“Mutu” yang Membingungkan: Ketika Pendidikan Tinggi Diombang-Ambing Kebijakan Tak Matang.

“Mutu” yang Membingungkan: Ketika Pendidikan Tinggi Diombang-Ambing Kebijakan Tak Matang.

“Mutu” yang Membingungkan: Ketika Pendidikan Tinggi Diombang-Ambing Kebijakan Tak Matang.

Ditulis Hengki Tamando Sihotang  | Peneliti IOCSCIENCE

detakpolitik.com, JAKARTA - Di tengah harapan besar agar perguruan tinggi Indonesia menjadi lokomotif kemajuan bangsa, kita justru menyaksikan sebuah ironi: kampus-kampus kita tidak sedang sibuk berinovasi, tidak sedang fokus membina mahasiswa, melainkan justru sedang jungkir balik menyesuaikan diri dengan perubahan kebijakan yang tak kunjung konsisten dari pemerintah. Jika ada yang disebut sebagai beban sistemik, maka inilah bentuk nyatanya: birokratisasi pendidikan tinggi yang menjerat dosen, membingungkan institusi, dan pada akhirnya mengorbankan mahasiswa.

Hari ini, menjadi dosen bukan lagi sekadar menjadi pendidik dan peneliti. Mereka juga menjadi tukang isi aplikasi. Untuk mengklaim beban kerja dosen (BKD) dan mendapatkan tunjangan kinerja, seorang dosen bisa diwajibkan mengisi lebih dari tiga platform berbeda. Bukan sekali dua kali muncul keluhan bahwa antara satu aplikasi dengan aplikasi lain tidak sinkron, tidak saling membaca, dan seringkali malah tidak berpihak pada realita lapangan. Semua demi ‘administrasi mutu’ yang dalam praktiknya tidak lebih dari akrobat data di balik meja. Tugas mendidik menjadi nomor dua. Yang utama adalah: bagaimana memenuhi indikator-indikator yang berubah-ubah agar tetap dianggap “bermutu”.

Lebih miris lagi ketika melihat dinamika di level kebijakan. Dalam satu periode Presiden saja, kita bisa menyaksikan dua atau tiga pergantian Menteri Pendidikan Tinggi masing-masing membawa “gagasan revolusioner” yang belum tentu selesai dijalankan oleh pendahulunya. Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM), misalnya, belum sepenuhnya membumi di kampus-kampus belum semua dosen terlatih, belum semua kurikulum direvisi, belum semua mitra industri dipetakan sudah digeser dengan narasi baru: Kampus Berdampak. Alih-alih menuntaskan dan memperkuat kebijakan lama, kita terjebak dalam siklus pembaruan yang dangkal dan tambal sulam.

Lebih jauh, kebijakan kurikulum nasional pun nasibnya serupa. Kurikulum 2013 belum rampung diterapkan secara menyeluruh, langsung dihantam oleh paradigma MBKM. Seakan-akan pendidikan kita adalah laboratorium uji coba kebijakan, tempat para pemegang kekuasaan datang membawa konsep, lalu pergi tanpa sempat melihat hasilnya. Dalam dunia profesional, ini disebut inkonsistensi manajerial. Tapi dalam dunia kebijakan, ini entah disebut apa. Mungkin hanya bisa disebut sebagai “asal ganti demi jejak kebijakan”.

Dampaknya sangat nyata. Peraturan Menteri yang mengatur Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNDIKTI) berubah cepat, dan setiap perubahan menyeret seluruh sistem penjaminan mutu untuk kembali menyesuaikan. Institusi yang sedang merancang Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) tiba-tiba harus merombak seluruh format dan indikatornya karena perubahan aturan dari pusat. Tidak ada masa tenang, tidak ada ruang untuk memperkuat sistem. Yang ada hanya lomba menyesuaikan agar tidak dianggap tertinggal.

Dan yang paling menyedihkan adalah kisruh akreditasi. Ketika semua perguruan tinggi belum tuntas menyesuaikan diri dengan sembilan kriteria akreditasi dari LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri), kini tiba-tiba harus bersiap dengan sistem enam kriteria yang baru. Di mana konsistensi? Di mana evaluasi menyeluruh dari sistem lama sebelum memutuskan untuk mengganti? Semua berdalih demi ‘peningkatan mutu’, tapi yang terjadi justru sebaliknya: kegamangan kolektif di tingkat institusi, stres administratif di kalangan dosen, dan kebingungan massal yang pada akhirnya dirasakan mahasiswa.

Mahasiswa datang ke kampus untuk mendapatkan pendidikan yang solid dan relevan. Tapi apa yang mereka terima? Kurikulum yang berubah-ubah. Program yang tak kunjung matang. Dosen yang kelelahan mengurus dokumen administratif. Kegiatan belajar yang penuh formalitas, tapi minim esensi. Jika ini yang disebut “mutu”, maka mutu itu kini berubah menjadi mitos.

Sudah saatnya para pemangku kebijakan di kementerian berhenti memperlakukan pendidikan tinggi sebagai ajang eksperimen politik atau pencitraan individual. Pendidikan tinggi bukan panggung untuk meninggalkan warisan kebijakan jangka pendek. Ia adalah institusi peradaban yang menuntut konsistensi, keberlanjutan, dan keteguhan visi. Jangan jadikan kampus sebagai korban dari nafsu kebijakan yang tidak pernah diuji dampaknya secara menyeluruh. Jangan bebani dosen dengan sistem yang mencekik semangat mengajar. Dan jangan biarkan mahasiswa menjadi penonton kebingungan birokrasi yang tak berkesudahan.

Jika pemerintah sungguh peduli pada mutu, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah sederhana: konsisten. Berikan ruang bagi kampus untuk menata diri, memperkuat sistem, dan menjalankan program secara tuntas. Mutu bukan soal ganti-ganti regulasi. Mutu adalah soal keteguhan dalam menjalankan visi jangka panjang. Dan hingga hari ini, keteguhan itu masih hilang dari peta kebijakan pendidikan tinggi kita. (hengki/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow