FORUM PURNAWIRAWAN TNI TERPECAH: DRAMA POLITIK PEMAKZULAN GIBRAN YANG MENCUATKAN AMBISI, BUKAN KONSTITUSI
FORUM PURNAWIRAWAN TNI TERPECAH: DRAMA POLITIK PEMAKZULAN GIBRAN YANG MENCUATKAN AMBISI, BUKAN KONSTITUSI
detakpolitik.com, JAKARTA - Dalam dinamika politik Indonesia yang terus bergerak laksana gelombang laut yang tak pernah diam, Forum Purnawirawan TNI kembali membuat manuver yang mengguncang publik. Bertempat di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada Rabu, 2 Juli 2025, mereka menggelar jumpa pers yang menyampaikan petisi delapan tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto, termasuk di dalamnya desakan untuk memakzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Namun sorotan tajam tak hanya tertuju pada isi tuntutan mereka, melainkan juga pada absennya sosok sentral dan simbolik dalam tubuh purnawirawan: Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno. Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia sekaligus mantan Panglima ABRI itu ternyata tidak dilibatkan dalam konferensi pers tersebut. Padahal, namanya disebut-sebut ikut dibubuhkan dalam petisi yang menuntut pemakzulan.
Pertanyaannya sederhana namun menggelitik: mengapa seorang tokoh sekaliber Try Sutrisno tidak diajak bicara langsung dalam forum penting tersebut? Jawaban dari Jenderal Fachrul Razi pun terdengar gamang dan berlapis: “Pak Try sejalan dengan kami, tetapi saya tidak mau mengajak beliau jadi bagian dari tim.” Sebuah pernyataan yang, jika ditelaah lebih dalam, memperlihatkan adanya perpecahan yang nyata namun coba ditutupi dengan kalimat basa-basi.
Try Sutrisno bukan sekadar simbol purnawirawan. Ia adalah representasi dari generasi yang dulu memegang teguh disiplin, hirarki, dan integritas militer yang berakar kuat dalam kepentingan bangsa, bukan faksi. Ketidakhadirannya, apalagi jika disengaja, patut dibaca sebagai sinyal bahwa forum purnawirawan kali ini tidak utuh dalam niat dan konsensus. Ketika yang dituakan tidak dilibatkan dalam gerakan besar seperti pemakzulan, maka patut dipertanyakan, siapa yang benar-benar berada di belakang layar? Apa motivasi sebenarnya dari gerakan ini?
Klaim bahwa Gibran harus dimakzulkan demi “menyelamatkan bangsa” terdengar nyaring, bahkan dramatis. Fachrul Razi sampai menyebut bahwa jika Prabowo berhalangan tetap, dan digantikan oleh Gibran, maka akan jadi "bencana nasional". Ini adalah framing yang tidak hanya tendensius, tetapi juga melecehkan konstitusi yang mereka jadikan dalih. Karena sesungguhnya, konstitusi tidak mengenal istilah “calon pemimpin yang tidak pantas karena umur atau silsilah”. Konstitusi bicara soal legitimasi, suara rakyat, dan prosedur hukum yang sah.
Menariknya, forum ini menyebut Pasal 7A UUD 1945 sebagai dasar tuntutan pemakzulan, tetapi tak satu pun dalam pernyataan mereka yang menguraikan secara hukum pelanggaran berat apa yang telah dilakukan Gibran. Dugaan korupsi disebut secara sepihak tanpa bukti. Bahkan Fachrul menyebut Gibran sebagai “tamatan SMP yang nggak jelas ilmunya”. Ungkapan itu tak hanya menghina personal, tapi juga menunjukkan kualitas argumen yang lebih menyerupai propaganda politik murahan ketimbang telaah hukum atau konstitusional.
Adanya kehadiran tokoh-tokoh sipil seperti Eros Djarot, Abraham Samad, Refly Harun, Musdah Mulia, dan Said Didu juga mempertegas bahwa forum ini bukan lagi sekadar forum purnawirawan TNI. Ini sudah menjadi gerbong politik baru yang ingin mendorong narasi tertentu atas nama rakyat—tanpa mandat rakyat. Mereka mencatut kegelisahan nasional, lalu menjadikannya alat untuk menekan parlemen dan pemerintah.
Namun tekanan yang mereka lakukan kini mulai kehilangan tajinya. Salah satunya karena perpecahan di internal mereka sendiri makin terlihat. Ketidakhadiran Try Sutrisno, yang seharusnya menjadi “wajah moral” dari gerakan ini, telah membuka ruang tafsir yang luas: ada ketidaksepakatan di tubuh para purnawirawan. Boleh jadi, ada purnawirawan senior lain yang diam-diam juga tidak sepakat dengan pemakzulan Gibran, tapi memilih diam untuk menjaga kohesi organisasi. Dan jika ini benar, maka gerakan ini bukan lagi representasi dari Forum Purnawirawan secara keseluruhan, melainkan hanya fraksi kecil yang punya ambisi besar.
Dalam dunia militer, tidak semua jenderal selalu satu suara. Dalam sejarahnya, banyak pula purnawirawan yang kemudian terlibat politik praktis dan membawa institusi lamanya sebagai tameng legitimasi. Namun publik kini semakin cerdas membedakan antara perjuangan moral dan manuver politik. Mereka tahu bahwa menyebut pemakzulan atas dasar kekhawatiran “apa jadinya kalau Gibran jadi presiden” adalah bentuk spekulasi politik, bukan pelanggaran hukum. Bahkan, argumen seperti ini lebih cocok dibicarakan dalam ruang debat publik atau diskusi partai politik, bukan dijadikan senjata untuk menekan DPR.
Lebih jauh lagi, kekecewaan forum ini terhadap DPR dan MPR karena tidak menggubris surat mereka juga mencerminkan ekspektasi yang berlebihan terhadap proses kenegaraan. Mereka ingin dihormati, itu jelas. Tapi apakah mereka juga menghormati mekanisme kerja parlemen? Jika surat mereka tidak dijawab dalam waktu yang mereka harapkan, apakah itu serta-merta bentuk “ketidaksopanan”? Bukankah parlemen juga harus mempertimbangkan seluruh dinamika nasional sebelum merespons desakan sepihak?
Kemarahan mereka karena DPR tidak segera memproses pemakzulan justru memperlihatkan keinginan mereka agar proses politik tunduk pada tekanan, bukan hukum. Mereka ingin “dilayani”, bukan diuji. Ini bukan cara demokrasi bekerja. Dalam demokrasi, semua klaim harus diuji, ditelusuri, dan dibuktikan. Apalagi jika menyangkut pemakzulan seorang pejabat negara.
Menggambarkan Gibran sebagai “SMP tak jelas” juga memperlihatkan betapa elitisme pendidikan masih menjadi senjata untuk merendahkan. Padahal, fakta menunjukkan Gibran memiliki gelar resmi dari institusi luar negeri. Menyebutnya tidak layak hanya karena usia atau persepsi personal jelas tidak berdasar, bahkan bisa dikategorikan sebagai serangan ad hominem.
Lebih dari itu, cara forum ini memosisikan diri mereka seolah sebagai penyelamat bangsa justru bisa berbalik menjadi bumerang. Sebab rakyat bisa bertanya, siapa yang memberi mandat kepada mereka? Apakah mereka mewakili semua purnawirawan? Ataukah hanya mewakili lingkaran terbatas yang memiliki kepentingan tersendiri terhadap masa depan politik nasional?
Dan di sinilah letak titik krusialnya. Publik makin sadar bahwa pemakzulan bukan semata soal legalitas. Ia adalah soal stabilitas, kontinuitas, dan kredibilitas negara. Jika forum purnawirawan ingin benar-benar didengar, mereka harus menyodorkan bukti, bukan hanya opini. Harus menyodorkan niat luhur, bukan ambisi terselubung. Dan yang terpenting, mereka harus menyatukan dulu suara mereka sendiri sebelum berusaha memakzulkan orang lain.
Kini, ketika suara-suara yang dulu digdaya di medan perang mulai pecah di medan politik, rakyat melihat semuanya dengan kaca pembesar. Mereka tak mudah dibuai jargon “cinta bangsa”, jika itu hanya kedok untuk ambisi. Perpecahan dalam forum purnawirawan adalah cermin bahwa di balik seruan keras, ada kegamangan dan ketidaksepakatan. Dan dalam dunia politik, kegamangan itu bisa menjadi lubang yang menghancurkan kredibilitas mereka sendiri.
Jika mereka tak segera menyadari hal ini, maka sejarah akan mencatat forum ini bukan sebagai penyelamat negara, melainkan sebagai aktor dalam panggung sandiwara kekuasaan yang gagal memahami ruh demokrasi dan tata kenegaraan. Dan ketika semua telah menjadi terang, rakyat akan memilih berpihak pada yang konsisten, bukan yang gaduh. Pada yang punya integritas, bukan yang haus kekuasaan. (JON/DP)
Apa Reaksi Anda?






