Rismon dan Fiksi Penegakan Hukum: Ketika Akal Sehat Dibungkus Ambisi Politik
Rismon dan Fiksi Penegakan Hukum: Ketika Akal Sehat Dibungkus Ambisi Politik

detakpolitik.com, Jakarta - Rismon Sianipar, satu nama yang terus mencoba membajak logika publik lewat narasi bombastis dan absurditas hukum yang dikemas bak pahlawan pembela konstitusi. Ia berdiri di panggung opini, dengan lantang menuntut agar ijazah Presiden Joko Widodo disita oleh penyidik. Bukan diperiksa, bukan diverifikasi ulang, tetapi disita. Sebuah kata yang memiliki makna hukum serius, seolah-olah ada dugaan kuat bahwa barang tersebut adalah hasil kejahatan. Ironisnya, ini datang dari seseorang yang seharusnya paham bahwa proses hukum tidak dibangun dari prasangka, apalagi dari tekanan opini publik yang tidak berakar pada bukti.
Tuntutan Rismon agar ijazah fisik Jokowi disita seperti meminta petir menyambar langit biru yang tak berawan. Ini bukan soal pembuktian hukum, melainkan soal upaya pembunuhan karakter, upaya meruntuhkan fondasi legitimasi seorang presiden dengan metode yang sangat usang: mendaur ulang isu yang telah dipatahkan dengan bukti konkret, data resmi, dan kesaksian akademik yang valid. Apa yang ingin dituju oleh Rismon? Menegakkan hukum, atau menciptakan ilusi seakan dirinya adalah dewa kebenaran yang dikirim untuk menyelamatkan republik dari presiden yang telah dua kali terpilih secara konstitusional?
Kita semua tahu, ijazah Presiden Jokowi telah diperiksa. Universitas Gadjah Mada, lembaga akademik terkemuka yang kredibilitasnya tak perlu diragukan, telah menyatakan keaslian ijazah tersebut. Bareskrim Polri, lembaga penyidik tertinggi dalam konteks pidana nasional, telah melakukan verifikasi langsung, bukan dari fotokopi atau arsip sekunder, melainkan dari catatan primer institusi pendidikan tempat Jokowi menempuh pendidikan. Bahkan pihak kampus telah memberikan testimoni akademik, disertai dengan catatan kelulusan, daftar mata kuliah, dosen pembimbing, hingga arsip nilai. Jadi, pertanyaannya: apa lagi yang dicari Rismon?
Jika Rismon mengatasnamakan keadilan, maka pertanyaan balik harus dilontarkan: keadilan untuk siapa? Apakah untuk rakyat, atau untuk hasrat politik pribadi yang belum tercapai? Karena jika ini adalah urusan rakyat, maka suara rakyat sudah menyatakan bahwa Jokowi sah dan terpilih secara demokratis dalam dua pemilu nasional. Jika ini tentang hukum, maka hukum telah bicara melalui otoritas penyidik dan akademik. Tapi jika ini tentang ambisi, maka kita sedang menyaksikan skenario kelam dari aktor-aktor yang tidak puas karena gagal menundukkan Jokowi lewat jalur demokrasi, dan kini ingin mencabik martabatnya lewat narasi ijazah.
Bayangkan sejenak, bila semua tokoh publik diminta menyerahkan fisik ijazah mereka untuk disita penyidik hanya karena ada orang yang "merasa curiga". Apa yang akan terjadi dengan prinsip praduga tak bersalah? Apakah hukum bisa berjalan berdasarkan tekanan narasi, bukan berdasarkan bukti? Bukankah ini justru cermin dari penyalahgunaan opini publik untuk membenarkan hasrat menjatuhkan seseorang secara politis?
Lebih dari itu, Rismon menunjukkan ketidakkonsistenan fatal. Ia mempertanyakan lokasi pemeriksaan di Mapolresta Solo, bukan di Polda Metro Jaya, seolah ingin mengatur lokasi penyidikan sesuai selera politiknya. Ini menandakan bahwa ia bukan memperjuangkan hukum, tetapi ingin membajak prosedur hukum untuk menciptakan drama publik. Padahal, penyidikan adalah domain institusi penegak hukum, bukan domain orang yang hanya bermodal mikrofon, kamera, dan opini bombastis.
Apa yang dilakukan Rismon juga berbahaya bagi generasi muda. Ia menciptakan kesan bahwa otoritas akademik seperti UGM bisa saja berbohong, bahwa lembaga pendidikan bisa dikompromikan hanya karena seseorang tidak percaya. Jika ini dibiarkan, maka kepercayaan publik terhadap institusi akan runtuh. Rakyat akan selalu curiga terhadap siapa pun yang lulus dari universitas, hanya karena satu dua orang merasa "tidak percaya". Ini bukan sekadar menyerang Jokowi, tapi juga merusak fondasi keilmuan dan kepercayaan publik terhadap pendidikan nasional.
Kita perlu lebih jujur. Ini bukan perdebatan akademik. Ini adalah kampanye politik terselubung. Rismon dan kelompoknya sedang memainkan skenario pengaburan fakta demi membentuk persepsi publik bahwa Jokowi ilegal, bahwa kekuasaannya rapuh, dan bahwa legitimasi pemerintah bisa digoyang lewat isu ijazah. Padahal mereka tahu, bahwa kekuatan Jokowi tak dibangun dari selembar ijazah, tapi dari integritas kerja, kepemimpinan di masa krisis, dan pencapaian nyata selama dua periode kepemimpinan.
Jika Rismon benar-benar peduli pada bangsa ini, maka seharusnya ia mendesak perbaikan sistem pendidikan, bukan memperkarakan ijazah seseorang yang telah dinyatakan sah oleh semua lembaga terkait. Jika dia jujur pada nuraninya, maka seharusnya dia menaruh hormat pada proses hukum yang telah selesai, bukan memutar kembali film lama yang sudah dinyatakan "tidak layak tayang". Tapi sayangnya, yang ia perjuangkan bukan keadilan, melainkan kekacauan yang dibungkus dalam jargon hukum dan kejujuran.
Dan kepada publik, jangan pernah tertipu dengan retorika pseudo-intelektual yang hanya mengandalkan kata-kata tanpa data. Jangan biarkan akal sehat kita disandera oleh suara keras yang sebenarnya kosong substansi. Jangan biarkan orang-orang seperti Rismon meracuni demokrasi dengan ilusi bahwa seolah-olah merekalah satu-satunya penjaga konstitusi. Karena jika kita lengah, maka mereka akan menggunakan keraguan sebagai senjata untuk memecah belah bangsa.
Republik ini berdiri bukan hanya karena hukum, tapi juga karena kepercayaan. Dan jika kepercayaan itu terus digerogoti atas nama ego pribadi dan dendam politik, maka kita semua yang akan menjadi korban. Kita akan hidup dalam dunia di mana siapa pun bisa dicurigai, siapa pun bisa dituduh, dan siapa pun bisa dijatuhkan, hanya karena sekelompok orang gagal menang dalam kompetisi yang sah.
Jadi cukup sudah. Sudah waktunya publik bersuara lebih keras dari mereka yang berteriak tanpa dasar. Sudah waktunya kita melawan balik, bukan dengan kebencian, tapi dengan fakta. Bukan dengan hasutan, tapi dengan akal sehat. Dan kepada Rismon: berhentilah mempermainkan hukum demi ambisi pribadi. Negara ini terlalu berharga untuk dijadikan panggung drama picisan yang menyesatkan publik demi rasa puas sesaat.
Jika engkau benar mencintai republik ini, buktikanlah dengan kerja nyata, bukan dengan membakar kepercayaan publik terhadap presidennya sendiri. Karena sejarah akan mencatat: siapa yang berdiri membela bangsa saat difitnah, dan siapa yang menari di atas kebohongan demi kepentingan pribadi. (joni/dp)
Apa Reaksi Anda?






