Membara di Tanah Subur: Ancaman Suhu Ekstrem 41°C bagi Masa Depan Pertanian Sumatera Utara

Suhu Ekstrim, Pertanian Masa Depan, Sumut

Membara di Tanah Subur: Ancaman Suhu Ekstrem 41°C bagi Masa Depan Pertanian Sumatera Utara

Penulis: Tambun Sihotang, S.Agr., M.Agr | Peneliti Utama Bidang Pertanian Detak Politik

detakpolitik.com, Medan - Sumatera Utara, sebuah provinsi yang selama ini dikenal dengan tanahnya yang subur dan kekayaan agrarisnya, kini sedang menghadapi tantangan baru yang tak kasat mata namun amat mengguncang: suhu ekstrem yang menyentuh angka 41 derajat Celsius. Angka ini bukan hanya rekor, melainkan alarm keras yang menggema di tengah ladang, kebun, dan sawah. Sebagai seorang magister pertanian yang mengabdikan hidup untuk memahami dan mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan, saya tak bisa tinggal diam melihat situasi ini. Apa yang terjadi bukan sekadar fenomena meteorologis sesaat, melainkan sebuah gejala awal dari ketidakseimbangan lingkungan yang bisa menghantam sektor pertanian Sumatera Utara bahkan Indonesia secara menyeluruh.

Kita tentu tidak asing dengan fluktuasi suhu di daerah tropis, namun lonjakan suhu ke titik ekstrem hingga 41°C menjadi tanda bahwa perubahan iklim bukan lagi isu masa depan, melainkan krisis yang sedang berlangsung. Ketika suhu rata-rata normal di dataran tinggi seperti Tanah Karo, Dairi, atau Simalungun berkisar antara 20–26°C, dan di dataran rendah seperti Deli Serdang atau Langkat berada di kisaran 28–33°C, maka temperatur 41°C yang terjadi pada beberapa hari terakhir di wilayah-wilayah utama produksi pertanian adalah anomali yang mengancam fondasi pertanian kita.

Tanah-tanah subur yang selama ini menjadi andalan produksi padi, jagung, sayuran hortikultura, dan berbagai komoditas unggulan lainnya kini menghadapi tekanan termal yang luar biasa. Fotosintesis tanaman terganggu, transpirasi melonjak, dan efisiensi penyerapan hara menurun drastis. Dalam kondisi suhu ekstrem, tanaman menjadi lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Kelembapan yang menurun drastis menjadi faktor pendorong berkembangnya organisme patogen baru, yang sebelumnya tidak umum di wilayah Sumatera Utara.

Dampaknya tidak hanya terlihat pada pertumbuhan tanaman, tetapi juga pada produktivitas. Para petani di dataran rendah mengeluhkan daun-daun padi yang mengering sebelum waktunya, bunga cabai yang gugur sebelum sempat berbuah, dan hasil panen yang turun drastis hingga 30–40 persen. Komoditas strategis seperti cabai, tomat, dan bawang merah yang merupakan tulang punggung ekonomi petani hortikultura terancam gagal panen secara beruntun jika situasi ini terus berlanjut. Kondisi tersebut memicu bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi juga ketahanan pangan lokal yang selama ini relatif terjaga.

Lebih dari sekadar kerugian jangka pendek, suhu ekstrem ini memiliki dampak jangka panjang yang jauh lebih kompleks. Ketika tanah terkena paparan suhu tinggi secara terus-menerus, struktur mikrobiologis tanah akan terganggu. Mikroorganisme tanah yang berperan dalam dekomposisi bahan organik dan fiksasi nitrogen akan kehilangan efisiensinya. Dalam jangka panjang, kualitas tanah akan menurun, menjadikannya kurang produktif dan lebih sulit untuk dipulihkan tanpa intervensi teknologi tinggi. Ini artinya, biaya produksi pertanian akan meningkat tajam, yang kemudian akan membebani petani kecil yang selama ini sudah terseok-seok oleh fluktuasi harga pasar.

Sumatera Utara adalah rumah bagi beragam ekosistem pertanian, dari persawahan di Serdang Bedagai, kebun kopi di Dairi, hingga ladang jagung dan hortikultura di Karo. Namun saat suhu ekstrem mulai menyeragamkan ancaman di semua zona agroklimat, maka adaptasi dan mitigasi tidak bisa lagi bersifat lokal. Kita memerlukan pendekatan sistemik. Adaptasi harus melibatkan perubahan pola tanam, pemilihan varietas tahan panas, serta pengelolaan air yang lebih efisien. Saat ini, irigasi konvensional yang mengandalkan curah hujan sudah tidak cukup. Kita membutuhkan sistem irigasi tetes atau sprinkler yang lebih presisi, meski investasi awalnya besar.

Varietas tahan panas juga harus segera dikembangkan dan disebarkan. Balai-balai penelitian pertanian, baik milik pemerintah maupun swasta, perlu berkolaborasi lebih erat dalam menyediakan benih unggul yang tidak hanya tahan terhadap hama, tetapi juga mampu bertahan pada suhu tinggi dan kekeringan. Teknologi seperti pemuliaan tanaman berbasis CRISPR dan pemetaan genomik bukan lagi hal yang mewah, tetapi menjadi kebutuhan mendesak untuk mempertahankan keberlangsungan produksi pangan di daerah ini.

Di sisi lain, sektor peternakan yang selama ini menopang perekonomian masyarakat pedesaan juga tidak luput dari dampak suhu ekstrem. Ternak sapi dan kambing yang merupakan sumber utama protein hewani mengalami stres panas, yang berdampak pada penurunan produksi susu dan bobot badan. Tingkat fertilitas ternak menurun drastis, sementara kasus penyakit tropis seperti antraks dan cacingan meningkat karena perubahan siklus hidup parasit yang lebih cepat di suhu tinggi. Situasi ini semakin memperparah ketimpangan antara permintaan dan pasokan pangan hewani di Sumatera Utara.

Lebih jauh, kita harus menyadari bahwa ancaman ini bukan hanya masalah teknis di lapangan, tetapi juga persoalan kebijakan. Pemerintah daerah dan pusat perlu merumuskan ulang strategi pembangunan pertanian dengan memasukkan faktor perubahan iklim sebagai parameter utama. Bantuan kepada petani tidak bisa lagi hanya berupa subsidi pupuk atau benih, tetapi juga dukungan terhadap infrastruktur adaptif seperti bendungan mikro, embung, gudang penyimpanan dingin, dan sistem peringatan dini cuaca ekstrem. Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian Provinsi harus segera membentuk satuan tugas khusus yang menangani isu suhu ekstrem dan adaptasi pertanian di Sumatera Utara.

Pendidikan bagi petani juga menjadi kunci penting. Petani tidak cukup hanya diberi alat dan bahan, tetapi juga harus dilibatkan dalam pelatihan-pelatihan terkait perubahan iklim, teknik bertani ramah iklim, dan diversifikasi usaha tani. Kelembagaan tani harus diperkuat agar mereka mampu merespon tantangan dengan kolektivitas, bukan secara individu yang rentan gagal. Peran penyuluh pertanian lapangan (PPL) menjadi vital dalam menyampaikan informasi terkini dan membangun jejaring pengetahuan di tingkat desa.

Sebagai akademisi dan praktisi pertanian, saya juga melihat pentingnya penguatan riset interdisipliner. Universitas-universitas di Sumatera Utara perlu lebih aktif melakukan penelitian tentang dampak suhu ekstrem ini dari berbagai aspek: agronomi, klimatologi, sosiologi pedesaan, hingga ekonomi pertanian. Kolaborasi dengan lembaga internasional seperti FAO atau IRRI harus dibuka lebih luas untuk menghadirkan teknologi dan data yang dapat memperkuat ketahanan sistem pangan daerah. Jangan sampai Sumatera Utara yang selama ini menjadi lumbung pangan regional, justru menjadi daerah rawan pangan akibat ketidaksiapan menghadapi perubahan iklim.

Satu hal yang tak boleh kita lupakan adalah keberlanjutan lingkungan. Suhu ekstrem yang kita alami sekarang bukan terjadi dalam ruang hampa. Ia adalah hasil akumulasi dari deforestasi, degradasi lahan, urbanisasi yang tak terkendali, dan emisi gas rumah kaca dari berbagai sektor, termasuk pertanian itu sendiri. Oleh karena itu, solusi jangka panjang harus menyentuh akar masalah: pemulihan ekosistem. Program reboisasi, konservasi air, pertanian organik, dan agroforestri harus dipandang sebagai investasi strategis, bukan sekadar program CSR atau proyek pemerintah sesaat. Kita tidak bisa melanjutkan praktik pertanian yang mengeksploitasi alam tanpa memikirkan daya dukungnya.

Apa yang terjadi di Sumatera Utara hari ini sejatinya adalah cermin bagi banyak daerah lain di Indonesia. Jika kita gagal merespons krisis suhu ekstrem ini secara serius dan ilmiah, maka bencana agrikultur bukan hanya akan menimpa Sumatera Utara, melainkan juga Jawa, Sulawesi, dan seluruh kawasan tropis yang rentan. Pertanian bukan hanya soal tanam dan panen; ia adalah sistem kehidupan yang melibatkan manusia, lingkungan, dan kebijakan secara terpadu.

Kini saatnya kita mengambil tindakan. Sumatera Utara tidak boleh hanya menjadi saksi bisu dari dampak perubahan iklim, melainkan harus menjadi pionir dalam membangun pertanian adaptif dan berkelanjutan. Suhu 41°C bukan sekadar angka, tetapi peringatan keras bahwa perubahan telah datang, dan hanya mereka yang siap yang akan bertahan.

Dari perspektif makro, fenomena suhu ekstrem juga dapat memicu distorsi pasar pertanian yang lebih luas. Ketika hasil panen menyusut akibat gangguan fisiologis tanaman, suplai komoditas strategis menjadi tidak stabil. Ini bukan hanya akan mempengaruhi pendapatan petani, tetapi juga harga pangan di tingkat konsumen. Dalam beberapa pekan terakhir, kita sudah mulai melihat fluktuasi harga cabai, tomat, dan bahkan bawang merah di berbagai pasar tradisional di Medan, Binjai, dan sekitarnya. Bila tren ini berlanjut, maka inflasi pangan bisa menjadi ancaman serius, terutama bagi rumah tangga berpendapatan rendah yang mengalokasikan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi harian.

Kita juga perlu mengantisipasi implikasi sosial dari krisis suhu ini. Ketika lahan pertanian tidak lagi mampu menghasilkan seperti biasanya, potensi konflik horizontal akibat perebutan sumber daya seperti air dan tanah akan meningkat. Di daerah seperti Tapanuli Tengah dan Mandailing Natal, yang memiliki sistem irigasi terbatas, masyarakat sudah mulai mengalami ketegangan antar kelompok tani dalam mengatur jadwal pengairan. Selain itu, gelombang urbanisasi akan meningkat karena banyak petani muda yang kehilangan motivasi untuk bertani dan memilih merantau ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan alternatif. Jika fenomena ini terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan percepatan krisis regenerasi petani, sebuah isu laten yang selama ini masih terabaikan.

Selain itu, pergeseran iklim juga mulai mengacaukan kalender tanam. Selama beberapa dekade, petani di Sumatera Utara telah terbiasa dengan siklus musiman yang cukup stabil: mulai tanam di awal musim hujan, panen saat musim kemarau tiba. Namun sekarang, hujan bisa datang saat masa berbunga, dan kemarau justru berkepanjangan di masa pertumbuhan vegetatif. Ketidakpastian ini menyebabkan gagal panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan teknis petani, melainkan oleh ketidaksinkronan antara fase fisiologis tanaman dengan kondisi iklim aktual. Perlu dipikirkan suatu sistem informasi iklim mikro berbasis digital yang mampu memberikan peringatan dini kepada petani hingga ke tingkat dusun.

Dalam konteks ini, teknologi digital menjadi harapan baru. Penerapan pertanian presisi berbasis Internet of Things (IoT), sensor suhu dan kelembapan, serta sistem prediksi cuaca berbasis kecerdasan buatan (AI) dapat membantu petani menyesuaikan pola budidaya mereka secara real-time. Namun, tantangannya adalah aksesibilitas. Banyak petani di pedalaman Sumatera Utara belum memiliki literasi digital yang memadai. Pemerintah, kampus, dan perusahaan teknologi pertanian perlu melakukan transfer pengetahuan yang menyeluruh agar teknologi tidak hanya menjadi jargon elit, tetapi solusi nyata di tangan petani kecil.

Beralih ke aspek keberlanjutan, sudah saatnya kita memperluas cakrawala pertanian kita dari sistem monokultur ke sistem yang lebih resilient seperti agroforestri dan pertanian konservasi. Agroforestri memungkinkan kombinasi antara tanaman pangan, tanaman tahunan, dan pohon peneduh yang dapat membantu menstabilkan mikroklimat di lahan pertanian. Praktik-praktik seperti mulsa organik, penggunaan biochar, serta pengomposan skala komunitas juga harus didorong untuk meningkatkan kapasitas retensi air tanah dan mengurangi efek panas pada permukaan lahan.

Pendekatan lain yang tak kalah penting adalah integrasi pertanian dan peternakan secara vertikal. Sistem ini memungkinkan limbah dari peternakan dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk lahan pertanian, dan sebaliknya sisa pertanian dapat digunakan sebagai pakan ternak. Integrasi ini terbukti tidak hanya meningkatkan efisiensi produksi, tetapi juga memperkuat ketahanan sistem pangan lokal terhadap gangguan eksternal seperti iklim ekstrem.

Sebagai catatan, kebijakan nasional pun harus lebih responsif terhadap fenomena-fenomena semacam ini. Rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) maupun strategi nasional ketahanan pangan perlu diperbaharui dengan asumsi dasar bahwa suhu ekstrem dan kejadian iklim anomali akan menjadi new normal. Skenario perencanaan harus mencakup kemungkinan terjadinya gagal panen skala luas, krisis air irigasi, serta migrasi besar-besaran dari desa ke kota akibat kerentanan ekonomi agraris. Di sinilah pentingnya pendekatan transdisipliner yang melibatkan agronom, klimatolog, ekonom, sosiolog, dan pembuat kebijakan dalam satu meja perumusan.

Krisis suhu ekstrem ini seharusnya menjadi titik balik (turning point) bagi kita semua. Bahwa Sumatera Utara yang diberkahi dengan kekayaan sumber daya alam, iklim tropis, dan kultur agraris yang kuat tidak boleh tunduk begitu saja pada gelombang panas yang kian intens. Kita punya cukup modal sosial, ilmiah, dan budaya untuk menanggulangi ini jika dikelola secara kolaboratif dan berbasis bukti. Kita tidak bisa lagi menunda transformasi pertanian menuju sistem yang lebih adaptif, inklusif, dan tahan iklim.

Perubahan besar selalu diawali oleh kesadaran kolektif akan krisis. Dan suhu 41°C yang melanda Sumatera Utara adalah sinyal terkuat bahwa kita sedang hidup di masa peralihan ekologi. Tidak semua perubahan bisa dicegah, tetapi banyak yang masih bisa kita kendalikan jika kita bertindak sekarang. Pertanian tidak bisa menunggu. Petani tidak bisa menunggu. Alam tidak akan menunggu.

Kita semua, baik akademisi, petani, birokrat, maupun warga biasa, harus bersatu dalam satu tujuan: menyelamatkan pertanian Sumatera Utara dari ambang krisis iklim. Karena ketika ladang tidak lagi subur, maka ketahanan pangan dan martabat kita sebagai bangsa agraris pun ikut terancam. Maka mari kita bertindak, bukan hanya berbicara. Hari ini juga. 

(Tambun Sihotang, S.Agr., M.Agr./dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow