Mantan Rektor UGM Tarik Pernyataan soal Ijazah Jokowi
Mantan Rektor UGM Tarik Pernyataan soal Ijazah Jokowi “Rismon, Mantan Rektor, dan Retakan Bangsa Saat Kegaduhan Jadi Senjata Proxy”

detakpolitik.com, Jakarta - Di tengah derasnya gelombang informasi dan derasnya hujan narasi yang membanjiri ruang digital Indonesia, kita menyaksikan satu babak memalukan dari drama kebangsaan: ketika seorang mantan rektor universitas ternama, Universitas Gadjah Mada, terjerumus dalam pusaran isu yang bukan hanya spekulatif, melainkan berpotensi merobek kepercayaan rakyat kepada lembaga-lembaga fundamental republik ini. Dan lebih menyedihkan lagi, di saat pernyataan tersebut disanggah dan ditarik kembali, justru muncul Rismon Sianipar sosok yang tiba-tiba mengaku diri sebagai pejuang kejujuran, dengan wajah penuh kemenangan, seolah rakyat telah dibukakan mata batinnya bahwa ada kebusukan besar yang sedang ditutupi negara.
Sayangnya, kebenaran tidak bekerja dengan logika persepsi. Kebenaran bukanlah suara terbanyak atau video viral yang dibagikan ribuan kali dalam grup WhatsApp keluarga dan tetangga. Kebenaran menuntut kesabaran, kedalaman data, integritas sumber, dan tanggung jawab moral yang lebih tinggi dari sekadar popularitas digital. Dalam konteks ini, baik Rismon maupun mantan rektor Sofian Effendi telah gagal memahami beratnya tanggung jawab intelektual di ruang publik, apalagi ketika menyangkut isu yang bisa mengguncang pilar negara: keabsahan pendidikan seorang kepala negara.
Mari kita bicara terus terang kepada Rismon. Anda boleh saja mengklaim diri sebagai seorang ahli digital forensik. Anda boleh merasa memiliki kapasitas akademis untuk menelusuri dokumen dan menelaah kejanggalan teknis. Tapi dalam semua itu, Anda harus tetap tunduk pada asas kehati-hatian. Karena apa yang Anda katakan bukan hanya menyasar satu orang, bukan hanya menyerang Presiden Jokowi sebagai individu tetapi menyerang tatanan hukum negara, menyerang reputasi perguruan tinggi Indonesia, menyerang integritas sistem administrasi nasional, dan yang lebih gawat, menyerang rasa percaya rakyat kepada institusi negara.
Apa yang terjadi beberapa hari lalu, ketika Prof. Dr. Sofian Effendi mengumbar keraguan soal ijazah Presiden Jokowi melalui siaran langsung di YouTube, adalah contoh konkret bagaimana seorang akademisi senior bisa terpeleset dalam ruang opini yang penuh jebakan. Pernyataannya, yang disampaikan tanpa basis kuat dan hanya didasarkan pada ingatan kabur serta opini pribadi, langsung dimanfaatkan oleh mereka yang memang haus akan bahan bakar untuk membakar kepercayaan publik. Dan salah satu yang tampak bersorak dalam kegelapan itu adalah Anda, Rismon. Anda seolah mendapatkan bola emas untuk mengukuhkan narasi lama Anda, dan Anda tidak membuang waktu untuk mengaraknya ke segala penjuru media sosial.
Tapi sayangnya, permainan itu tidak berlangsung lama. Sang mantan rektor akhirnya mencabut ucapannya. Permintaan maaf disampaikan. Video diminta dihapus. Dan tentu saja, Anda tidak bisa menyembunyikan kekecewaan Anda. Tapi bukannya berhenti dan merefleksi, Anda malah melempar tuduhan bahwa Sofian ditekan oleh “Jokowi Lovers.” Retorika Anda seakan mengabaikan satu fakta besar: bahwa dalam negara hukum, setiap ucapan memiliki konsekuensi. Dan konsekuensi dari menyebar keraguan tanpa dasar bukanlah tekanan dari fans, tetapi potensi pelanggaran hukum atas pencemaran nama baik dan penyebaran hoaks.
Lebih menyedihkan lagi adalah bagaimana Anda, Rismon, berusaha membingkai kejadian ini sebagai bentuk “kemenangan moral,” dengan menyiratkan bahwa banyak orang di dalam UGM diam-diam tahu Jokowi tidak lulus tapi tidak berani bicara. Pernyataan semacam ini bukan hanya spekulatif, tapi sangat tidak bertanggung jawab. Apakah Anda punya bukti konkret? Apakah Anda bicara atas nama institusi? Apakah Anda menyadari betapa bahayanya insinuasi semacam ini jika diserap oleh masyarakat awam yang mudah digiring opini?
Ini bukan sekadar perang narasi. Ini adalah awal dari kehancuran. Ketika rakyat mulai meragukan keabsahan dokumen kepala negaranya, meragukan universitas tempat dia menuntut ilmu, dan kemudian meragukan sistem hukum yang tidak kunjung menindak isu ini secara terang, maka percayalah: kita sedang menuju sebuah jurang sosial yang dalam. Pola-pola seperti ini bukan hal baru dalam sejarah dunia. Di banyak negara yang gagal bangkit dari krisis internal, yang memicu keruntuhan negara bukanlah invasi militer dari luar, tapi keruntuhan kepercayaan dari dalam. Rakyat yang tak lagi percaya kepada negaranya adalah mimpi buruk dari demokrasi mana pun.
Dan kepada Prof. Sofian, ada satu nasihat keras yang harus kami sampaikan, dengan segala hormat pada reputasi dan usia Anda. Anda adalah akademisi senior. Anda mantan rektor dari universitas kebanggaan nasional. Anda adalah simbol keilmuan, simbol integritas, simbol keteladanan. Maka ketika Anda berbicara di ruang public terlebih tentang hal yang sedemikian sensitif dan berpotensi menimbulkan kekacauan Anda tidak boleh gegabah. Anda tidak bisa menjadikan ruang digital sebagai ajang berceloteh santai yang tak perlu diverifikasi. Apa yang Anda ucapkan akan ditelan jutaan orang, ditafsirkan macam-macam, dijadikan alat serang, dan pada akhirnya, bisa merusak apa yang selama ini dibangun oleh institusi-institusi pendidikan tinggi kita: kredibilitas, rasionalitas, dan ketenangan berpikir.
Apakah Anda tidak melihat bahwa pernyataan Anda memicu perpecahan? Apakah Anda tidak merasakan bahwa publik kini mulai terbelah antara yang percaya pada ijazah dan yang mencurigainya? Apakah Anda tidak menyadari bahwa ini bukan sekadar soal Jokowi, tetapi soal reputasi UGM, soal rasa hormat rakyat kepada presiden yang mereka pilih lewat pemilu, soal pertaruhan kredibilitas bangsa di mata dunia?
Hari ini, Indonesia bukan sekadar negara dengan 270 juta penduduk. Indonesia adalah medan tempur digital, di mana narasi adalah peluru, dan opini publik adalah senjata pemusnah massal. Di balik isu-isu seperti ijazah palsu, kita tidak tahu siapa yang bermain. Bisa jadi itu adalah operasi senyap dari kelompok yang ingin melihat negara ini runtuh dari dalam. Bisa jadi itu adalah bagian dari proxy war jangka panjang, yang menyusup lewat ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintahannya sendiri.
Dan inilah bentuk perang modern. Kita tidak lagi diserang dengan tank dan peluru, tetapi dengan keraguan, hoaks, dan manipulasi logika. Ketika rakyat tidak lagi percaya pada KPU, tidak percaya pada universitas, tidak percaya pada Mahkamah Agung, tidak percaya pada institusi kepresidenan maka musuh sesungguhnya sudah menang. Dan kemenangan itu datang bukan lewat senjata, tapi lewat retakan dalam logika dan keyakinan warga negara.
Karena itu, opini ini bukan sekadar kritik terhadap Rismon Sianipar atau Prof. Sofian Effendi. Ini adalah panggilan untuk kita semua. Untuk menyadari bahwa setiap isu publik hari ini, setiap narasi yang dilempar ke publik, setiap potongan video yang viral semuanya berpotensi menjadi pisau bermata dua. Jika tidak hati-hati, kita akan saling menikam bukan karena kebencian, tapi karena kebodohan kolektif. Dan tidak ada bangsa yang bisa bertahan dari kebodohan massal.
Sudahi kegaduhan. Stop menjadikan opini sebagai kebenaran absolut. Mari kembali ke logika, ke hukum, ke etika, dan ke hati nurani. Karena jika tidak, kita bukan hanya kehilangan satu presiden kita bisa kehilangan satu bangsa (dedi/dp)
Apa Reaksi Anda?






