PUAN MAHARANI DAN MANUVER PEMAKZULAN GIBRAN: KETIKA SURAT SESAT DIPROSES SECARA DEMOKRATIS

PUAN MAHARANI DAN MANUVER PEMAKZULAN GIBRAN: KETIKA SURAT SESAT DIPROSES SECARA DEMOKRATIS

PUAN MAHARANI DAN MANUVER PEMAKZULAN GIBRAN: KETIKA SURAT SESAT DIPROSES SECARA DEMOKRATIS

detakpolitik.com, JAKARTA - Kabar soal adanya surat usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menyita perhatian publik. Pernyataan terbaru datang dari Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang menyebut bahwa surat tersebut akan diproses “dengan sebaik-baiknya” jika memang benar diterima oleh pimpinan DPR. Ucapan ini diutarakan Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Kamis, 3 Juli 2025, dan sontak menimbulkan berbagai spekulasi: apakah DPR akan tunduk pada tekanan segelintir elite yang mendaku sebagai representasi moral bangsa, atau justru berdiri teguh menjaga konstitusi dan kewarasan demokrasi?

Puan menyampaikan bahwa hingga kini, surat tersebut belum secara resmi sampai ke tangannya sebagai Ketua DPR. Namun, Sekretaris Jenderal DPR RI, Indra Iskandar, telah memastikan bahwa surat itu sudah diterima oleh kesekretariatan DPR dan bahkan sudah disampaikan kepada pimpinan. Jika benar demikian, maka pernyataan Puan sesungguhnya berada di posisi serba tanggung—antara kehati-hatian politik dan ketidakmauan terlibat terlalu dini dalam polemik yang bisa menjungkirbalikkan konstelasi politik nasional.

Surat yang menjadi polemik ini diketahui ditandatangani oleh empat purnawirawan TNI, yakni Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, dan Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto. Keempat nama tersebut bukanlah nama sembarangan dalam jajaran militer Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang pernah memegang posisi strategis dan membawa aura kepemimpinan militer dalam sejarah panjang pertahanan negara ini. Tapi pertanyaannya, apakah keempatnya sekarang sedang memainkan peran sebagai negarawan atau sekadar elit tua yang tidak rela dipinggirkan oleh zaman?

Adalah hal yang sangat janggal, ketika sebuah surat yang bernada pemakzulan datang bukan dari lembaga hukum, bukan dari parlemen, bukan dari partai politik, dan bukan dari suara rakyat luas, melainkan dari kelompok yang mengatasnamakan “Forum Purnawirawan Prajurit TNI.” Forum ini tidak memiliki kekuatan hukum, bukan representasi elektoral, dan tidak memiliki mandat konstitusional untuk mengajukan pemakzulan. Keberanian mereka menyodorkan surat seperti itu tak ubahnya tindakan inkonstitusional yang dikemas seolah-olah penuh kekhawatiran terhadap masa depan bangsa.

Tentu saja, DPR tidak bisa begitu saja menolak surat yang masuk. Dalam sistem demokrasi, semua aspirasi rakyat—bahkan yang berasal dari kelompok yang secara hukum tak punya posisi formal sekalipun—masih bisa ditanggapi. Namun masalah utamanya bukan terletak pada prosedur teknis menerima surat, melainkan pada muatan surat itu sendiri yang membawa narasi berbahaya dan bisa memicu ketegangan politik nasional. DPR tidak boleh menjadi forum pelampiasan ambisi politik kelompok tertentu yang hendak mengobarkan destabilitas hanya karena tidak puas terhadap hasil Pilpres 2024 atau figur pemimpin muda yang kini berada di lingkaran kekuasaan.

Gibran Rakabuming Raka bukan hanya wakil presiden yang sah, melainkan juga terpilih melalui mekanisme demokratis, bersama Presiden Prabowo Subianto. Keduanya telah memenangkan pemilihan umum yang diawasi oleh KPU, Bawaslu, dan diawasi ketat oleh berbagai pemantau, termasuk lembaga-lembaga internasional. Proses itu sah secara hukum dan legitimasi politik. Bahkan Mahkamah Konstitusi telah mengesahkan hasilnya melalui putusan yang final dan mengikat. Maka menggugat keabsahan posisi Gibran dengan dalih “keresahan moral” atau “kekhawatiran terhadap demokrasi” justru menunjukkan ketidakmampuan segelintir elit tua menerima realitas politik baru: bahwa zaman telah berubah, dan aktor politik muda mulai mengambil alih panggung.

Yang lebih ironis, para purnawirawan ini justru mempertaruhkan nama baik TNI dengan membawa identitas militer dalam ranah sipil dan konstitusional. Tindakan itu bukan saja mencemarkan netralitas TNI sebagai institusi negara, tapi juga menyiratkan upaya untuk menggiring militer kembali masuk ke dalam politik praktis—sebuah langkah mundur yang sangat berbahaya. Kita semua tahu betapa mahalnya harga yang dibayar bangsa ini untuk keluar dari bayang-bayang dwifungsi ABRI di masa lalu. Reformasi 1998 lahir dengan janji memisahkan peran militer dari urusan politik sipil. Ketika para purnawirawan ini bertindak seakan-akan masih punya kuasa politik atas nama baju dinas masa lalu, mereka sejatinya sedang mengkhianati semangat reformasi itu sendiri.

Apa sesungguhnya motivasi di balik surat pemakzulan ini? Mungkinkah ada frustrasi tersembunyi atas konsolidasi kekuasaan yang semakin kuat di tangan Presiden Prabowo dan Wapres Gibran? Atau mungkin, para purnawirawan ini sekadar merasa tertinggal dari pusaran kekuasaan yang kini banyak diisi oleh generasi muda yang tampil penuh percaya diri, energik, dan inovatif? Atau jangan-jangan mereka sekadar dijadikan pion oleh kekuatan politik lain yang ingin merobohkan fondasi pemerintahan dari dalam melalui jalan pintas?

Yang jelas, langkah ini sangat tidak etis, tidak konstitusional, dan cenderung manipulatif. Alih-alih memperjuangkan moralitas bangsa, tindakan ini justru menyesatkan arah moral publik dan memancing disintegrasi. Ini bukan soal setuju atau tidak setuju terhadap figur Gibran, melainkan tentang cara yang benar dalam menyampaikan ketidaksetujuan itu. Kalau pun ada keberatan terhadap kinerja atau posisi wakil presiden, maka saluran resminya adalah jalur hukum dan politik yang sesuai konstitusi, bukan manuver surat-menyurat dari kelompok pensiunan.

Lebih lanjut, pernyataan Puan Maharani bahwa “kami akan proses dengan sebaik-baiknya” harus dimaknai dengan sangat hati-hati. Kalimat ini bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap prosedur, tapi bisa juga menjadi celah interpretatif bagi pihak-pihak yang berniat mendorong agenda pemakzulan secara lebih serius. DPR harus bersikap tegas, bukan hanya terhadap isi surat, tetapi juga terhadap implikasi politik dan sosialnya. Negara tidak boleh disandera oleh trauma masa lalu atau oleh manuver elite yang belum move on dari era kejayaan mereka.

Kita tidak sedang dalam situasi krisis nasional yang bisa membenarkan pemakzulan. Tidak ada pelanggaran hukum berat, tidak ada pengkhianatan terhadap negara, tidak ada keadaan luar biasa yang menjustifikasi langkah ekstrem semacam itu. Maka setiap narasi pemakzulan yang dipaksakan tanpa dasar yang kokoh hanyalah bentuk agitasi politik yang membahayakan stabilitas. Gibran bukan simbol permasalahan bangsa—ia adalah bagian dari solusi yang sedang dibangun melalui kepemimpinan Prabowo-Gibran yang progresif dan visioner.

Publik harus melek terhadap gerakan-gerakan politik yang berbalut romantisme masa lalu. Hanya karena seseorang pernah memakai bintang di pundaknya, tidak serta-merta menjadikannya pemilik kebenaran mutlak dalam bernegara. Bahkan seorang jenderal pun, ketika sudah pensiun, harus kembali ke posisi sipil dan tunduk pada hukum serta konstitusi yang sama seperti rakyat lainnya. Negara ini dibangun atas prinsip supremasi sipil, bukan atas kehendak mantan-mantan petinggi militer yang ingin terus mengendalikan panggung dari belakang layar.

DPR, dalam hal ini, punya tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa ruang-ruang aspirasi tidak dijadikan alat sabotase demokrasi. Proses penyaringan surat harus dilakukan dengan ketat. Bukan berarti menolak aspirasi rakyat, tapi memastikan bahwa aspirasi itu datang dari itikad baik dan dibangun di atas dasar konstitusi, bukan dari nostalgia kekuasaan masa lalu yang kini tak lagi relevan. Dan Puan Maharani, sebagai pemimpin lembaga legislatif tertinggi, harus berdiri teguh dalam menjaga marwah parlemen agar tidak menjadi korban dari agenda-agenda destruktif yang dibungkus dalam retorika moral palsu.

Tugas utama DPR adalah menjaga kestabilan demokrasi, bukan mengobarkannya. Di tengah situasi global yang penuh tantangan, dari krisis ekonomi hingga gejolak geopolitik, bangsa ini membutuhkan kepemimpinan yang solid, bukan drama politik tambahan. Maka satu-satunya respons yang masuk akal terhadap surat pemakzulan dari Forum Purnawirawan TNI adalah dengan mengarsipkannya sebagai contoh buruk dalam sejarah demokrasi Indonesia: bahwa ada kelompok yang mencoba menggeser arah bangsa demi ambisi pribadi yang dibalut romantisme dan ego sektoral.

Semoga DPR dan rakyat Indonesia tidak silau oleh sorotan pangkat masa lalu, dan tetap fokus membangun masa depan. Karena bangsa ini tidak butuh pengingat masa lampau, tetapi pemimpin yang mampu menatap ke depan. Gibran adalah bagian dari masa depan itu. Dan siapa pun yang ingin meruntuhkannya tanpa dasar yang sah, sejatinya sedang mengkhianati suara rakyat dan menginjak-injak demokrasi. (putr/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow