Audiensi Bukan Seremoni: Suara Mahasiswa, Nurani Bangsa
Audiensi Bukan Seremoni: Suara Mahasiswa, Nurani Bangsa

detakpolitik.com, Jakarta - Hari ini kita menyaksikan sebuah momentum yang tidak boleh diremehkan. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, lembaga yang konon katanya menjadi simbol representasi suara rakyat, membuka pintu untuk menerima audiensi dari unsur mahasiswa, BEM dari berbagai kampus besar seperti Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, serta sejumlah BEM lainnya, juga perwakilan kelompok masyarakat sipil. Pada titik inilah kita menyaksikan bagaimana dinamika demokrasi bekerja: suara rakyat disalurkan melalui pertemuan langsung, bukan sekadar unjuk rasa di jalanan, bukan hanya retorika di media sosial, melainkan komunikasi langsung dengan mereka yang seharusnya mengemban mandat kedaulatan rakyat.
Namun, yang lebih penting dari sekadar seremoni audiensi adalah substansi tuntutan yang disuarakan. Ada empat isu pokok yang menonjol dalam forum itu: pertama, sorotan atas kenaikan tunjangan DPR yang begitu tinggi dan dianggap tidak masuk akal; kedua, desakan agar RUU Perampasan Aset segera disahkan sebagai instrumen hukum untuk melawan korupsi; ketiga, tuntutan untuk mengembalikan TNI ke barak, mengakhiri praktik penempatan perwira militer di jabatan sipil atau politik; keempat, permintaan untuk menurunkan beban pajak rakyat yang semakin hari dirasakan kian mencekik. Di luar itu, ada pula isu tambahan yang tidak kalah serius: desakan agar DPR bersama pemerintah menindaklanjuti pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai indikasi adanya tindakan makar.
Jika kita simak baik-baik, keempat isu utama dan tambahan ini bukanlah sekadar keluhan sesaat. Semua tuntutan itu berakar pada kegelisahan mendalam tentang arah perjalanan bangsa. Mahasiswa, sekali lagi, membuktikan dirinya sebagai elemen kritis bangsa yang tidak kehilangan nurani dan logika dalam menimbang kebijakan publik. Sebab, bila rakyat diam dan mahasiswa bungkam, maka hanya oligarki dan kepentingan elite yang akan bersuara.
Kenaikan Tunjangan DPR: Ironi di Tengah Luka Sosial
Mari kita mulai dengan isu kenaikan tunjangan DPR. Tidak ada yang salah bila pejabat negara diberi fasilitas yang layak. Tetapi, yang harus ditekankan di sini adalah proporsionalitas. Apakah pantas ketika rakyat masih bergulat dengan harga beras yang naik, lapangan kerja yang sulit, biaya pendidikan yang mahal, serta pelayanan kesehatan yang belum merata, anggota DPR justru sibuk menambah kesejahteraan dirinya sendiri?
Dalam ilmu politik, ada konsep yang disebut legitimasi moral. Legitimasi ini tidak sekadar berasal dari pemilu, melainkan dari perilaku nyata yang menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Jika DPR memilih untuk menambah tunjangan di tengah krisis, legitimasi moral mereka runtuh. Dan mahasiswa sangat tepat menyoroti ini. Karena tunjangan DPR bukan hanya soal angka, tetapi simbol ketidakadilan.
Maka dari itu, tuntutan mahasiswa agar DPR menahan diri dan lebih peka terhadap penderitaan rakyat adalah sebuah seruan moral yang harus didukung publik. Kita perlu menyadari, uang yang mereka gunakan bukanlah milik pribadi, melainkan hasil jerih payah rakyat melalui pajak.
UU Perampasan Aset: Ujian Keseriusan Lawan Korupsi
Isu kedua, pengesahan UU Perampasan Aset, juga merupakan sorotan penting. Selama bertahun-tahun bangsa ini dihantui oleh kasus korupsi yang merugikan triliunan rupiah. Sementara hukum yang ada sering kali hanya bisa menyentuh permukaan. Koruptor dihukum penjara, tetapi aset yang mereka rampas dari rakyat tidak kembali sepenuhnya.
RUU Perampasan Aset hadir sebagai solusi. Dengan instrumen ini, negara bisa menelusuri, membekukan, dan merampas aset haram tanpa harus selalu menunggu putusan pidana yang panjang dan berliku. Tetapi entah mengapa, pembahasan RUU ini seperti jalan di tempat. Ada yang bilang DPR dan pemerintah takut. Takut pada siapa? Takut pada para mafia ekonomi, para elit yang sudah telanjur menikmati hasil korupsi?
Di sinilah mahasiswa mengambil sikap tegas. Mereka menuntut DPR segera mengesahkan UU itu. Dukungan masyarakat terhadap desakan ini mutlak diperlukan. Karena korupsi bukan sekadar tindak pidana biasa, melainkan kejahatan luar biasa yang meluluhlantakkan sendi kehidupan bangsa. Ketika mahasiswa menyerukan percepatan UU ini, sejatinya mereka sedang mengingatkan kita bahwa tanpa keberanian hukum, negara akan terus dikuasai tikus-tikus berdasi.
Mengembalikan TNI ke Barak: Menjaga Marwah Demokrasi
Isu ketiga adalah soal posisi TNI dalam ranah sipil dan politik. Sejak reformasi 1998, Indonesia berkomitmen untuk menegakkan supremasi sipil. TNI diminta kembali ke barak, fokus pada pertahanan negara, bukan pada urusan politik praktis. Namun, fakta menunjukkan masih ada perwira yang duduk di jabatan sipil atau politik.
Mengapa hal ini bermasalah? Karena ketika militer ikut mengurusi sipil, garis batas demokrasi menjadi kabur. Sejarah menunjukkan betapa rapuhnya demokrasi jika tentara memegang kendali politik. Mahasiswa, dengan tuntutannya, sedang mengingatkan DPR agar jangan sampai reformasi dibajak secara perlahan. Kembalikan TNI ke fungsi pokoknya, jangan biarkan mereka dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan sipil tertentu.
Tuntutan ini harus diapresiasi, sebab bukan berarti mahasiswa anti-TNI. Justru sebaliknya, mahasiswa ingin menjaga kehormatan TNI agar fokus pada tugas mulianya: menjaga kedaulatan, bukan terjebak dalam intrik politik.
Menurunkan Pajak: Beban Rakyat yang Makin Berat
Poin keempat adalah soal pajak. Saat ini, rakyat menjerit karena hampir semua sektor kehidupan dikenai pajak. Ada PPN, ada cukai, ada pungutan resmi maupun tidak resmi yang dirasakan semakin berat. Mahasiswa melihat dengan jernih bahwa sistem perpajakan harus berkeadilan. Pajak memang sumber utama negara, tetapi jangan sampai rakyat kecil jadi korban sementara korporasi besar bisa menikmati berbagai celah dan insentif.
Desakan untuk menurunkan beban pajak ini bukan berarti menolak kewajiban warga negara, melainkan mengingatkan agar kebijakan fiskal tidak membunuh daya beli masyarakat. Ketika mahasiswa berbicara tentang pajak, sesungguhnya mereka sedang membela kelas pekerja, pedagang kecil, hingga mahasiswa lain yang masih bergantung pada kiriman orang tua yang makin tercekik.
Indikasi Makar: DPR dan Pemerintah Harus Tegas
Selain empat isu pokok tadi, audiensi hari ini juga menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut adanya indikasi makar. Kata “makar” bukanlah hal sepele. Ia menyangkut ancaman terhadap kedaulatan negara. Maka, wajar jika mahasiswa meminta DPR dan pemerintah menindaklanjuti pernyataan itu dengan bukti konkret.
Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, tidak bisa lagi rakyat diberi narasi setengah matang. Jika benar ada makar, tunjukkan siapa aktornya. Jika tidak ada, katakan dengan jujur agar rakyat tidak resah. Mahasiswa menuntut kejelasan karena mereka paham betul: isu makar bisa dipakai sebagai alat politik untuk membungkam oposisi. Maka, DPR berkewajiban memastikan pernyataan presiden itu ditindaklanjuti dengan transparansi penuh.
Mahasiswa dan Publik: Suara Nurani Bangsa
Melihat semua tuntutan ini, publik seharusnya tidak ragu untuk berdiri di belakang mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil yang hadir dalam audiensi. Karena sejarah telah membuktikan, mahasiswa sering menjadi suara nurani bangsa ketika elit politik gagal menjaga kompas moralnya. Dari 1966, 1974, 1998, hingga kini, peran mahasiswa selalu hadir untuk mengoreksi arah bangsa.
Apa yang mereka lakukan hari ini bukanlah sekadar demo atau audiensi seremonial. Ini adalah panggilan moral, panggilan sejarah. Mereka sedang menegaskan bahwa rakyat tidak boleh hanya menjadi objek, tetapi subjek dalam menentukan arah bangsa.
Apa yang Harus Dilakukan DPR?
Pertanyaannya sekarang, apakah DPR akan sekadar mendengar lalu melupakan, ataukah benar-benar mengambil tindakan? Publik harus menekan agar DPR tidak hanya menjadi kotak surat aspirasi, tetapi menjadi pelaku nyata perubahan.
Pertama, DPR harus transparan soal pembahasan kenaikan tunjangan. Jika memang dilakukan, publikasikan alasan dan perhitungan yang rasional. Jika tidak rasional, batalkan.
Kedua, DPR harus menempatkan RUU Perampasan Aset sebagai prioritas utama legislasi. Tidak ada alasan menunda.
Ketiga, DPR perlu menegaskan komitmen reformasi dengan memperkuat regulasi yang memastikan TNI kembali ke barak.
Keempat, DPR harus membuka ruang diskusi soal kebijakan pajak yang lebih adil.
Dan terakhir, DPR wajib mendesak pemerintah untuk menjelaskan indikasi makar yang disebut Presiden.
Tanggung Jawab Sejarah
Momentum audiensi hari ini harus kita pandang sebagai titik penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Mahasiswa telah menjalankan peran kontrol sosialnya dengan baik. Sekarang bola ada di tangan DPR. Apakah mereka akan membuktikan diri sebagai wakil rakyat sejati, atau hanya sekadar elite yang terjebak dalam kepentingan sendiri?
Kita sebagai publik wajib mendukung mahasiswa, karena apa yang mereka perjuangkan hari ini bukan hanya untuk kepentingan mereka, tetapi untuk seluruh rakyat. Inilah saatnya kita bersatu mengawal aspirasi yang benar-benar lahir dari nurani, bukan dari kepentingan sempit.
Sejarah selalu mencatat. Jika DPR menutup telinga, mereka akan dikenang sebagai pengkhianat aspirasi. Tetapi jika mereka mendengar dan bertindak, mereka akan dikenang sebagai lembaga yang sekali waktu pernah berpihak pada rakyat. (Hengki/DP)
Apa Reaksi Anda?






