Hasutan di Balik Isu Tambang Raja Ampat dan Fitnah Brutal terhadap Jokowi
Hasutan di Balik Isu Tambang Raja Ampat dan Fitnah Brutal terhadap Jokowi

detakpolitik.com, JAKARTA - Di zaman ketika informasi bisa menjadi senjata tajam yang menusuk reputasi seseorang lebih dari pedang, nama Presiden Joko Widodo kembali dijadikan sasaran empuk dalam narasi liar soal tambang nikel di Raja Ampat. Publik disuguhkan oleh potongan-potongan informasi yang dijahit sedemikian rupa menjadi busana fitnah yang mencolok, lalu diperagakan secara berulang-ulang di media sosial oleh para pedagang hoaks, pembenci yang tidak lelah, dan politisi murahan yang haus sorotan. Dan kali ini, tuduhannya tak main-main: seolah-olah Jokowi dan keluarganya adalah dalang dari pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Namun seperti biasa, para penggiring opini yang getol menyebarkan tudingan ini tampaknya alergi terhadap data, sejarah, dan logika dasar. Mereka lebih memilih mendompleng nama Jokowi dalam isu tambang sebagai cara murahan untuk menabur keraguan, memantik kebencian, dan merusak citra seorang presiden yang nyatanya telah berulang kali menunjukkan kepeduliannya pada pembangunan Papua secara menyeluruh bukan sekadar eksplorasi sumber daya.
Mari kita kupas fakta satu per satu. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang merupakan putra asli Papua, dengan tegas menyatakan bahwa semua izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah Raja Ampat yang kini dipersoalkan, justru diterbitkan jauh sebelum Presiden Jokowi menjabat. Bahkan ada yang sejak 2004–2006, dan yang tertua, yakni PT Gag Nikel, sudah eksis sejak tahun 1998 era Orde Baru. Lalu bagaimana mungkin Presiden Jokowi dituding sebagai dalang pertambangan tersebut jika izin terbit sebelum ia menjadi Presiden, bahkan sebelum ia menjabat sebagai Wali Kota Solo?
Apa yang kini disaksikan masyarakat adalah rekayasa persepsi, sebuah ilusi yang dibentuk lewat kebohongan berulang, dimainkan oleh pihak-pihak yang memang tidak pernah senang melihat pemerintahan berjalan stabil dan progresif. Mereka melihat keberhasilan Jokowi di Papua jalan Trans Papua, pembangunan bandara, pelabuhan, hingga jembatan megastruktur seperti Jembatan Holtekamp di Jayapura bukan sebagai bentuk kasih sayang terhadap rakyat Papua, tetapi malah dipelintir menjadi tudingan seolah-olah itu hanya kedok untuk menguasai sumber daya.
Lebih menyakitkan lagi, muncul pernyataan sembrono dari politisi seperti Dedy Sitorus yang menyebut bahwa kunjungan Jokowi ke Papua bukan karena cinta, melainkan demi membuka jalan bagi tambang. Ini adalah tuduhan brutal yang tidak hanya menghina nalar publik, tapi juga menyayat rasa keadilan rakyat Papua yang justru selama ini merasa diperhatikan lewat kerja nyata Jokowi. Sejak kapan kepedulian dibuktikan dengan fitnah? Sejak kapan kerja lapangan dan blusukan langsung dinilai sebagai manipulasi tambang?
Tuduhan seperti ini adalah refleksi dari kecemasan politik yang akut. Ada kelompok-kelompok tertentu yang terganggu dengan model kepemimpinan Jokowi yang langsung menyentuh akar persoalan tanpa terlalu banyak basa-basi politik. Mereka tidak nyaman melihat Jokowi membangun Papua bukan hanya sebagai wacana simbolik seperti masa lalu, tetapi benar-benar menjadikannya bagian tak terpisahkan dari Republik. Dan karena tidak bisa menyerang substansi, mereka menyerang pribadi. Karena tidak bisa melawan lewat pembangunan, mereka menebar fitnah lewat mikrofon kebencian.
Isu soal kapal bernama "JKW Mahakam" dan "Dewi Iriana" yang beroperasi di perairan Indonesia pun dijadikan bahan tuduhan baru. Hanya karena nama kapal tersebut terdengar seperti inisial Jokowi dan istrinya, langsung dimaknai sebagai bukti keterlibatan. Padahal, di negara demokrasi dan hukum seperti Indonesia, penamaan kapal tidak serta-merta membuktikan keterlibatan dalam tindak pidana. Ini seperti menuduh restoran bernama “Obama Fried Chicken” milik mantan presiden AS hanya karena namanya. Logika murahan seperti ini seharusnya menjadi bahan tertawaan, bukan konsumsi politik serius.
Bahlil sendiri, sebagai Menteri ESDM, secara terbuka menyatakan bahwa nama kapal itu tidak ada kaitan dengan Jokowi dan Iriana. Ia bahkan menyebutkan bahwa keputusan mencabut empat IUP tambang di Raja Ampat dilakukan justru oleh Presiden Prabowo Subianto, dengan masukan dari Bahlil, dan disampaikan dalam rapat terbatas. Jika Jokowi memang punya andil dalam tambang Raja Ampat, mengapa di masa transisi ke Prabowo, pemerintah justru tegas mencabut izin-izin tersebut?
Artinya, negara bukan hanya tidak terlibat, tetapi bahkan menunjukkan sikap bersih dan tegas terhadap potensi pelanggaran lingkungan. Inilah yang tidak disukai oleh pihak-pihak yang selama ini membajak isu lingkungan demi tujuan politik. Mereka tidak ingin kebenaran terbuka. Mereka hanya ingin Jokowi dan keluarganya dibenci, dibunuh karakternya, dicabut pengaruhnya.
Bayangkan betapa piciknya mereka: di tengah semua prestasi pemerintahan Jokowi dalam memajukan kawasan Indonesia timur, mereka masih tega melempar tuduhan yang tidak punya dasar. Mereka melupakan fakta bahwa selama masa Jokowi, Papua punya perhatian lebih besar dari pusat. Dana otonomi khusus digelontorkan dengan lebih transparan. Infrastruktur dibangun bukan hanya di kota, tapi menjangkau pedalaman. Pendidikan dan kesehatan diperkuat. Bahkan pemekaran wilayah Papua menjadi beberapa provinsi juga terjadi di era Jokowi—sebuah bukti bahwa negara hadir, bukan hanya dalam janji, tetapi dalam kebijakan konkret.
Sayangnya, kelompok penyebar fitnah ini tidak tertarik pada pembangunan. Mereka hanya tertarik pada perpecahan. Mereka hanya ingin mengoyak-ngoyak reputasi pemimpin yang mereka benci, meski dengan cara-cara paling kotor. Mereka memanfaatkan sentimen, memprovokasi rakyat, dan menjual kebohongan seolah-olah itu kebenaran yang tertindas.
Tapi kita tahu, sejarah akan berpihak pada mereka yang berpijak pada fakta. Publik tidak bodoh. Rakyat Papua tahu siapa yang membangun tanah mereka. Mereka tahu Jokowi tidak datang hanya untuk formalitas. Ia datang berkali-kali, masuk ke pelosok, memantau sendiri proyek-proyek yang lamban, dan menegur langsung pejabat yang tak bekerja. Cinta seperti itu tidak bisa direkayasa. Dan yang pasti, tidak bisa disangkal hanya dengan fitnah murahan.
Kita sebagai warga negara punya tanggung jawab untuk melawan narasi busuk ini. Bukan karena kita fanatik terhadap Jokowi, tetapi karena kita mencintai keadilan dan kebenaran. Ketika seorang pemimpin dituduh tanpa bukti, ketika keluarga presiden diseret ke dalam isu tambang hanya karena nama kapal, dan ketika kunjungan ke Papua dicurigai sebagai siasat tambang, maka saatnya kita bertanya: apakah mereka benar-benar peduli pada Papua, atau hanya sedang menjadikan Papua sebagai panggung propaganda?
Hari ini, kita dihadapkan pada pertarungan besar antara akal sehat dan propaganda. Dan dalam pertarungan ini, membiarkan fitnah berkembang tanpa dilawan adalah bentuk kejahatan baru. Jangan biarkan para politisi tukang tuduh seperti Dedy Sitorus dan kroninya merasa bebas melempar racun tanpa konsekuensi. Jangan biarkan keluarga Presiden yang telah mengabdi dan membuktikan cintanya pada negeri ini dicemari oleh opini dangkal dari mereka yang tak tahu malu.
Mereka boleh menyerang dengan seribu fitnah, tapi kita akan melawan dengan satu kebenaran yang tak tergoyahkan. Jokowi bukan perampok tambang. Ia bukan dalang eksploitasi. Ia adalah pemimpin yang membangun, melayani, dan mempersatukan. Dan fakta ini, lebih kuat dari segala tuduhan yang bisa mereka karang.
Sudah cukup lama politik kita diracuni oleh narasi palsu. Kini saatnya membersihkan ruang publik dari kebohongan dan memperkuat fondasi demokrasi dengan data, akal sehat, dan keberanian membela yang benar. Kita bukan sekadar membela Jokowi, kita sedang membela integritas bangsa dari kerusakan moral yang dipertontonkan oleh para pemfitnah.
Dan pada akhirnya, sejarah akan mencatat siapa yang membangun negeri ini, dan siapa yang menghabiskan waktunya hanya untuk mencaci.
(stefanie / dp)
Apa Reaksi Anda?






