Pemakzulan Gibran? Bivitri, DPR, BRIN dan Projo Tanggapi Heboh Akun Fufufafa
Menggugat Nalar: Kontroversi Usulan Pemakzulan Gibran dan Dekadensi Etika Politik di Era Demokrasi Populis

“Menggugat Nalar: Kontroversi Usulan Pemakzulan Gibran dan Dekadensi Etika Politik di Era Demokrasi Populis”
Ditulis oleh Hengki Tamando Sihotang | Dosen Universitas Putra Abadi Langkat
detakpolitik.com, JAKARTA - Wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali mencuat ke permukaan, kali ini bukan dari barisan partai oposisi di Senayan, melainkan dari Forum Purnawirawan TNI—sebuah organisasi nonformal yang terdiri dari sejumlah mantan prajurit militer yang kini lebih sering tampil dalam ranah politik sebagai kelompok tekanan. Melalui surat resmi yang mereka tujukan kepada DPR dan MPR RI, mereka meminta agar parlemen memulai proses pemakzulan terhadap Gibran dengan dalih bahwa pencalonan Gibran sebagai cawapres dalam Pilpres 2024 cacat secara etis dan konstitusional, menyusul kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memperlonggar syarat usia capres-cawapres. Selain itu, mereka menambahkan alasan tambahan yang nyaris tak masuk akal: keberadaan akun anonim bernama “fufufafa” yang dinilai menghina sejumlah tokoh politik nasional, dan yang oleh mereka diasumsikan memiliki hubungan dengan lingkar kekuasaan, termasuk putra presiden.
Langkah ini, jika ditinjau dari sudut hukum tata negara, filsafat politik, maupun etika demokrasi, adalah bentuk kedangkalan berpikir yang akut. Ia tidak hanya salah secara prosedural dan substansial, tetapi juga mencerminkan kegagalan sebagian elite dan mantan elite negara dalam memahami makna konstitusionalisme modern dan stabilitas demokrasi. Bahkan lebih jauh, dorongan pemakzulan ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi masa depan wakil presiden sebagai lembaga negara yang rentan dipolitisasi oleh tekanan politik non-institusional.
Dalam diskusi publik yang berlangsung beberapa waktu terakhir, sejumlah tokoh akademik dan politik telah turut bersuara menanggapi wacana pemakzulan ini. Bivitri Susanti, dosen STH Indonesia Jentera, mengingatkan bahwa pemakzulan wakil presiden bukan sekadar urusan politik, tetapi merupakan instrumen konstitusional yang sangat serius, dan hanya dapat dilakukan jika terpenuhi syarat berat sebagaimana termaktub dalam Pasal 7B UUD 1945. Pemakzulan hanya bisa dilakukan jika seorang presiden atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau tindakan tercela—dan semua itu harus melalui mekanisme pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi sebelum diambil keputusan politik oleh DPR dan MPR. Maka, mengajukan pemakzulan hanya karena ketidaksukaan atas sebuah putusan lembaga yudikatif, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, adalah kekeliruan fatal yang mencampuradukkan ranah yudikatif dan eksekutif.
Sebagai pengajar hukum tata negara, Bivitri sangat tepat dalam membedakan antara tindakan yang melanggar konstitusi dengan tindakan yang tidak disukai secara politik. Sebab demokrasi bukan soal suka atau tidak suka, tetapi soal penghormatan pada prosedur dan hukum yang berlaku. Putusan MK, seburuk apa pun persepsi publik terhadapnya, tetap merupakan produk konstitusional yang memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat. Jika ingin menggugat putusan MK, jalurnya bukanlah pemakzulan seorang wakil presiden yang tidak punya andil langsung dalam proses peradilan tersebut. Tidak bisa seseorang dihukum karena dianggap menerima manfaat dari putusan yang bukan ia buat.
Lebih dari itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, juga menegaskan bahwa hingga kini tidak ada proses resmi di DPR yang membahas surat dari Forum Purnawirawan TNI tersebut. Ini menunjukkan bahwa mayoritas aktor politik di parlemen tetap memiliki rasionalitas politik dan konstitusional yang sehat. Di tengah polarisasi politik yang kerap memanas, parlemen tetap menjadi benteng terakhir dari kegilaan politik jalanan yang mencoba membajak prosedur konstitusional melalui tekanan opini dan kelompok tertentu.
Penting untuk dicatat bahwa posisi Gibran dalam kontestasi pilpres 2024 adalah sah secara hukum. Tidak ada satu pun pengadilan yang membatalkan pencalonannya. Ia telah lolos semua tahapan administratif dan verifikasi KPU, didukung koalisi politik yang sah, mengikuti debat dan kampanye sebagaimana mestinya, dan pada akhirnya memenangkan pemilu secara demokratis bersama pasangannya, Prabowo Subianto. Menyerang keabsahan Gibran hari ini sama saja dengan menggugat keseluruhan legitimasi pemilu 2024 itu sendiri. Jika itu dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, maka kita sedang membuka pintu menuju anarki politik yang tidak lagi mengenal konstitusi sebagai panglima.
Peneliti politik senior BRIN, Siti Zuhro, juga memberi catatan penting. Ia menekankan bahwa segala proses politik, apalagi sebesar pemakzulan, harus berpijak pada konstitusionalisme, bukan emosi politik sesaat. Pemakzulan tidak bisa dijadikan pelampiasan atas kekalahan atau kekecewaan politis. Ia bukan mekanisme untuk “membalas dendam” atas ketidakpuasan terhadap hasil pemilu. Menggunakannya secara sembrono hanya akan memperlemah lembaga negara, mengganggu stabilitas pemerintahan, dan membingungkan rakyat. Demokrasi akan berubah menjadi arus tak menentu jika semua proses institusional diseret ke ranah emosi dan provokasi.
Freddy Damanik, Wakil Ketua Umum Projo, bahkan menegaskan bahwa tudingan terhadap Gibran sangat tidak masuk akal. Ia menganggap usulan pemakzulan itu sebagai tindakan politisasi hukum dan pembunuhan karakter. Terlebih lagi soal akun anonim “fufufafa” yang dijadikan dalih pemakzulan. Siapa pun tahu, sebuah akun di media sosial bisa dibuat oleh siapa saja, dan belum ada satu pun bukti valid bahwa Gibran terkait dengan akun tersebut. Mengaitkan unggahan anonim sebagai alasan pemberhentian wakil presiden adalah bentuk dekadensi logika politik. Jika logika ini diikuti, maka kelak siapa pun pejabat negara bisa diturunkan hanya karena ada akun tak dikenal yang melakukan provokasi dan lalu dikaitkan secara spekulatif dengan mereka. Ini bukan hanya bahaya demokrasi, tapi juga bentuk terorisme opini publik yang tak bertanggung jawab.
Lebih jauh, penting untuk mengajukan pertanyaan kepada para pengusul pemakzulan: apa sebenarnya motif mereka? Apakah benar demi konstitusi, atau hanya bentuk frustrasi politik yang terselubung? Forum Purnawirawan TNI bukan lembaga negara, dan tidak memiliki legitimasi politik yang lahir dari pemilu. Mereka bukan representasi rakyat, melainkan kelompok tekanan. Maka, desakan mereka seharusnya dilihat sebagai bagian dari kebisingan demokrasi, bukan suara institusional. Demokrasi menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, tetapi tidak berarti semua opini harus diproses dalam jalur kelembagaan. Ada perbedaan besar antara kritik dan sabotase konstitusi.
Sebagai bangsa yang telah melewati reformasi dan berbagai krisis politik, kita seharusnya sudah lebih dewasa. Pemakzulan bukan instrumen untuk memuaskan kekecewaan. Ia adalah mekanisme terakhir yang digunakan hanya dalam keadaan luar biasa. Menggunakannya untuk kepentingan politik sesaat hanya akan merusak kepercayaan publik terhadap sistem. Kita sudah menyaksikan betapa kerasnya dampak dari pemakzulan di masa lalu, termasuk trauma nasional pasca reformasi yang melahirkan instabilitas berkepanjangan. Apakah kita ingin mengulangi luka itu hanya karena dendam terhadap seorang wakil presiden muda?
Pada titik ini, masyarakat perlu belajar membedakan antara prosedur konstitusional dan propaganda politik. Kritik terhadap MK adalah sah. Penolakan terhadap gaya politik dinasti juga boleh. Namun semua itu harus disalurkan dalam ruang demokrasi yang sehat, bukan lewat perusakan institusi negara yang sah. Gibran adalah Wakil Presiden terpilih. Jika ada kekecewaan terhadap prosesnya, maka evaluasi harus dilakukan ke depan, melalui revisi undang-undang atau reformasi kelembagaan. Bukan dengan menjatuhkan seseorang hanya karena menjadi simbol kekesalan kelompok tertentu.
Pemakzulan adalah tindakan ekstrem, dan hanya bisa dijustifikasi oleh pelanggaran ekstrem. Jika tidak, kita sedang mempertaruhkan stabilitas politik nasional demi memuaskan ego sekelompok orang. Maka, kepada mereka yang menggaungkan pemakzulan tanpa dasar kuat, belajarlah dari sejarah. Lihatlah bagaimana bangsa lain tersandung dalam kekacauan karena elite-elite mereka lebih memilih jalan konfrontasi daripada konsolidasi. Jangan ulangi kesalahan itu di negeri ini. Indonesia butuh ketenangan untuk bekerja, bukan kegaduhan karena ambisi politik yang tak tersalurkan lewat pemilu.
Mari kita jaga akal sehat konstitusi. Kita boleh tidak setuju, kita boleh mengkritik, tetapi kita tidak boleh membajak hukum demi keinginan politik kita sendiri. Dan Gibran, suka atau tidak, telah menjadi bagian dari sistem yang sah. Menggugatnya tanpa dasar kuat bukan hanya tindakan sia-sia, tetapi juga berbahaya bagi kelangsungan republik. (hengki/dp)
Apa Reaksi Anda?






