Deklarasi 372 Guru Besar Tolak Menkes: Seruan Ilmiah atau Ketakutan Kehilangan Kuasa? Guru Besar atau Hanya Badan Besar saja?
Deklarasi 372 Guru Besar Tolak Menkes: Seruan Ilmiah atau Ketakutan Kehilangan Kuasa? Guru Besar atau Hanya Badan Besar saja?

Deklarasi 372 Guru Besar Tolak Menkes: Seruan Ilmiah atau Ketakutan Kehilangan Kuasa? Guru Besar atau Badan Besar saja?
Penulis Agata Putri Handayani Simbolon | Mahasiswa Fasilkom Universitas Negeri Medan
detakpolitik.com, JAKARTA - Sebanyak 372 guru besar dari fakultas kedokteran yang tersebar di 23 universitas di Indonesia pada tanggal 12 Juni 2025 menyatakan mosi tidak percaya terhadap Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Dalam deklarasi terbuka yang dilakukan secara simbolik di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, para guru besar tersebut menyampaikan kekecewaan mendalam terhadap sejumlah kebijakan Menkes yang dinilai mengancam mutu dan otonomi pendidikan kedokteran nasional. Namun, di balik gempita narasi perlawanan yang mereka bawa, publik berhak bertanya: apakah benar suara ini murni akademis dan demi bangsa, atau justru menjadi tanda bahaya saat jabatan kehormatan digunakan untuk mempertahankan status quo yang selama ini justru menyisakan banyak masalah dalam dunia kesehatan Indonesia?
Deklarasi tersebut menyebutkan bahwa para guru besar tak lagi mampu menaruh kepercayaan kepada Budi Gunadi Sadikin untuk memimpin reformasi dan tata kelola kesehatan nasional. Mereka mengklaim bahwa sejumlah kebijakan Menkes justru mendistorsi sistem pendidikan dokter dan melemahkan institusi akademik. Di antaranya adalah penolakan terhadap pembentukan pendidikan dokter di luar sistem universitas, pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan, pemindahan kolegium di bawah Kemenkes, serta pelatihan dokter umum untuk bisa melakukan tindakan seperti operasi caesar di daerah terpencil.
Namun pertanyaannya sederhana: apakah semua yang dikritik itu adalah bentuk penurunan mutu, atau justru bentuk terobosan untuk menjawab kenyataan pahit yang selama ini tak mampu diselesaikan oleh sistem lama yang dibela para profesor itu?
Mari kita mundur sedikit. Menteri Budi Gunadi Sadikin bukan berasal dari kalangan dokter, bukan pula akademisi kedokteran, tapi rekam jejaknya sebagai profesional dan birokrat terbukti tangguh dan progresif. Ia memimpin sektor kesehatan saat dunia berada dalam krisis terburuk abad ini, pandemi COVID-19. Di masa krusial tersebut, Menkes Budi menunjukkan kepemimpinan berbasis data, teknologi, dan efisiensi sistem. Ia membawa perubahan nyata dalam sistem distribusi vaksin, pelaporan kasus, hingga infrastruktur kesehatan digital. Aplikasi PeduliLindungi, sistem pencatatan vaksinasi, integrasi data pasien, dan percepatan vaksinasi nasional yang sempat menjadi salah satu tercepat di dunia tak lepas dari peranannya. Budi membuktikan bahwa birokrasi kesehatan bisa lebih transparan, lincah, dan berdampak jika dijalankan dengan visi dan keberanian.
Kini ketika beliau ingin memperluas reformasi itu ke sistem pendidikan kedokteran yang selama ini cenderung eksklusif, lamban, dan mahal justru muncul perlawanan dari kalangan yang selama ini menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Ketika Kemenkes ingin menghapus sentimen almamaterisme dalam distribusi dokter, para guru besar menolak. Ketika Kemenkes ingin melatih dokter umum untuk bisa melakukan tindakan darurat seperti operasi caesar di daerah terpencil demi mengatasi kekosongan tenaga spesialis, mereka menuding itu sebagai bentuk pelanggaran etika kedokteran. Lantas, siapa yang akan bertanggung jawab atas ratusan kematian ibu dan bayi di daerah tertinggal setiap tahun karena tidak tersedianya dokter spesialis?
Perlu diketahui, menurut data Kementerian Kesehatan hingga akhir 2024, Indonesia kekurangan lebih dari 30.000 dokter umum dan spesialis, dengan ketimpangan distribusi yang akut. Provinsi seperti Papua, Maluku, dan NTT masih menghadapi kekosongan dokter spesialis kebidanan, bedah, hingga anak. Padahal, jumlah lulusan kedokteran terus meningkat setiap tahun. Masalah utamanya adalah sistem pendidikan dokter spesialis yang terlalu panjang, rumit, dan sangat bergantung pada rumah sakit pendidikan besar di kota-kota besar, yang umumnya berafiliasi dengan fakultas kedokteran tertentu. Akibatnya, lulusan dokter spesialis terpusat di kota besar dan sulit dikirim ke daerah. Sistem lama ini membentuk apa yang disebut oligarki akademik di mana hanya kalangan tertentu yang bisa menentukan siapa boleh jadi spesialis, berapa jumlahnya, dan ke mana mereka boleh ditempatkan.
Ketika Kemenkes ingin memutus rantai oligarki ini dengan menarik fungsi kolegium lembaga yang selama ini mengatur pendidikan dan standarisasi dokter spesialis agar berada di bawah kontrol langsung kementerian, para profesor menyatakan itu ancaman terhadap otonomi akademik. Padahal, dalam praktiknya selama ini, kolegium justru berfungsi semi-eksklusif tanpa mekanisme akuntabilitas publik. Bukankah negara berhak memastikan bahwa kebijakan produksi dan distribusi dokter mengikuti kebutuhan rakyat, bukan hanya kepentingan lembaga pendidikan atau profesi?
Di sinilah publik patut waspada. Jabatan guru besar adalah puncak pengakuan akademik, tetapi bukan tiket kebal dari kritik publik. Ketika gelar akademik tertinggi digunakan untuk mengintervensi kebijakan publik yang progresif dan berbasis kebutuhan rakyat, maka kita harus bertanya: siapa sebenarnya yang sedang dibela?
Jika memang ada aspek yang perlu dikritisi dari kebijakan Menkes, maka jalurnya adalah evaluasi berbasis bukti, bukan deklarasi emosional yang membawa-bawa nama besar institusi dan jumlah dukungan sebagai alat tekan. Demokrasi sehat tidak diukur dari banyaknya tanda tangan atau kehadiran di podium, tetapi dari kualitas argumentasi dan kepentingan siapa yang dibela.
Kritik terhadap pelatihan dokter umum melakukan tindakan operasi di daerah terpencil juga menunjukkan ketidaktahuan atau penolakan terhadap realitas lapangan. Dalam dunia kedokteran internasional, konsep task shifting di mana kompetensi tertentu ditransfer ke tenaga medis dengan pelatihan khusus untuk menjawab krisis sumber daya sudah diterapkan di berbagai negara, termasuk di Afrika, India, bahkan beberapa negara bagian Amerika. Dengan protokol yang ketat dan pengawasan klinis yang tepat, task shifting menyelamatkan nyawa di tempat yang kekurangan tenaga spesialis. Jika Indonesia menolaknya, berarti kita rela membiarkan warga di daerah terpencil meninggal sia-sia hanya demi mempertahankan batasan akademik yang sempit.
Lalu soal rumah sakit pendidikan yang ingin dipisahkan dari dominasi akademik. Ini bukan untuk melemahkan universitas, tetapi untuk membuka peluang agar lebih banyak rumah sakit bisa berperan dalam melatih dokter. Karena faktanya, rumah sakit pendidikan yang dimiliki fakultas kedokteran besar jumlahnya sangat terbatas. Dengan memisahkan fungsi akademik, justru bisa dilakukan standarisasi pendidikan kedokteran secara nasional dengan berbasis outcome dan mutu, bukan hanya siapa yang mengelola rumah sakit itu.
Menkes Budi tidak pernah menunjukkan niat untuk menghilangkan otonomi akademik, tapi ia ingin agar dunia akademik tidak memonopoli kebijakan publik kesehatan. Pendidikan dokter bukan hanya urusan kampus, tapi menyangkut nyawa rakyat Indonesia. Oleh karena itu, negara dalam hal ini Kemenkes berhak mengatur distribusi, kualitas, dan jumlah dokter berdasarkan kebutuhan strategis nasional.
Sayangnya, deklarasi guru besar ini seolah tidak melihat fakta-fakta tersebut. Alih-alih memberi solusi konkret atas krisis distribusi tenaga kesehatan, mereka justru sibuk mempertahankan struktur lama yang selama ini justru menjadi akar masalah. Mereka seolah lupa bahwa saat ini Indonesia sedang berpacu dengan waktu untuk menutup ketimpangan layanan kesehatan antara kota dan desa, antara Jawa dan luar Jawa, antara elite medis dan rakyat kecil.
Guru besar seharusnya menjadi pemikir visioner yang mampu melihat masa depan, bukan sekadar penjaga warisan masa lalu. Jika jabatan akademik tertinggi digunakan untuk menghambat reformasi yang sangat dibutuhkan, maka masyarakat berhak mengkritisi mereka. Bukan berarti mereka tidak boleh bersuara, tetapi mereka harus bersuara dengan tanggung jawab intelektual yang benar tidak emosional, tidak politis, dan tidak defensif terhadap kenyamanan yang mulai terganggu.
Dan mari kita akui, selama ini akses pendidikan dokter sangat tidak merata dan mahal. Hanya kalangan tertentu yang mampu menembusnya. Jika Menkes ingin membuka peluang pendidikan dokter yang lebih inklusif misalnya melalui penyelenggara di luar sistem universitas formal yang tetap diakreditasi dan diawasi ketat bukankah itu sejalan dengan semangat pemerataan?
Menjadi guru besar adalah kehormatan. Tetapi kehormatan itu akan kehilangan maknanya jika digunakan untuk menghalangi upaya negara menyelamatkan nyawa. Jika para profesor ingin didengar, maka mereka harus bersuara dengan tawaran solusi, bukan hanya keluhan dan penolakan. Mereka harus berdiri bersama rakyat, bukan hanya membela status quo yang nyaman bagi segelintir elite medis.
Di akhir pernyataannya, guru besar antropologi hukum UI, Sulistyowati Irianto, menyatakan bahwa kebijakan Menkes kehilangan legitimasi sosial. Tapi kita juga bisa bertanya: apakah pernyataan para guru besar itu mewakili masyarakat luas, atau hanya segelintir elite kampus yang mulai terusik oleh perubahan? Sebab suara rakyat Indonesia bukan hanya bergema di aula Salemba, tapi juga di pelosok desa yang rindu kehadiran dokter. Suara mereka itulah yang mestinya didengar oleh para pembuat kebijakan dan juga oleh para guru besar yang mengklaim berjuang demi kebaikan sistem.
Jika deklarasi ini akan berjilid-jilid, maka biarlah rakyat juga membuat deklarasi tandingan: bahwa reformasi sistem kesehatan tidak boleh disandera oleh ego akademik. Bahwa Menteri Kesehatan yang bekerja untuk rakyat harus dibela. Dan bahwa guru besar pun harus tunduk pada logika moral yang lebih tinggi: keselamatan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(putri/dp)
Apa Reaksi Anda?






