Demo, Anarki, dan Siapa yang Diuntungkan: Menggugah Kesadaran agar Rakyat Tidak Jadi Korban Kepentingan
Demo, Anarki, dan Siapa yang Diuntungkan: Menggugah Kesadaran agar Rakyat Tidak Jadi Korban Kepentingan

detakpolitik.com, Jakarta - Beberapa hari terakhir, jalan-jalan di ibu kota dan sejumlah provinsi kembali menjadi saksi dari gelombang demonstrasi besar-besaran. Suara teriakan massa, derap langkah ribuan orang, dan kepulan asap ban yang terbakar membelah udara seakan menegaskan bahwa bangsa ini masih hidup dalam denyut protes. Namun di balik gegap gempita itu, tersisa kerusakan yang nyata, biaya yang tidak sedikit, dan luka yang meninggalkan tanda tanya panjang bagi masa depan demokrasi kita.
Fasilitas umum, yang dibangun dengan uang rakyat dan diperuntukkan bagi rakyat, porak-poranda akibat amukan massa. Trotoar rusak, halte hancur, pagar pembatas dicopot, dan ruang-ruang publik yang mestinya menjadi milik bersama berubah menjadi arena kekacauan. Menurut pernyataan Gubernur DKI Jakarta pada pagi ini, biaya pemulihan kerusakan mencapai 50 miliar rupiah. Angka itu baru hitungan awal, belum termasuk biaya perawatan korban luka, kompensasi bagi keluarga korban meninggal, maupun kerugian ekonomi lain yang tidak tercatat. Dan yang perlu diingat, perhitungan ini baru untuk Jakarta. Jika kita menengok ke provinsi lain yang mengalami nasib serupa, jumlah kerugian nasional tentu jauh lebih besar.
Di luar angka-angka itu, ada kerugian yang tidak kalah serius: terganggunya dunia pendidikan. Perkuliahan dan kegiatan belajar mengajar terpaksa dialihkan ke daring, bukan karena pandemi atau bencana alam, tetapi karena suasana kota tidak kondusif. Para orang tua was-was melepaskan anak-anaknya ke sekolah karena khawatir mereka terseret arus massa. Di kampus-kampus, dosen dan mahasiswa kehilangan momentum akademik yang mestinya menjadi ruang dialog rasional untuk menyelesaikan masalah bangsa.
Kerugian ekonomi juga tidak bisa disepelekan. Perusahaan menutup kantor lebih awal, pedagang kecil tidak bisa membuka lapak, transportasi umum lumpuh, dan investor menahan diri. Perputaran ekonomi yang mestinya menopang kehidupan jutaan orang tersendat. Kerugian semacam ini memang tidak selalu tampak kasat mata, tetapi efek domino-nya panjang: dari pekerja yang kehilangan upah harian, keluarga yang kesulitan membeli kebutuhan pokok, hingga meningkatnya ketidakpastian dunia usaha.
Lalu, pertanyaan mendasar pun muncul: apa sebenarnya yang dikejar dalam demonstrasi yang berujung anarkis ini? Hari pertama aksi, kita masih percaya bahwa semangat massa murni untuk menyampaikan aspirasi. Demokrasi memang memberi ruang untuk itu. Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk berkumpul, menyatakan pendapat, dan menuntut perubahan. Namun, sejarah selalu mengingatkan kita bahwa di setiap gelombang massa besar, selalu ada yang memancing di air keruh. Di tengah ribuan orang yang tulus berjuang, ada segelintir pihak yang sengaja mengarahkan situasi agar keruh, agar kacau, agar tidak terkendali.
Yang lebih mengkhawatirkan, massa yang mendominasi justru datang dari kalangan pelajar SMA dan SMK. Anak-anak muda yang masih mencari jati diri, belum matang secara politik, dan mudah terbakar emosinya. Mereka datang dengan semangat solidaritas, tetapi sering kali tidak memahami substansi isu yang diperjuangkan. Dalam suasana panas, mereka lebih mudah diprovokasi, lebih cepat terpancing untuk melempar batu, membakar ban, atau melawan aparat. Padahal, mereka yang menggerakkan dari belakang jarang terlihat, sementara yang menanggung risiko adalah anak-anak ini yang pada akhirnya harus berurusan dengan aparat, cedera, bahkan kehilangan nyawa.
Di titik inilah, pernyataan Profesor A.M. Hendropriyono, mantan Kepala BIN sekaligus guru besar bidang intelijen, terasa relevan. Ia pernah menegaskan bahwa selalu ada oknum yang memanfaatkan kerusuhan. Pernyataan itu bukan sekadar spekulasi, melainkan refleksi dari pengalaman panjang dalam membaca pola konflik di Indonesia. Dalam setiap kerusuhan, selalu ada agenda tersembunyi yang berjalan seiring dengan aspirasi murni masyarakat.
Indikasi itu semakin nyata ketika kita melihat bagaimana tokoh-tokoh politik tertentu tiba-tiba hadir di tengah keluarga korban yang meninggal akibat demo. Tentu, secara kemanusiaan, itu bisa dimaknai sebagai bentuk empati. Namun dalam kacamata politik, langkah ini sering kali menimbulkan tafsir ganda. Mengapa kehadiran itu harus dilakukan di tengah sorotan media? Apa kepentingannya di sana? Apakah benar murni empati, atau ada agenda pencitraan politik yang ingin dibangun di atas duka keluarga korban?
Masyarakat awam bisa saja menerima itu sebagai bentuk kepedulian. Tetapi kita sebagai bangsa harus melatih diri untuk berpikir lebih jernih. Kita tidak boleh menuduh tanpa bukti, tetapi juga tidak boleh terlalu naif. Karena dalam dunia politik, jarang ada tindakan yang benar-benar bebas dari kepentingan. Yang perlu kita sadari adalah: jangan sampai tragedi manusia dijadikan panggung politik. Jangan sampai duka rakyat kecil menjadi alat pencitraan.
Demonstrasi yang berujung anarkis justru merugikan semua pihak. Aspirasi yang hendak disuarakan tenggelam di balik berita tentang kerusuhan. Media lebih tertarik memberitakan bentrokan, api, dan korban jiwa, daripada menyoroti substansi tuntutan. Alhasil, pesan politik yang sebenarnya ingin diperjuangkan hilang ditelan kekacauan. Publik yang awalnya simpati bisa berbalik antipati, karena yang mereka lihat bukan perjuangan, melainkan kerusakan.
Lebih parah lagi, di tengah situasi panas itu, provokator semakin leluasa. Mereka yang datang bukan untuk menyuarakan aspirasi, tetapi untuk menghancurkan. Mereka yang tidak punya kepentingan lain selain menciptakan chaos, agar agenda tersembunyi bisa berjalan. Dalam kondisi semacam ini, massa yang tulus justru menjadi korban. Mereka kehilangan kendali, terseret dalam arus yang tidak mereka pahami, dan pada akhirnya menjadi pion dalam permainan politik tingkat tinggi.
Maka, kesadaran masyarakat menjadi kunci. Kita harus menyadari bahwa tidak semua yang terlihat di jalan adalah murni gerakan rakyat. Tidak semua yang mengatasnamakan kepentingan rakyat benar-benar berjuang untuk rakyat. Di balik kerumunan, ada elit yang nyaman menonton dari jauh, sambil memastikan bahwa kepentingan mereka berjalan.
Kesadaran ini harus ditanamkan sejak dini. Orang tua perlu mengingatkan anak-anaknya bahwa turun ke jalan bukan perkara main-main. Itu bukan sekadar ajang seru-seruan, bukan pula sekadar mengikuti teman. Ada risiko besar yang harus ditanggung, dan ada pihak-pihak yang siap memanfaatkan keberanian mereka untuk tujuan yang tidak pernah mereka pahami.
Media juga punya peran penting. Alih-alih hanya memburu sensasi kerusuhan, media seharusnya menggali lebih dalam substansi isu, sekaligus mengedukasi masyarakat tentang risiko manipulasi politik di balik gerakan massa. Sayangnya, logika rating dan klik sering kali lebih dominan daripada tanggung jawab edukasi publik.
Tokoh masyarakat, akademisi, dan pemuka agama pun harus angkat suara. Mereka perlu mengingatkan bahwa menyuarakan aspirasi sah dan mulia, tetapi harus dilakukan secara bermartabat, tanpa merusak, tanpa melukai, tanpa menjadikan rakyat sendiri sebagai korban.
Kita sebagai warga negara pun perlu melatih diri untuk berpikir kritis. Tidak semua ajakan turun ke jalan harus diikuti. Tidak semua seruan di media sosial bisa dipercaya. Tidak semua tokoh yang hadir di tengah tragedi layak disanjung. Kita perlu bertanya: siapa yang diuntungkan dari semua ini? Siapa yang dirugikan? Dan mengapa rakyat kecil selalu yang membayar harga termahal?
Sejarah bangsa kita sudah berkali-kali memberi pelajaran. Reformasi 1998 memang membuka jalan demokrasi, tetapi juga meninggalkan luka kerusuhan, penjarahan, dan korban jiwa. Demonstrasi 2019 sempat mengguncang, tetapi yang lebih diingat publik adalah bentrokan dan korban, bukan substansi tuntutan. Pola ini berulang, seakan kita tidak pernah belajar.
Sudah saatnya kita memutus rantai ini. Kita harus berani berkata: aspirasi bisa disuarakan tanpa anarki. Perubahan bisa diperjuangkan tanpa harus membakar fasilitas publik. Empati bisa ditunjukkan tanpa harus menjadikan duka orang lain sebagai panggung politik.
Masyarakat tidak boleh rela dikorbankan dua kali: pertama, sebagai korban kerusuhan; kedua, sebagai korban manipulasi politik. Kita harus menolak untuk dijadikan pion. Kita harus menjadi subjek perubahan, bukan obyek permainan.
Jika kesadaran ini tumbuh, maka bangsa ini bisa melangkah ke depan dengan lebih dewasa. Kita bisa tetap kritis terhadap pemerintah, tetap vokal terhadap kebijakan yang tidak adil, tetapi dengan cara yang terhormat. Kita bisa menjaga demokrasi tetap sehat, tanpa harus menghancurkan apa yang sudah kita bangun bersama. Dan yang paling penting, kita bisa memastikan bahwa rakyat kecil tidak lagi menjadi korban di tengah perebutan kepentingan segelintir elit. (hengki/dp)
Apa Reaksi Anda?






