Forum Purnawirawan Main Api: Seret DPR ke Panggung Pemakzulan Gibran?
Forum Purnawirawan Main Api: Seret DPR ke Panggung Pemakzulan Gibran?

Respon Dasco dan Muzani soal Surat Usulan Pemakzulan Gibran: Manuver Purnawirawan dan Kepentingan Tersembunyi di Balik Drama Konstitusional
detakpolitik.com, JAKARTA - Pada tanggal 2 Juni 2025, Forum Purnawirawan Prajurit TNI mengirimkan surat kepada dua lembaga tinggi negara: DPR dan MPR. Surat itu bukan sekadar penyampaian aspirasi biasa, melainkan sebuah desakan yang mengandung muatan politik tingkat tinggi—pemakzulan Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka. Empat tokoh senior militer, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, membubuhkan tandatangan mereka. Dengan penuh keyakinan, mereka menyuarakan bahwa Gibran tidak layak menjadi Wapres dari sisi kepatutan dan etika. Namun benarkah demikian? Atau ini sekadar panggung baru dari nostalgia kekuasaan yang telah lama berlalu?
Surat itu tiba saat DPR tengah reses. Seolah momentum sudah dipilih, namun harapan mereka agar DPR bergerak cepat ternyata menemui kenyataan yang keras: prosedur tetaplah prosedur. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menanggapi dengan tenang dan hati-hati. Ia menjelaskan bahwa banyak surat masuk ke DPR, terutama dari kelompok yang mengatasnamakan purnawirawan. “Kita mesti sikapi hati-hati dan akan kaji dengan cermat,” kata Dasco, menunjukkan bahwa lembaga parlemen tidak bisa digiring oleh tekanan opini, apalagi oleh suara yang belum tentu mewakili kehendak rakyat secara luas.
Ahmad Muzani, Ketua MPR sekaligus Sekjen Partai Gerindra, bahkan belum menerima laporan dari sekretariat jenderal soal surat itu. Ini menjadi ironi tersendiri: sebuah surat yang diklaim penting dan genting justru belum juga terkonfirmasi di tingkat tertinggi lembaga yang dituju. Muzani menyatakan bahwa ia baru masuk kantor setelah masa reses, dan belum pernah membahas surat itu baik secara pribadi maupun kelembagaan.
Dan di sinilah letak akar dari ironi itu sendiri. Forum Purnawirawan tampak begitu percaya diri mengklaim posisi moral tinggi, seolah mereka adalah penjaga terakhir dari integritas bangsa. Namun pertanyaannya, siapa yang memberi mandat kepada mereka? Siapa pula yang menetapkan mereka sebagai pemilik otoritas moral untuk memvonis seseorang tidak pantas secara etika dan kepatutan? Bukankah rakyatlah yang memilih Gibran bersama Prabowo dalam pemilu yang sah, langsung, bebas, dan rahasia?
Sebagai Wakil Presiden, Gibran bukanlah sosok yang muncul secara instan. Ia melewati jalan politik, melewati debat publik, menjadi sasaran kritik keras, dan berhasil membuktikan diri di panggung nasional. Tudingan tentang “tidak etis” atau “tidak patut” hanyalah tudingan yang menggema tanpa dasar yang konkret. Etika bukan hanya soal usia atau silsilah; ia adalah soal tindakan nyata dan komitmen untuk bekerja demi rakyat.
Forum Purnawirawan harus sadar bahwa mereka bukan lagi aktor negara yang memiliki garis komando. Mereka kini adalah warga sipil yang harus tunduk pada sistem demokrasi. Menggunakan status “purnawirawan” untuk menggiring opini publik demi agenda tertentu adalah bentuk penyalahgunaan simbol kehormatan yang mereka peroleh di masa lalu. Justru dengan bertindak seperti ini, mereka memperlihatkan bahwa mereka belum selesai dengan masa lalu—belum mampu move on dari ilusi kekuasaan yang telah lama sirna.
Kita perlu jujur mengatakan ini: forum-forum seperti itu tidak berbicara untuk TNI secara keseluruhan, apalagi untuk seluruh rakyat Indonesia. Mereka berbicara untuk diri mereka sendiri, untuk rasa frustasi mereka sendiri, dan mungkin untuk agenda tersembunyi yang mereka sendiri pun enggan akui secara terbuka. Mereka menyinggung soal etika, padahal mereka sedang mempertontonkan bentuk etika yang paling rendah: merusak reputasi orang lain hanya karena berbeda pilihan, berbeda generasi, atau berbeda jalur perjuangan.
Kalau benar mereka memperjuangkan keadilan, mestinya mereka hadir membela rakyat kecil yang hak tanahnya dirampas, yang pekerjaannya digusur oleh proyek-proyek besar, yang kesehatannya terancam karena minimnya akses fasilitas. Tetapi tidak. Mereka memilih melayangkan surat ke parlemen, menuntut pemakzulan seorang wakil presiden yang belum genap setahun menjabat, hanya karena ia bernama Gibran.
Dasco dan Muzani menunjukkan sikap yang tepat—dingin, prosedural, dan tidak tergesa. Mereka sadar betul bahwa negara ini tidak bisa berjalan hanya berdasarkan tekanan surat, apalagi jika surat itu dibungkus dengan nostalgia militeristik dan klaim moral sepihak. Negara ini berjalan atas dasar konstitusi, hukum, dan mandat rakyat. Dan selama Gibran tidak melanggar konstitusi atau melakukan pelanggaran berat, maka tidak ada alasan sah untuk menggulingkannya.
Dan publik pun perlu tahu, bahwa mekanisme pemakzulan bukan mainan elite frustrasi. Ia adalah jalan konstitusional yang berat, panjang, dan penuh dengan tahapan hukum. Prosesnya melalui DPR, kemudian Mahkamah Konstitusi, lalu kembali ke MPR. Proses ini tidak bisa dilakukan hanya karena ada empat orang purnawirawan yang merasa “tidak nyaman” dengan kehadiran seorang wakil presiden muda di tampuk kekuasaan.
Gibran adalah produk demokrasi. Apakah ia anak presiden atau bukan, itu tidak menghapus kenyataan bahwa jutaan rakyat Indonesia mencoblos namanya di bilik suara. Itu bukan kebetulan, bukan pula konspirasi. Itu adalah fakta politik yang sah dan legitimate.
Forum Purnawirawan, jika benar mencintai negeri ini, seharusnya membimbing generasi muda, bukan mencemoohnya. Seharusnya mendukung pemimpin baru, bukan menjegalnya dengan surat-surat beraroma kebencian. Seharusnya menjadi pelindung demokrasi, bukan menjadi hantu masa lalu yang datang menyebar ketakutan dan keraguan.
Inilah saatnya mereka bercermin. Saatnya mereka sadar bahwa zaman telah berubah. Negara ini tidak lagi bisa disetir oleh suara-suara dari lorong gelap masa lalu. Pemuda seperti Gibran adalah harapan. Ia belum sempurna, tapi ia juga bukan musuh. Ia bekerja, ia belajar, dan ia berusaha menjadi pemimpin yang membawa negeri ini ke masa depan. Dan itu lebih dari cukup untuk mendapatkan dukungan.
Jadi, kepada Forum Purnawirawan Prajurit TNI: berhentilah bermain api. Demokrasi bukan medan tempur, dan rakyat bukan prajurit yang bisa dikomando. Jika Anda benar peduli pada negara, maka belajarlah untuk percaya pada suara rakyat, bukan hanya suara Anda sendiri.
Pemakzulan bukan solusi. Itu hanya retorika kosong dari orang-orang yang tak sanggup menerima bahwa zaman telah berubah, dan generasi baru telah mengambil alih. (Muzu/dp)
Apa Reaksi Anda?






