Dulu Fitnah, Teriak, Gantung Jokowi, Tangkap Jokowi! Tapi Pas Dipanggil Polisi Ngaku Peneliti
Dulu Fitnah, Teriak, Gantung Jokowi, Tangkap Jokowi! Tapi Pas Dipanggil Polisi Ngaku Peneliti

detakpoliti.com, JAKARTA - Ada yang menarik dari lembaran muram demokrasi kita belakangan ini. Suara-suara yang dulu lantang, yang menggema dari mimbar ke mimbar, dari kanal YouTube ke ruang-ruang seminar, kini mendadak hilang ditelan ketakutan sendiri. Mereka yang dulu berdiri pongah, dengan dada membusung dan telunjuk menuding ke langit, kini mendadak menjadi makhluk jinak, mengaku bukan siapa-siapa, hanya seorang peneliti, katanya. Ironi yang menyedihkan, tapi sekaligus menggelikan. Mereka yang dulu berani teriak "Tangkap! Tangkap! Tangkap Jokowi sekarang juga!" dan "Gantung! Gantung! Gantung Jokowi sekarang juga!" kini gugup saat dilaporkan balik oleh Presiden sendiri ke Polda Metro Jaya. Dulu seolah siap mati demi keyakinannya, sekarang malah lupa berjamaah dan saling cuci tangan. Itulah wajah sejati para pecundang demokrasi.
Mereka pikir demokrasi adalah tiket gratis untuk menghina kepala negara. Mereka kira kebebasan berpendapat berarti kebebasan untuk menuduh, mencaci, bahkan menghasut pembunuhan. Mereka merasa punya hak absolut untuk menggiring opini, memanipulasi publik dengan narasi busuk penuh kebencian, dan mengatasnamakan kebenaran padahal berlumur fitnah. Namun begitu mereka diseret ke jalur hukum, mendadak ingat Pancasila. Mendadak ingin kembali ke pasal-pasal Konstitusi. Mendadak bicara tentang hak asasi manusia, tentang kebebasan ilmiah, bahkan berlindung di balik gelar akademik yang sebelumnya tidak mereka junjung tinggi. Sungguh, ketidakkonsistenan yang memalukan.
Mari kita ingat kembali: mereka bukan hanya mengkritik. Mereka menyulut. Mereka membakar. Mereka tidak berhenti pada menyampaikan pendapat, tapi menjerumuskan publik ke dalam kebencian akut terhadap simbol negara. Mereka menyerukan penangkapan terhadap Presiden yang sah. Mereka menyerukan hukuman mati secara terang-terangan. Ini bukan kritik. Ini agitasi. Ini propaganda kebencian. Ini pelanggaran nyata terhadap hukum dan norma, dan harus diperlakukan sebagaimana mestinya.
Namun yang terjadi ketika giliran mereka diadukan ke ranah hukum sungguh tragis. Alih-alih mempertahankan keberanian, mereka menari-nari di meja klarifikasi. Dari yang semula berlagak heroik di depan kamera, kini merengek di hadapan penyidik. Dari yang semula memposisikan diri sebagai pejuang rakyat, kini menggantungkan nasib pada simpati netizen dan jargon “kebebasan akademik”. Mereka bahkan saling menyalahkan satu sama lain. Tidak ada lagi semangat solidaritas, tidak ada lagi barisan jamaah yang dahulu kompak menyuarakan “gantung Jokowi sekarang juga.” Yang tersisa hanyalah kegugupan, kepanikan, dan pengingkaran tanggung jawab. Dan inilah definisi sempurna dari seorang pecundang.
Pecundang bukan hanya soal kalah dalam argumen. Pecundang adalah mereka yang tak berani mempertanggungjawabkan kata-katanya sendiri. Pecundang adalah mereka yang membakar rumah orang lain, lalu menangis saat diseret keluar oleh petugas keamanan. Pecundang adalah mereka yang menggiring massa ke jurang konflik, lalu bersembunyi ketika konsekuensi hukum menanti. Pecundang adalah mereka yang mengatasnamakan rakyat tapi tak pernah mendapat mandat apa pun dari rakyat. Pecundang adalah mereka yang pura-pura berani saat dikelilingi sorak sorai, tapi kehilangan nyali saat dihadapkan pada undang-undang.
Dan lebih parahnya, mereka ini bukan orang biasa. Mereka adalah tokoh yang punya gelar, punya kanal komunikasi, punya pengaruh. Beberapa bahkan mengklaim diri sebagai ahli hukum, akademisi, atau pegiat HAM. Tapi ketika mereka menghasut masyarakat untuk menggantung presiden, di mana ilmu mereka disimpan? Saat mereka menyebarkan fitnah tentang ijazah palsu, di mana kaidah akademik yang katanya mereka pegang teguh? Tak ada. Yang tersisa hanya kebencian. Yang mereka semburkan hanyalah dendam yang dibungkus seolah-olah kritik intelektual. Padahal jelas sekali, itu bukan kritik. Itu agitasi bermotif politik picik. Itu bukan suara rakyat, itu suara perut lapar kekuasaan.
Dan rakyat pun melihat semua ini dengan mata terbuka. Tak ada lagi simpati bagi para penghasut yang tiba-tiba menciut. Rakyat tahu membedakan antara kritik konstruktif dan hasutan destruktif. Rakyat mulai muak dengan retorika anti-pemerintah yang hanya menjual ketakutan dan kepalsuan. Rakyat tahu bahwa demokrasi bukan berarti bebas memaki, bebas memfitnah, apalagi bebas mengajak menggantung kepala negara. Demokrasi adalah sistem yang di dalamnya kebebasan bertanggung jawab, kritik dilakukan dengan etika, dan semua orang — tanpa terkecuali — tunduk pada hukum.
Jadi, ketika Presiden Jokowi melaporkan mereka yang melampaui batas, itu bukan ancaman terhadap demokrasi. Itu justru bentuk tanggung jawab seorang pemimpin dalam menegakkan marwah hukum dan menjaga integritas negara. Seorang Presiden bukan boneka yang bisa diteriaki semaunya. Presiden adalah simbol negara, pemimpin yang dipilih oleh rakyat melalui proses sah. Menghasut publik untuk menggantung presiden sama saja dengan menghasut pemberontakan terhadap negara. Ini bukan soal pribadi. Ini soal kelangsungan hukum dan moral bangsa.
Lucunya lagi, saat laporan polisi itu menjadi kenyataan, para penghasut ini mulai bersembunyi di balik jargon ilmiah. Ada yang mengaku hanya melakukan penelitian. Ada yang mengaku hanya menyampaikan opini dari sudut pandang akademik. Mereka lupa, video mereka beredar luas, rekaman mereka menyuarakan kebencian terpublikasi secara terbuka. Tidak ada unsur ilmiah dalam ajakan membunuh. Tidak ada nilai akademik dalam hasutan menggantung. Yang ada hanyalah ekspresi amarah yang dibungkus dengan bendera palsu bernama kebebasan berpendapat.
Para pecundang ini sekarang berdiri di ambang kebingungan. Mereka yang selama ini menjadi orator tanpa batas, kini menjadi terdakwa yang sibuk mencari celah hukum. Mereka lupa bahwa publik tidak bodoh. Publik tahu bahwa ketulusan dan keberanian diuji bukan ketika semua mendukungmu, tapi ketika kau harus mempertanggungjawabkan kata-katamu sendiri. Dan mereka gagal dalam ujian itu. Gagal total. Mereka lari. Mereka berdalih. Mereka melempar tanggung jawab ke kanan dan kiri. Dan itulah akhir dari semua drama heroik palsu mereka: kehancuran yang datang bukan karena ditekan pemerintah, tapi karena kegagalan moral mereka sendiri.
Akhirnya, sejarah akan mencatat. Bahwa di era ini, ada sekelompok orang yang mengaku pembela kebenaran, tapi gemetar ketika dihadapkan pada hukum. Ada sekelompok tokoh yang berteriak lantang menyerukan kematian presiden, tapi lari bersembunyi saat pintu keadilan diketuk. Ada sekelompok penuduh yang lupa berjamaah saat giliran mereka yang dituduh. Ada para peneliti yang mendadak amnesia atas risetnya sendiri. Dan kepada mereka semua, sejarah hanya akan menuliskan satu kata: pecundang.
Demokrasi tidak butuh pecundang. Demokrasi butuh orang-orang yang berani berkata benar dan siap bertanggung jawab. Bukan mereka yang hanya pintar bersuara ketika tak ada resiko, lalu kabur saat resiko itu datang menuntut harga. Rakyat kini makin cerdas. Mereka tahu siapa pejuang sejati, dan siapa tukang hasut yang hanya ingin memecah belah bangsa. Dan pada akhirnya, hanya mereka yang setia pada kebenaran, yang berani bersikap dengan akhlak, dan yang tak lari dari tanggung jawab — yang akan dikenang dan dihormati oleh sejarah.
(putri/dp)
Apa Reaksi Anda?






