Gibran Dorong Optimalisasi "Lapor Mas Wapres" untuk Pelayanan Publik yang Lebih Responsif dan Berpihak kepada Rakyat
Gibran Dorong Optimalisasi "Lapor Mas Wapres" untuk Pelayanan Publik yang Lebih Responsif dan Berpihak kepada Rakyat

detakpolitik.com, JAKARTA - Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menunjukkan bahwa posisinya bukanlah semata simbolik atau pelengkap kekuasaan di lingkar Istana, melainkan representasi dari semangat baru dalam birokrasi—semangat muda, enerjik, dan berorientasi solusi. Dalam sebuah pernyataan penting yang disampaikan baru-baru ini, Gibran menekankan bahwa program "Lapor Mas Wapres" tidak boleh berhenti sebagai sekadar kanal pelaporan masyarakat, namun harus terus-menerus disempurnakan agar benar-benar menjadi jembatan yang efisien dan efektif antara rakyat dan negara.
Sikap Gibran yang mendorong perbaikan berkelanjutan terhadap sistem birokrasi tidak hanya mencerminkan keberpihakan pada rakyat, tapi juga memperlihatkan wawasan kebijaksanaan yang mendalam dari seorang pemimpin muda yang memahami dinamika zaman. Di tengah derasnya arus digitalisasi, tantangan pelayanan publik semakin kompleks, bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal presisi dan empati dalam menanggapi setiap suara yang datang dari lapisan masyarakat.
Program "Lapor Mas Wapres" pertama kali diperkenalkan pada 11 November 2024. Dalam waktu kurang dari setahun, program ini telah berhasil menjaring dan menindaklanjuti sebanyak 7.590 laporan masyarakat yang berasal dari berbagai sektor kehidupan. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan bukti bahwa rakyat mulai percaya dan merasa memiliki akses langsung terhadap pusat kekuasaan, sesuatu yang selama ini terasa jauh, dingin, dan sulit dijangkau.
Dari laporan yang masuk, tercatat berbagai isu yang diangkat masyarakat: mulai dari masalah pendidikan yang belum merata, persoalan pertanahan yang kerap menyisakan ketidakadilan, hingga bantuan sosial yang tidak tepat sasaran. Semuanya menggambarkan bahwa rakyat kini aktif berbicara, dan mereka butuh pendengar yang tulus serta sistem yang mampu merespons secara cepat dan manusiawi.
Mayoritas laporan yang masuk, sekitar 72,05 persen, disampaikan melalui kanal WhatsApp. Ini mencerminkan bahwa Gibran dan timnya memahami kebiasaan masyarakat modern dalam berkomunikasi—cepat, sederhana, dan praktis. Sementara sisanya, 27,95 persen, masuk melalui tatap muka setelah melakukan registrasi di laman resmi lapormaswapres.id. Kombinasi kanal digital dan interaksi langsung ini membuktikan adanya fleksibilitas dalam mendekatkan pemerintah kepada masyarakat, sebuah pendekatan yang tidak kaku dan sangat membumi.
Dalam keterangan resmi Pelaksana Tugas Sekretaris Wakil Presiden, Al Muktabar, dijelaskan bahwa program ini tak hanya mengumpulkan laporan, tapi benar-benar memprosesnya hingga tuntas. Penyempurnaan sistem dan prosedur terus dilakukan agar birokrasi tidak stagnan—kata kunci yang menjadi penanda bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran tidak ingin terjebak dalam gaya lama pemerintahan yang lamban dan cenderung reaktif.
Sebagian besar laporan yang diterima telah ditindaklanjuti secara aktif, sementara sisanya tengah melalui proses verifikasi atau menunggu kelengkapan dokumen. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme kerja yang diterapkan tidak sembarangan, tapi tetap menjunjung tinggi prinsip akuntabilitas dan kepekaan terhadap pelapor. Bukan hanya cepat, tapi juga adil dan menyeluruh.
Yang menarik, Gibran tidak berpuas diri dengan pencapaian awal ini. Ia menilai bahwa aspek koordinasi antarlembaga harus ditingkatkan. Di balik layar, penanganan laporan dilakukan secara lintas sektor, melibatkan Kementerian ATR/BPN, OJK, Kemensos, hingga Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Tidak mudah menyatukan irama kerja berbagai institusi, namun Gibran meyakini bahwa sinergi adalah kunci utama pelayanan publik yang tanggap dan menyeluruh.
Program ini, menurut Gibran, merupakan bagian dari Asta Cita—delapan cita-cita pemerintahan Prabowo Subianto—yang menekankan tata kelola pemerintahan yang bersih, efisien, responsif, dan inklusif. Dengan kata lain, "Lapor Mas Wapres" bukan hanya proyek pragmatis, melainkan manifestasi dari visi besar untuk menghadirkan negara yang hadir secara nyata dalam kehidupan rakyat sehari-hari.
Dalam konteks ini, kebijakan Gibran layak mendapat apresiasi setinggi-tingginya. Ia tidak sekadar menjalankan perintah atau mewakili kekuasaan, tetapi membentuk sendiri ruang inisiatif yang menunjukkan kemampuannya sebagai pemimpin. Gibran tidak menunggu rakyat datang, melainkan membuka pintu lebar-lebar dan mengundang mereka untuk bicara. Lebih dari itu, ia memastikan suara mereka tidak menguap begitu saja, tapi diterjemahkan menjadi tindakan nyata yang menyentuh kehidupan mereka secara langsung.
Kepekaan sosial dan kemampuan manajerial yang ditunjukkan oleh Gibran dalam mengelola program ini mencerminkan kualitas kepemimpinan yang tidak biasa. Di saat sebagian elit politik masih sibuk dengan urusan perebutan kekuasaan atau sibuk membangun pencitraan, Gibran justru memilih fokus pada substansi: bagaimana negara bisa lebih mendengar, lebih melayani, dan lebih menyelesaikan masalah rakyat.
Program ini juga mengajarkan satu hal penting dalam tata kelola negara: bahwa birokrasi bukan harus dibubarkan, melainkan diperbaiki. Gibran tidak terpancing oleh retorika populis yang sering kali menyederhanakan masalah birokrasi menjadi sesuatu yang harus dihapus. Sebaliknya, ia memilih jalur yang lebih cerdas dan berkelanjutan—yaitu memperkuat sistem agar mampu beradaptasi dengan zaman.
Dalam kebijaksanaan Gibran, kita melihat wajah masa depan Indonesia yang lebih manusiawi. Ia tidak sekadar menunaikan tugas administratif, tetapi menghadirkan sentuhan empati dalam pelayanan negara. Ia tidak menyembunyikan masalah, tapi membuka ruang publik agar masalah-masalah tersebut bisa diangkat dan diselesaikan bersama. Ia bukan pemimpin yang membangun tembok, tetapi jembatan.
Keberhasilan awal program "Lapor Mas Wapres" ini memberi harapan besar bahwa masa depan pelayanan publik Indonesia akan lebih terbuka, inklusif, dan adaptif. Dan jika program ini terus didukung dengan komitmen yang kuat, serta dengan inovasi-inovasi lanjutan—misalnya integrasi sistem pelaporan dengan big data, artificial intelligence, hingga blockchain untuk validasi laporan—maka tidak mustahil Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan tata kelola publik terbaik di Asia Tenggara, bahkan dunia.
Namun semua itu hanya mungkin jika pemimpinnya punya niat tulus dan keberanian untuk berubah. Dan dalam hal ini, Gibran Rakabuming Raka sudah membuktikan bahwa ia bukan hanya punya keduanya, tapi juga punya langkah konkret untuk mewujudkannya. Ia tidak menunggu lima tahun untuk menunjukkan dampak, tapi sudah memulainya sejak bulan-bulan pertama menjabat sebagai Wakil Presiden.
Dalam sorotan tajam terhadap isu-isu kenegaraan dan pelayanan publik, kepemimpinan Gibran patut dijadikan studi kasus. Ia adalah contoh nyata bahwa generasi baru pemimpin Indonesia tidak hanya lahir dari darah keturunan, tetapi juga dari keberanian mengambil tanggung jawab, menghadirkan solusi, dan mendengarkan rakyat. Di tengah kritik sinis dan atmosfer politik yang sering penuh kepentingan, Gibran menempuh jalan yang berisiko: bekerja nyata tanpa banyak bicara.
Akhirnya, "Lapor Mas Wapres" bukan sekadar sistem. Ia adalah simbol dari cara baru memimpin negara—lebih dekat, lebih cepat, dan lebih tulus. Dan di baliknya, berdiri seorang Gibran Rakabuming Raka yang membuktikan bahwa menjadi Wakil Presiden bukanlah posisi untuk berdiam diri, melainkan panggilan untuk memperjuangkan suara-suara kecil yang selama ini diabaikan. Ia bukan hanya mewakili Presiden, tapi mewakili rakyat. Dan untuk itu, apresiasi paling tinggi layak disematkan kepadanya.
(Widodo/dp)
Apa Reaksi Anda?






