JOKOWI ABSEN DI HARI BHAYANGKARA: ANCAMAN GORENGAN POLITIK DAN PENTINGNYA MEMAHAMI KONTEKS KENEGARAAN
JOKOWI ABSEN DI HARI BHAYANGKARA: ANCAMAN GORENGAN POLITIK DAN PENTINGNYA MEMAHAMI KONTEKS KENEGARAAN
detakpolitik.com, JAKARTA - Di tengah peringatan Hari Bhayangkara ke-79 yang digelar secara meriah di Monumen Nasional, Jakarta, pada 1 Juli 2025, absennya Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, menjadi sorotan tersendiri bagi publik. Banyak yang bertanya-tanya mengenai alasan ketidakhadiran Jokowi, terlebih dalam sebuah acara yang melibatkan institusi sebesar Kepolisian Republik Indonesia. Wajar jika kemudian ruang diskusi publik diwarnai dengan berbagai asumsi, sebagian rasional, namun tak sedikit pula yang terjebak dalam permainan gorengan isu yang berpotensi membentuk persepsi negatif secara sepihak.
Informasi yang disampaikan langsung oleh ajudan Presiden, Kompol Syarif Muhammad Fitriansyah, sesungguhnya telah memberikan klarifikasi yang lugas dan gamblang: Presiden Jokowi sedang tidak berada di Jakarta karena sedang bepergian bersama keluarga untuk berlibur. Lebih lanjut, diketahui bahwa Jokowi juga sedang dalam proses pemulihan dari alergi kulit yang sempat dideritanya, meskipun ia sendiri telah menegaskan bahwa secara umum dirinya berada dalam kondisi sehat. Namun, seperti biasa, dalam iklim politik Indonesia yang sarat dengan polarisasi dan kecurigaan, fakta tidak selalu cukup untuk meredam gelombang spekulasi yang kadang sengaja dibakar demi kepentingan politik sesaat.
Ketiadaan Jokowi di Hari Bhayangkara bukanlah preseden pertama dalam sejarah kenegaraan kita. Presiden-presiden sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, juga pernah berhalangan hadir dalam acara seremonial kenegaraan karena berbagai alasan, mulai dari agenda luar negeri, kondisi kesehatan, hingga urusan pribadi. Namun, yang membedakan adalah konteks politik hari ini yang kian bising, di mana setiap gerak dan keputusan figur nasional seperti Jokowi selalu menjadi bahan tafsir publik yang tak jarang dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk membangun narasi destruktif.
Ada kelompok yang mencoba menggiring opini bahwa absennya Jokowi adalah bentuk pelecehan terhadap institusi Polri. Bahkan ada yang dengan enteng menyebutnya sebagai bentuk pembangkangan atau sinyal ketidaksukaan terhadap aparat. Ini adalah contoh tipikal dari gorengan isu yang tidak hanya tidak berdasar, tetapi juga berbahaya bagi kelangsungan dialog publik yang sehat. Mereka yang menyebarkan opini semacam ini sesungguhnya tengah memainkan api di tengah jerami. Menyulut kegaduhan atas hal yang sesungguhnya sangat normatif dan manusiawi: seorang mantan kepala negara mengambil waktu untuk berlibur bersama cucu-cucunya dan memulihkan kesehatannya.
Perlu dipahami bahwa sebagai mantan Presiden, Jokowi memang tidak lagi memiliki kewajiban protokoler seperti saat masih menjabat. Namun, tetap saja, kehadirannya dalam acara-acara besar seperti Hari Bhayangkara dianggap penting secara simbolik. Karena itu pula, meskipun tidak bisa hadir secara fisik, Jokowi tetap menunjukkan perhatian dan penghormatannya kepada Kepolisian Republik Indonesia dengan mengirimkan karangan bunga ke lokasi acara. Ini adalah bentuk etika politik yang sangat jelas: menunjukkan dukungan tanpa perlu hadir secara langsung. Jika itu saja masih dianggap sebagai bentuk pengabaian, maka logika publik kita patut dipertanyakan.
Menyoal tentang hubungan antara Jokowi dan institusi Polri, kita tidak boleh lupa bahwa selama dua periode pemerintahannya, Jokowi merupakan kepala negara yang secara konsisten menunjukkan komitmen dalam memperkuat dan mereformasi Polri. Mulai dari peningkatan kesejahteraan anggota kepolisian, penguatan anggaran operasional, hingga keterlibatan aktif dalam reformasi institusional Polri untuk menjadikannya lebih profesional dan humanis. Di era Jokowi, Polri juga mendapatkan ruang kepercayaan publik yang lebih besar dalam penanganan terorisme, pengamanan pemilu, hingga pengendalian pandemi. Maka, jika hari ini ada pihak-pihak yang mencoba menarasikan absennya Jokowi sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap Polri, maka itu merupakan bentuk amnesia politik atau bahkan upaya manipulatif untuk menurunkan citra Jokowi secara tidak adil.
Liburan Presiden, baik yang masih aktif maupun yang telah purna tugas, adalah sesuatu yang sangat lumrah di berbagai negara demokratis. Bahkan kepala negara seperti Presiden AS atau Perdana Menteri Kanada pun kerap mengambil cuti atau waktu personal untuk beristirahat bersama keluarga. Dalam banyak kesempatan, publik negara-negara maju justru menghormati momen-momen seperti ini karena dianggap sebagai bagian dari keseimbangan antara tugas publik dan kehidupan pribadi. Hanya di negeri dengan budaya politik gaduh seperti Indonesia, liburan pemimpin bisa dipelintir menjadi semacam "dosa publik" oleh kelompok-kelompok yang tak henti mencari celah untuk menyerang.
Lebih ironis lagi, di tengah kritik soal absennya Jokowi, tidak banyak yang membicarakan tentang kehadiran tokoh-tokoh nasional lainnya yang justru menunjukkan bahwa semangat Hari Bhayangkara tetap terjaga. Hadirnya tokoh-tokoh seperti Sinta Nuriyah Wahid, Try Sutrisno, Jusuf Kalla, dan Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menjadi penanda bahwa kebersamaan elite bangsa dalam mendukung institusi kepolisian masih sangat kuat. Ini membuktikan bahwa Hari Bhayangkara tidak kehilangan makna dan substansinya hanya karena seorang mantan Presiden tidak hadir secara fisik.
Di tengah dunia digital yang serba cepat, sangat mudah bagi narasi palsu atau sepotong-sepotong fakta untuk menyebar luas. Potensi gorengan isu seperti ketidakhadiran Jokowi ini sesungguhnya lebih mencerminkan kemalasan intelektual para penggoreng isu daripada kekeliruan dari Jokowi sendiri. Mereka enggan menggali konteks, menolak klarifikasi resmi, dan justru memilih untuk menebar asumsi liar demi memantik keributan di ruang publik. Padahal, jika saja mereka sedikit lebih jujur dan obyektif, maka mereka akan melihat bahwa Jokowi tetap menunjukkan rasa hormatnya kepada Polri, bahkan dari kejauhan.
Sebagian pihak mungkin akan bertanya, kenapa Jokowi tidak menunda liburannya satu hari saja demi hadir di Monas? Pertanyaan semacam ini bisa dijawab dengan bertanya balik: apakah ukuran kepedulian seorang Presiden atau mantan Presiden terhadap institusi negara hanya diukur dari kehadiran fisiknya di satu acara seremoni? Bukankah kepedulian lebih bisa diukur dari rekam jejak, kebijakan, dan tindakan nyata selama menjabat? Bukankah selama hampir satu dekade pemerintahannya, Jokowi telah memperlihatkan komitmen kuat terhadap penguatan sektor keamanan nasional, termasuk Polri? Jika demikian, maka ketidakhadirannya sesekali dalam acara resmi bukanlah masalah besar yang patut dibesar-besarkan.
Lebih dari itu, kita perlu memahami bahwa manusia—termasuk Presiden—memiliki batas fisik dan emosional. Setelah lebih dari 10 tahun mengabdikan dirinya dalam tugas negara, apakah salah jika Jokowi mengambil waktu untuk sekadar bersama cucu-cucunya? Bukankah ini justru menunjukkan sisi kemanusiaan dari seorang pemimpin yang selama ini kerap kita puja sebagai pekerja keras yang tak kenal lelah? Di negara yang masih kerap memisahkan antara citra pemimpin dan kehidupan pribadinya, langkah Jokowi untuk memilih quality time bersama keluarga justru menjadi pengingat bahwa di balik jabatannya, ia tetap manusia biasa.
Kita tidak sedang hidup di zaman kerajaan di mana pemimpin harus selalu tampil setiap saat dan menjadi simbol mutlak kekuasaan. Di era demokrasi, pembagian peran dan otonomi kelembagaan adalah hal yang lumrah. Ketika Jokowi memilih untuk tidak hadir, negara tidak lantas bubar. Acara tetap berjalan, institusi tetap berfungsi, dan rakyat tetap mendapatkan pelayanan. Maka, membangun narasi seolah-olah absennya Jokowi adalah “penghinaan” terhadap Polri atau “bukti ketidakharmonisan negara” hanyalah bentuk agitasi politik yang membodohi publik.
Dalam momen seperti ini, yang kita butuhkan bukanlah saling mencurigai atau membesarkan prasangka. Yang kita perlukan adalah kedewasaan dalam memandang realitas, kecermatan dalam mencerna informasi, serta kebesaran hati untuk membiarkan seorang mantan pemimpin menikmati waktu pribadinya bersama keluarga, tanpa harus terus-menerus diseret dalam dinamika politik yang tak pernah habis.
Absennya Jokowi dalam Hari Bhayangkara bukanlah isu besar. Yang berbahaya adalah jika publik terus-menerus diseret dalam pusaran narasi palsu yang dibangun oleh para penggoreng opini dengan niat memperkeruh suasana. Kita harus belajar untuk lebih bijak, lebih rasional, dan lebih manusiawi dalam memandang peristiwa-peristiwa kenegaraan seperti ini. Karena jika tidak, maka kita akan terus menjadi bangsa yang sibuk meributkan hal-hal remeh, sementara masalah besar di depan mata justru terabaikan. (widodo/dp)
Apa Reaksi Anda?






