Jokowi Difitnah Miliki Tambang Raja Ampat — Inilah Analisis yang Mereka Takutkan!

Jokowi Difitnah Miliki Tambang Raja Ampat — Inilah Analisis yang Mereka Takutkan!

Jokowi Difitnah Miliki Tambang Raja Ampat — Inilah Analisis yang Mereka Takutkan!

Putri Handayani  | Peneliti Lingkungan Detak Politika

detakpolitik.com, JAKARTA - Keresahan publik yang mencuat akibat isu tambang di Raja Ampat, Papua Barat Daya, kini diwarnai oleh tudingan keji dan tak berdasar yang mengaitkan Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana dengan kepemilikan tambang tersebut. Tudingan ini, yang disebarkan oleh sejumlah tokoh oposisi dan kelompok yang haus sensasi politik, bukan hanya menyesatkan publik, tetapi juga mencederai akal sehat dan mengingkari fakta-fakta hukum serta sejarah perizinan tambang di Indonesia. Perlu ditegaskan bahwa Presiden Jokowi bukan pemilik, tidak pernah menjadi pemilik, dan tidak terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan tambang nikel atau tambang lainnya di Raja Ampat. Narasi yang dibangun seolah-olah tambang itu milik Jokowi-Iriana merupakan fitnah terbuka yang harus dilawan dengan akal sehat dan data konkret.

Pertama, fakta hukum yang tak terbantahkan adalah bahwa izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah Raja Ampat telah diterbitkan jauh sebelum Jokowi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Izin-izin tersebut, sebagian besar, merupakan warisan dari masa pemerintahan sebelum Jokowi, yakni era Susilo Bambang Yudhoyono bahkan sebagian ada sejak masa Megawati Soekarnoputri. Ini adalah prosedur yang lumrah di dalam industri tambang, yang memang memiliki rentang waktu izin yang panjang dan seringkali diteruskan atau dijual ke pihak lain oleh pemegang saham. Tuduhan bahwa tambang itu adalah "milik Jokowi" tanpa dasar legal atau dokumen valid hanyalah permainan framing murahan yang digunakan untuk menyerang kredibilitas pemimpin nasional yang telah bekerja keras membangun Papua dan wilayah timur Indonesia lainnya.

Kedua, perlu dipahami bahwa Bareskrim Polri melakukan penyelidikan bukan atas dasar klaim kepemilikan pribadi, melainkan untuk memastikan bahwa aktivitas tambang berjalan sesuai hukum, tidak merusak lingkungan secara liar, dan memiliki kelengkapan administratif. Proses penyelidikan adalah bagian dari negara hukum yang sehat, bukan indikasi adanya kriminalitas Presiden. Justru upaya penyelidikan ini membuktikan bahwa institusi negara berjalan tanpa intervensi, dan tidak ada kekuasaan yang membekingi tambang tersebut. Jika benar tambang itu milik Jokowi, logikanya, Bareskrim tidak akan berani menyentuhnya. Tapi faktanya, mereka menyelidiki secara terbuka. Ini saja sudah cukup untuk membantah fitnah yang dilontarkan oleh lawan-lawan politik yang tidak bertanggung jawab.

Ketiga, respons Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang membuka opsi penyelesaian secara adat Papua menunjukkan pendekatan sensitif terhadap kearifan lokal dan realitas sosial masyarakat adat Papua, bukan sebuah upaya untuk "menutup-nutupi" atau melemahkan hukum negara. Penyelesaian secara adat di Papua bukanlah bentuk kompromi terhadap pelanggaran hukum, melainkan mekanisme sosial yang selama ini dihormati dan diakui negara dalam kerangka otonomi khusus Papua. Justru pendekatan ini bisa menjadi jembatan antara hukum positif dan keadilan restoratif berbasis kultural, yang sering kali lebih diterima oleh masyarakat lokal dan jauh lebih damai dibanding pendekatan koersif semata.

Keempat, narasi yang menyebutkan Jokowi pura-pura cinta Papua dan justru merampok tanah mereka lewat tambang adalah penghinaan terhadap realitas yang selama satu dekade terakhir telah dibangun oleh pemerintah. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Jokowi adalah satu-satunya presiden Indonesia yang paling sering datang ke Papua, membangun infrastruktur, membuka akses jalan, memberikan beasiswa afirmatif, serta mendorong pendekatan dialogis dan pembangunan berbasis keadilan sosial. Tidak masuk akal jika seseorang yang begitu berinvestasi secara politik, sosial, dan emosional terhadap Papua justru dituduh menjadi perampas tanah adat.

Kelima, perlu disampaikan kepada publik bahwa tudingan-tudingan ini, sebagian besar dimotori oleh para politisi gagal, aktivis penuh kebencian, dan figur-figur yang haus panggung namun miskin integritas. Mereka ingin menggiring opini bahwa ada konspirasi besar yang melibatkan Jokowi dan keluarganya di balik seluruh proyek ekonomi di Indonesia, padahal tidak satu pun bukti sahih yang bisa diajukan. Semuanya berbasis asumsi, dikait-kaitkan secara liar, dan digoreng di media sosial agar memantik kemarahan rakyat. Strategi ini adalah bagian dari politik adu domba, dan sangat berbahaya jika tidak ditanggapi dengan kewaspadaan dan klarifikasi mendalam seperti ini.

Akhirnya, publik harus tetap rasional dan waspada terhadap upaya pembunuhan karakter yang ditujukan kepada Jokowi, terutama di tengah masa transisi kekuasaan ke Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ada pihak-pihak yang tidak ingin stabilitas terjaga dan ingin menciptakan persepsi bahwa seluruh warisan pemerintahan Jokowi adalah kotor, penuh korupsi, dan penuh nepotisme. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah: Jokowi sedang disiapkan untuk menjadi kambing hitam dari kegagalan elite lama yang tidak siap bersaing secara fair dan jujur di tengah demokrasi yang sehat.

Tuduhan bahwa tambang di Raja Ampat adalah milik Jokowi dan Iriana adalah fitnah politik kelas rendah. Dan publik yang cerdas tidak akan termakan propaganda picisan semacam ini. Mari bersuara lantang dan tegas: hentikan fitnah terhadap Presiden Jokowi, dan kembalikan politik kita pada akal sehat dan data, bukan pada kebencian dan kebohongan.

(putri/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow