Jokowi 64 Tahun: Bukan Sekadar Ulang Tahun, Tapi Momentum Doa Rakyat untuk Pemimpin yang Mereka Cintai

Jokowi 64 Tahun: Bukan Sekadar Ulang Tahun, Tapi Momentum Doa Rakyat untuk Pemimpin yang Mereka Cintai

Jokowi 64 Tahun: Bukan Sekadar Ulang Tahun, Tapi Momentum Doa Rakyat untuk Pemimpin yang Mereka Cintai

detakpolitik.com, JAKARTA - 21 Juni 2025 bukan sekadar penanda bertambahnya usia bagi seorang Joko Widodo. Bukan sekadar bilangan yang menandai bahwa hari itu Presiden ke-7 Republik Indonesia genap berusia 64 tahun. Tapi lebih dari itu, tanggal itu adalah simbol, cermin dari kedekatan seorang pemimpin dengan rakyatnya, dan sekaligus pengingat bahwa di tengah segala hiruk-pikuk dinamika politik tanah air, masih ada satu sosok yang dengan rendah hati tetap membumi, tetap menjadi bagian dari denyut nadi rakyat jelata.

Di pagi yang lembut dan sedikit berawan itu, suasana di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo, berbeda dari hari-hari biasanya. Rumah pribadi Presiden Jokowi terlihat sederhana seperti biasa, tidak ada kemegahan yang dibuat-buat, tidak ada keramaian yang direkayasa. Namun ada kehangatan yang begitu kental terasa. Dari pagi hari, satu per satu warga berdatangan, membawa harapan dan cinta. Beberapa membawa tumpeng, kue ulang tahun, dan bunga. Tidak ada protokol mewah, tidak ada pagar besi berlapis keamanan berlebihan. Hanya tikar yang digelar, beberapa kursi plastik, dan senyum yang mengembang dari wajah-wajah yang mencintai pemimpinnya.

Saat jam menunjukkan sekitar pukul 11.20 WIB, Pak Jokowi akhirnya keluar dari rumah. Ia tak sendiri, ditemani Ibu Negara Iriana dan ketiga adiknya. Tak ada jas mahal, tak ada rompi gagah. Hanya baju putih sederhana, khas Jokowi. Sontak masyarakat yang hadir menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” dengan semangat dan keharuan yang tidak bisa disembunyikan. Dalam suasana itu, tak ada jarak antara pemimpin dan yang dipimpin. Jokowi menyambut mereka dengan hangat, menyapa, menyalami satu per satu, dan berkali-kali mengucap, “Maturnuwun, terima kasih sudah hadir.”

Namun, di balik perayaan yang hangat itu, ada kekhawatiran dan harapan besar yang diselipkan dalam tiap ucapan selamat. Warga tidak hanya datang untuk memberi selamat, mereka datang membawa doa, sebuah harapan bersama agar Presiden mereka segera pulih dari kondisi kesehatannya. Meski tak dijelaskan secara detail penyakit apa yang diderita, namun kabar yang beredar tentang kesehatan Pak Jokowi membuat banyak rakyat merasa khawatir. “Sehat selalu, cepat sembuh Pak Jokowi!” teriak seorang ibu sambil membawa balita dalam gendongannya. Suaranya serak, tapi penuh makna. Sebuah doa rakyat kecil yang tulus, yang tidak pernah berpikir untung-rugi atau kalkulasi politik.

Dalam perbincangan yang hangat dan santai, beberapa warga bahkan menyampaikan bahwa bangsa ini masih sangat membutuhkan sosok seperti Pak Jokowi. Seorang pemimpin yang bekerja dalam diam, yang membangun negeri tanpa banyak kata, yang lebih senang melihat bendungan jadi daripada melihat wajahnya muncul di iklan politik.

Kondisi kesehatannya yang kini menjadi sorotan, khususnya soal kulit wajah yang terlihat lebih pucat dan menua dari biasanya, malah memunculkan banyak komentar. Sayangnya, tidak semua komentar itu bernada empati. Di media sosial, seperti biasa, ada saja kelompok-kelompok yang dengan keji melontarkan hinaan dan fitnah. Mulai dari menyebut bahwa kondisi Jokowi adalah karma, hingga menyindir bahwa rakyat sudah tak membutuhkannya lagi.

Tapi benarkah demikian?

Jika Jokowi memang sudah tidak dicintai rakyat, maka mengapa ratusan orang berduyun-duyun ke rumahnya hanya untuk mendoakan dan mengucapkan selamat ulang tahun? Jika rakyat sudah melupakannya, mengapa ada relawan yang rela datang dari luar kota hanya untuk memberi semangat? Mengapa ada pemilik warung kecil yang ikut patungan membawa tumpeng ke rumahnya, padahal ia sendiri hidup pas-pasan?

Orang-orang yang mencaci Jokowi mungkin lupa satu hal mendasar: cinta rakyat tidak dibentuk oleh propaganda. Cinta rakyat lahir dari rekam jejak. Dari jalan-jalan desa yang dulu becek kini diaspal. Dari jembatan-jembatan yang kini menghubungkan pulau-pulau terluar. Dari listrik yang kini menyala hingga ke Papua. Dari harga obat di puskesmas yang bisa dijangkau rakyat kecil. Dari mimpi seorang anak petani di daerah terpencil yang kini bisa kuliah karena beasiswa KIP. Dari keringat seorang Presiden yang turun langsung ke lapangan, masuk ke lorong-lorong pasar, meninjau harga cabai, bukan hanya duduk di istana sambil memberi perintah.

Mereka yang membenci Jokowi mungkin lupa bahwa sejarah tidak bisa dibohongi. Mereka mungkin bisa membuat narasi, tapi mereka tak bisa menghapus fakta. Bahwa di tengah segala kekurangannya, Jokowi adalah pemimpin yang pernah memberi nyawa pada semangat pembangunan bangsa ini. Ia bukan pemimpin sempurna, tapi ia adalah pemimpin sejati.

Maka, di ulang tahun ke-64 ini, bukan sekadar kue ulang tahun yang menjadi simbol cinta rakyat. Doa-doa itulah yang menjadi saksi bahwa Jokowi belum selesai. Bahwa rakyat masih menginginkannya untuk tetap ada, meski kini ia telah lengser dari jabatan presiden. Ada ruang kosong yang tak tergantikan di hati rakyat kecil—dan ruang itu hanya bisa diisi oleh pemimpin yang mereka tahu tidak pernah mengambil dari mereka, tetapi justru memberi tanpa pamrih.

Mereka yang membenci mungkin akan terus berteriak lantang di media sosial. Tapi suara mereka akan tenggelam oleh lagu-lagu syukur dari rakyat di lorong-lorong kampung. Mereka yang mengutuk akan terus mencari celah, namun mereka takkan pernah bisa mencuri hati rakyat seperti Jokowi. Karena rakyat tahu mana pemimpin yang benar-benar bekerja, dan mana yang hanya bisa mencela sambil duduk manis menunggu panggung.

Kini, di usianya yang ke-64, Jokowi mungkin terlihat lelah. Wajahnya menua, kulitnya lebih keriput, rambutnya memutih. Tapi siapa yang bisa menyangkal bahwa di balik tubuh yang mulai melemah, semangatnya tetap menyala? Ia tetap datang ke acara-acara penting, tetap mendampingi pembangunan, tetap berbicara tentang masa depan negeri. Tidak banyak yang bisa seperti itu. Tidak banyak yang bisa menanggalkan jabatan, tetapi tetap bekerja layaknya ia masih menjabat. Jokowi mengajarkan kita bahwa menjadi pemimpin sejati tidak bergantung pada kursi kekuasaan, tetapi pada tanggung jawab yang melekat di dada.

Maka, untuk mereka yang terus menyebar kebencian: lihatlah bagaimana rakyat yang sesungguhnya merayakan ulang tahun Jokowi. Bukan dengan baliho mewah, bukan dengan karangan bunga yang dibayar. Tapi dengan tikar sederhana, dengan nasi tumpeng hasil gotong royong, dan dengan doa-doa tulus yang lebih ampuh dari pidato para penghasut.

Bangsa ini masih butuh Anda, Pak Jokowi. Dalam kebijaksanaan Anda, dalam ketenangan Anda, dalam komitmen dan keberanian Anda untuk membela kepentingan rakyat, bahkan saat Anda tidak lagi menjabat. Di tengah gelombang politik yang penuh manuver dan saling sikut, sosok Anda menjadi jangkar moral. Kami tahu, Anda tak akan pernah kembali jadi presiden. Tapi Anda tetap Presiden dalam hati kami. Presiden yang tidak pernah merasa lebih tinggi dari rakyatnya. Presiden yang tidak pernah bersembunyi dari masalah. Presiden yang memilih diam ketika dihina, dan memilih bekerja ketika dicerca.

Selamat ulang tahun ke-64, Pak Jokowi. Sehat selalu, panjang umur. Cepat sembuh, agar bangsa ini tetap punya teladan, tetap punya arah, tetap punya wajah yang jujur di tengah gemuruh dunia yang makin bising. (debo/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow