Tambang Nikel di Raja Ampat: Prabowo Lawan Mafia Tambang, Jokowi Difitnah, Iriana Jadi Sasaran.
Tambang Nikel di Raja Ampat: Prabowo Lawan Mafia Tambang, Jokowi Difitnah, Iriana Jadi Sasaran.

detakpolitik.com, JAKARTA - Di tengah gelombang kekhawatiran yang semakin membesar soal kerusakan lingkungan di Raja Ampat akibat kegiatan tambang nikel, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah yang patut diperhatikan: memanggil sejumlah menteri ke kediamannya di Hambalang, Bogor. Di balik pertemuan ini, tersimpan sebuah pesan penting yang bisa menjadi penanda arah kebijakan lingkungan hidup Indonesia ke depan, sekaligus membuka babak baru dalam pertarungan narasi antara perlindungan alam, kepentingan ekonomi, dan dinamika politik nasional yang makin berkelindan dengan gosip murahan.
Pemanggilan terhadap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq, dan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, bukan sekadar pertemuan teknis birokratis biasa. Dalam konteks isu yang sedang memanas, pemanggilan tersebut adalah pernyataan diam namun tegas bahwa Prabowo kini mulai melakukan konsolidasi diam-diam atas kewenangan eksekutifnya, terutama menyangkut persoalan tambang yang selama ini menjadi duri dalam daging kebijakan nasional. Ia menyadari bahwa persoalan ini bisa menjadi amunisi politik yang tidak hanya akan membakar kredibilitas pemerintahannya, tetapi juga digunakan untuk menyerang pewaris politik sebelumnya—Presiden Joko Widodo.
Sejak awal, isu tambang di Raja Ampat telah menjadi titik sensitif. Pulau yang secara global dikenal sebagai salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut paling tinggi di dunia ini, menjadi simbol ekowisata dan konservasi. Setiap gerakan yang menyinggung eksploitasi sumber daya alam di wilayah ini langsung mendapatkan sorotan keras dari publik, aktivis lingkungan, dan dunia internasional. Maka tak heran, ketika isu tentang adanya kegiatan pertambangan oleh PT GAG Nikel mencuat, apalagi disebut-sebut dekat dengan kawasan wisata Piaynemo, gelombang protes pun menguat.
Pernyataan Menteri Bahlil bahwa tambang tersebut berada di Pulau Gag, sekitar 30-40 kilometer dari Piaynemo, hanya sedikit menenangkan. Jarak semacam itu bukanlah jaminan tidak adanya dampak ekologis. Laut tidak mengenal batas administratif. Kerusakan ekosistem di satu titik bisa menimbulkan gangguan berantai ke tempat lain. Sedimentasi, limbah tambang, perubahan pola arus laut, bahkan migrasi ikan bisa terkena imbasnya. Argumentasi jarak hanyalah penghibur sementara yang tidak menjawab esensi kekhawatiran publik.
Langkah penghentian sementara operasi tambang oleh Bahlil sebenarnya menunjukkan adanya kesadaran bahwa tekanan publik dan fakta di lapangan tidak bisa diabaikan. Tapi keputusan ini datang terlambat. Publik sudah telanjur marah, dan dalam amarah itu, seperti biasa, politik ikut bermain. Isu ini kemudian tak hanya menjadi perdebatan soal lingkungan, tetapi juga menjadi bahan bakar baru untuk menyulut api fitnah dan disinformasi. Dalam minggu yang sama, ruang digital ramai dengan narasi jahat yang mengaitkan kegiatan tambang di Raja Ampat dengan keluarga Presiden Jokowi, bahkan menyeret nama Ibu Iriana. Tanpa bukti, tanpa logika, hanya mengandalkan insinuasi dan kebencian, mereka yang haus kekuasaan dan sensasi menjadikan isu tambang sebagai peluru baru untuk menembak kehormatan Presiden dan keluarganya.
Inilah wajah gelap politik Indonesia hari ini. Ketika diskusi substansial soal kebijakan dikerdilkan menjadi obrolan murahan yang bernuansa misoginis dan penuh insinuasi. Alih-alih membedah apakah tambang tersebut telah melewati studi Amdal yang benar, apakah telah sesuai dengan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dari masyarakat adat, atau apakah pemerintah telah menerapkan prinsip kehati-hatian ekologis (precautionary principle), publik malah disuguhkan dengan ocehan tak berdasar yang menuduh keluarga presiden mencari keuntungan dari tambang. Ini bukan hanya kebohongan, tapi juga penghinaan terhadap intelektualitas publik.
Yang ironis, sebagian dari narasi ini didalangi oleh kelompok yang dulu mengklaim diri sebagai pembela demokrasi, pejuang HAM, atau pelindung lingkungan. Tetapi ketika oposisi menjadi pekerjaan tetap dan kebenaran tak lagi penting, maka segala sesuatu—termasuk fitnah terhadap perempuan yang tak pernah membuat kebijakan sekalipun—dianggap sah demi agenda politik. Dalam konteks ini, Iriana Jokowi menjadi korban dari politisasi misogini, dijadikan simbol kekuasaan gelap yang tak pernah terbukti. Padahal, dalam sistem pemerintahan Indonesia, istri presiden tak memiliki wewenang formal apa pun dalam kebijakan pertambangan.
Kita sedang menyaksikan paradoks demokrasi. Di satu sisi, kebebasan berpendapat dan kontrol publik terhadap kekuasaan adalah bagian dari demokrasi yang sehat. Tapi di sisi lain, ketika kebebasan itu digunakan untuk menyebar fitnah, menebar hoaks, dan merusak reputasi orang tanpa bukti, maka kita sedang merusak demokrasi itu sendiri.
Sikap Prabowo yang memilih melakukan pertemuan tertutup di Hambalang justru memberi sinyal bahwa ia tak ingin menciptakan kegaduhan, tetapi mulai ingin memegang kendali lebih besar atas narasi dan kebijakan yang menyangkut hajat hidup rakyat dan nama baik pemerintah. Hambalang, yang dulu dikenal sebagai simbol politik ambisius yang gagal (ingat kasus korupsi Wisma Atlet), kini justru dijadikan pusat pengambilan keputusan strategis oleh presiden. Sebuah simbolisme yang mungkin disengaja, untuk menunjukkan bahwa dari reruntuhan masa lalu bisa lahir arah baru pemerintahan.
Tentu saja, pertemuan itu juga mencerminkan bahwa isu tambang di Raja Ampat bukan sekadar urusan teknis. Ia telah menjelma menjadi krisis multidimensi: krisis lingkungan, krisis sosial, krisis kepercayaan publik, dan kini mulai menjadi krisis politik. Karena itu, keputusan yang akan diambil Prabowo setelah pertemuan ini akan menjadi ujian pertamanya dalam menyeimbangkan antara janji investasi, keberlanjutan lingkungan, dan integritas moral.
Bisa jadi, Prabowo akan benar-benar menghentikan tambang nikel di Pulau Gag. Jika itu dilakukan, langkah tersebut bukan hanya akan memulihkan citra lingkungan pemerintah, tetapi juga sekaligus menampar mereka yang menjadikan isu ini sebagai fitnah terhadap Presiden Jokowi dan Ibu Negara. Keputusan itu bisa menjadi momen konfirmasi bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran tidak akan mewarisi segala bentuk dosa ekologis masa lalu, dan siap mengambil risiko politik untuk menyelamatkan lingkungan yang merupakan hak generasi mendatang.
Namun jika sebaliknya, tambang tetap dilanjutkan tanpa transparansi, tanpa keterlibatan masyarakat adat, dan tanpa hasil verifikasi yang benar-benar terbuka, maka Prabowo juga harus siap menerima gelombang protes yang lebih besar. Karena Raja Ampat bukan hanya milik Indonesia, tapi warisan dunia. Segala kerusakan yang terjadi di sana akan menjadi luka ekologis yang tak bisa disembuhkan hanya dengan pernyataan pers atau konferensi media.
Dalam situasi seperti ini, masyarakat seharusnya jeli membedakan antara kritik yang konstruktif dan fitnah yang destruktif. Kita berhak mempertanyakan kebijakan pemerintah, tetapi kita juga wajib menjaga agar pertanyaan itu tidak berubah menjadi senjata kebohongan massal. Begitu pula dengan media dan elite oposisi: jadilah penyalur informasi yang berbasis data dan empati, bukan penyebar kabar burung yang menjadikan keluarga pejabat sebagai sasaran.
Presiden Prabowo, dalam kesenyapan pertemuan di Hambalang, mungkin tengah mengkalkulasi bukan hanya soal tambang, tetapi juga masa depan narasi besar pemerintahannya. Apakah ia ingin dikenal sebagai presiden yang menyeimbangkan kemajuan dan kelestarian, atau sebagai pemimpin yang membiarkan bumi dieksploitasi demi angka pertumbuhan? Di hadapannya terbentang pilihan sulit, tapi satu hal pasti: rakyat menunggu keberpihakan yang nyata, bukan basa-basi birokrasi atau retorika politik semata.
Sebab bila yang dipertaruhkan adalah Raja Ampat, maka yang dipertaruhkan sesungguhnya adalah wajah Indonesia di mata dunia. Jika kerusakan lingkungan terus terjadi dan narasi kebohongan terus menyebar, maka bukan hanya ekosistem yang hancur, tetapi juga kepercayaan rakyat terhadap negara. Dalam konteks itu, pilihan Prabowo menjadi lebih dari sekadar keputusan administratif; ia menjadi penentu apakah bangsa ini benar-benar belajar dari masa lalu atau sekadar mengulanginya dalam bungkus baru yang lebih halus.
Dan bagi mereka yang menjadikan Iriana Jokowi sebagai kambing hitam dari isu tambang ini, barangkali sudah waktunya berhenti sejenak dan bertanya pada nurani: apakah benar kekuasaan pantas dikejar dengan cara sekeji itu? Atau justru, kita semua telah kehilangan arah dalam hiruk-pikuk politik yang lupa pada nilai paling dasar: keadilan, kebenaran, dan martabat manusia.
(Putri/dp)
Apa Reaksi Anda?






