita.
Kita harus percaya: Polri bukan musuh rakyat. Polri ada untuk rakyat. Namun Polri juga bukan sekadar penonton dalam kekacauan. Polri harus menjadi tembok yang kokoh, sekaligus pedang yang tajam bagi siapa pun yang mengancam bangsa ini. Dan rakyat harus berdiri di belakangnya, mendukung, bukan justru meruntuhkan.
Sejarah akan mencatat, bahwa pada masa-masa genting inilah keberanian diuji. Apakah kita akan membiarkan bangsa ini digerogoti oleh ulah segelintir orang, atau kita berdiri tegak menjaga rumah besar Indonesia? Pilihannya ada di tangan kita. Dan saat ini, pilihan itu hanya satu: lawan anarki, dukung hukum, dan bersama Polri jaga Indonesia. (Hengki/dp)
Apa Reaksi Anda?






