Reuni Jokowi Buka Fakta! Mulyono Asli Bicara, Hoaks Ijazah Hancur
Reuni Jokowi Buka Fakta! Mulyono Asli Bicara, Hoaks Ijazah Hancur

detakpolitik.com, Jakarta - Di tengah hiruk pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara, ketika ruang publik kerap kali dibanjiri oleh narasi penuh prasangka, berita bohong, hingga fitnah politik, peristiwa kecil dan penuh kehangatan seperti reuni Presiden Joko Widodo dengan teman-teman kuliahnya dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada tahun angkatan 1980 menjadi oase yang menyegarkan. Dalam suasana santai, hangat, dan penuh canda, momen tersebut memperlihatkan sisi manusiawi dari seorang pemimpin yang selama ini kerap menjadi sasaran tuduhan keji, salah satunya berkaitan dengan isu ijazah palsu yang entah darimana bermula namun begitu kuat mengguncang nalar publik.
Kemunculan sosok bernama Mulyono dalam reuni itu yang langsung disambut dengan celetukan Presiden “Jangan nambah masalah lagi” adalah potret ringan tapi sangat dalam. Ungkapan itu bukan semata humor. Ia adalah sublimasi dari kelelahan seorang kepala negara terhadap narasi busuk yang terus diproduksi dan direproduksi oleh pihak-pihak yang tak kunjung puas dengan demokrasi yang telah mereka nikmati sendiri hasilnya. Di balik kelakar tersebut, tersimpan satu pesan penting: bahwa fitnah tak akan mengubah kebenaran, dan kebenaran tak akan tumbang oleh kebohongan yang dikemas seolah ilmiah, seolah serius, dan dibumbui dengan serentetan istilah hukum yang tidak pada tempatnya.
Presiden Jokowi bukan hanya menunjukkan bahwa ia tak terusik secara pribadi oleh isu-isu tersebut, tetapi juga memberi pelajaran kepada rakyat bahwa cara terbaik merespons kebohongan adalah dengan terus bekerja, terus melayani, dan sesekali menghadapinya dengan tawa. Ketika seorang kepala negara masih bisa tertawa dalam situasi seperti itu, itu bukan bentuk pelecehan terhadap hukum atau kritik, tetapi sinyal bahwa kebenaran tidak goyah. Reuni itu menjadi panggung miniatur Indonesia di mana perbedaan, kenangan, dan persahabatan menjadi titik temu bagi kesadaran kolektif bahwa kita semua pernah muda, pernah belajar, dan pernah punya cita-cita yang sama: menjadikan negeri ini lebih baik.
Kehadiran Mulyono asli dalam momen reuni itu juga menjadi bantahan telak atas tudingan bahwa Presiden Jokowi tidak pernah kuliah. Di tengah gelombang informasi palsu yang menyasar identitas, latar belakang pendidikan, dan sejarah hidup Jokowi, testimoni Mulyono menjadi saksi otentik sejarah yang tak tergoyahkan. Ia menyebut Jokowi sebagai sosok cerdas yang bahkan lulus lebih cepat darinya. Tanpa harus membela diri dengan marah-marah, Jokowi cukup tersenyum, cukup hadir di tengah teman lamanya, cukup berbicara jujur, dan cukup memanggil Mulyono dengan gelak tawa yang hangat. Di sanalah kemuliaan seorang pemimpin sejati hadir: tidak membalas fitnah dengan kebencian, tapi dengan kebenaran yang menyala terang.
Namun di luar momen indah itu, kita harus mengakui bahwa bangsa ini sedang menghadapi krisis kepercayaan yang parah. Hoaks sudah menjadi industri. Fitnah dijajakan di mana-mana dengan gaya seolah ilmiah. Sebagian masyarakat kita lebih mudah mempercayai video potongan dari media sosial ketimbang pernyataan resmi institusi pendidikan, pengadilan, atau negara. Di sinilah panggilan kebangsaan kita semua diuji. Apakah kita masih mau menggunakan akal sehat dan hati nurani dalam menilai sesuatu, atau justru membiarkan diri terseret dalam gelombang fitnah massal yang memecah belah?
Bangsa ini lahir dari semangat persatuan yang tinggi. Pendiri republik ini merumuskan Pancasila, bukan hanya sebagai dasar negara, tapi juga sebagai kompas moral agar kita tidak mudah tersesat oleh arus informasi yang menyesatkan. Nilai pertama dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwa dalam setiap langkah hidup, kita dituntut untuk jujur dan bertanggung jawab bukan hanya pada sesama manusia, tetapi juga pada Tuhan. Fitnah, hoaks, dan tuduhan palsu jelas bertentangan dengan nilai itu. Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menuntut kita untuk tidak sembarangan merusak nama baik seseorang hanya karena kebencian politik. Dan yang paling penting, sila ketiga Persatuan Indonesia harus selalu menjadi pegangan utama ketika kita dihadapkan pada perbedaan pandangan politik dan sosial.
Kejadian seperti munculnya Mulyono dalam reuni Jokowi mengingatkan kita bahwa ingatan kolektif tak bisa dibunuh oleh fitnah. Teman-teman lama, dokumen asli, kenangan kuliah, dan testimoni rekan sejawat jauh lebih kuat daripada manipulasi data yang disebar lewat akun anonim. Kita harus kembali percaya bahwa kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Kita tidak boleh membiarkan negeri ini dirusak oleh kelompok kecil yang menjadikan politik sebagai jalan pintas untuk menebar kebencian dan kebohongan.
Dalam konteks ini, media massa, akademisi, tokoh agama, dan seluruh elemen masyarakat punya tanggung jawab moral untuk menyaring informasi dengan kritis dan tidak ikut-ikutan menyebarkan kabar burung. Kita harus sadar bahwa perang masa kini bukan lagi sekadar perang senjata, tetapi perang informasi. Dan dalam perang ini, yang paling lemah akan menjadi korban pertama: rakyat biasa yang tidak punya akses terhadap klarifikasi dan kebenaran.
Ketika seorang Presiden yang sudah dua periode memimpin negeri ini masih saja dituduh tidak punya ijazah, maka jelas bukan lagi soal kebenaran atau tidaknya ijazah itu. Ini sudah menjadi bentuk persekusi politik. Dan yang lebih parah: ini adalah sinyal bahwa kita sedang hidup dalam era di mana akal sehat dikalahkan oleh hasrat membenci. Karena itu, momen reuni Jokowi harus kita rayakan bukan hanya sebagai nostalgia pribadi, tapi juga sebagai deklarasi moral untuk mengembalikan nalar dan akhlak publik bangsa ini.
Jika kita ingin negara ini damai, jika kita ingin anak-anak kita tumbuh dalam lingkungan yang penuh harapan dan bukan kecurigaan, maka kita harus mulai dari hal kecil: menyaring informasi sebelum menyebarkannya, mencari sumber yang benar, dan memercayai institusi-institusi resmi. Kita juga harus berani menegur siapapun yang menyebarkan hoaks, meskipun mereka berasal dari lingkungan terdekat kita. Sebab diam terhadap kebohongan adalah bentuk pengkhianatan terhadap bangsa sendiri.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memuliakan kebenaran di atas apapun. Bahkan jika kebenaran itu menyakitkan bagi kelompok tertentu, ia tetap harus dijunjung. Dalam kasus Presiden Jokowi, kebenaran itu sebetulnya sangat sederhana: beliau pernah kuliah, beliau punya ijazah, dan beliau bahkan diakui oleh teman-temannya sendiri yang masih hidup. Mulyono yang asli telah muncul. Dan dengan kehadirannya, seharusnya semua fitnah itu berakhir. Tapi jika ternyata masih ada yang mengangkat kembali isu ini, maka publik harus bertanya: apa motif sebenarnya?
Apakah hanya karena kebencian terhadap sosok Jokowi? Atau karena ada agenda tersembunyi untuk menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap sistem? Apapun itu, rakyat harus disadarkan bahwa ini bukan lagi soal satu orang. Ini tentang masa depan demokrasi kita. Jika kita membiarkan fitnah merajalela, maka hari ini mungkin yang difitnah adalah Jokowi. Besok bisa siapa saja. Bisa presiden berikutnya, bisa tokoh oposisi, bisa aktivis, bisa akademisi. Fitnah adalah hantu yang tak mengenal ideologi. Ia bisa menyerang siapa saja. Karena itu, kita semua harus jadi penjaga akal sehat bersama-sama.
Mari kita belajar dari Presiden Jokowi: menghadapi fitnah dengan kepala dingin, membalas kebohongan dengan bukti nyata, dan menyikapi serangan personal dengan senyum serta kerja keras. Itu bukan tanda kelemahan, tapi justru kekuatan yang sesungguhnya. Dan mari kita belajar dari Mulyono: bahwa menjadi saksi kebenaran adalah bentuk bela negara yang paling murni. Ia tidak datang membawa spanduk, tidak datang dengan tudingan. Ia datang hanya dengan cerita jujur dan wajah tenang. Tapi dari ceritanya, publik tahu bahwa Presiden mereka bukan hanya sah secara hukum, tapi juga sah secara moral dan historis.
Jika bangsa ini ingin damai, maka kita harus mulai menghormati kebenaran. Jika kita ingin sejahtera, maka kita harus berhenti memburu sensasi dan mulai memburu substansi. Jika kita ingin maju, maka kita harus melawan hoaks bukan dengan hoaks tandingan, tetapi dengan pendidikan, logika, dan cinta pada negeri. Negara ini terlalu besar untuk dijatuhkan oleh fitnah, tapi juga terlalu rapuh jika rakyatnya tak lagi percaya pada kebenaran. Maka dari itu, momen reuni Jokowi dan Mulyono bukan sekadar pertemuan dua kawan lama. Ia adalah simbol pemulihan akal sehat bangsa.
Kita tak butuh banyak teori untuk melawan hoaks. Kita hanya butuh keberanian untuk berkata: cukup. Sudah cukup fitnah ini. Sudah cukup kebohongan ini. Mari kita rawat negeri ini dengan cinta, dengan nalar, dan dengan iman bahwa kebenaran selalu punya tempatnya sendiri. Sebab hanya dengan itulah Indonesia akan tetap menjadi rumah yang aman, damai, dan bermartabat untuk semua. (Lembong/dp)
Apa Reaksi Anda?






