Ketar-Ketir Sang Gladiator Kertas: Komedi Wajah-Wajah Panik di Balik Tuduhan Ijazah Palsu

Ketar-Ketir Sang Gladiator Kertas: Komedi Wajah-Wajah Panik di Balik Tuduhan Ijazah Palsu

Ketar-Ketir Sang Gladiator Kertas: Komedi Wajah-Wajah Panik di Balik Tuduhan Ijazah Palsu

detakpolitik.com, Jakarta - Ada kalanya politik berubah menjadi panggung sirkus. Dan di dalam sirkus itu, badut bukan hanya mereka yang melawak dengan sengaja, tapi juga mereka yang ingin terlihat heroik, namun terpeleset oleh ekspresi wajah mereka sendiri. Pekan ini, publik Indonesia disuguhi tontonan paling jujur yang bisa diberikan oleh tubuh manusia: ekspresi spontan yang tak bisa dibohongi. Mereka boleh bicara lantang, memegang map dengan gagah, bersumpah demi langit dan bumi bahwa mereka datang demi kebenaran. Tapi di balik semua itu, wajah mereka, mata mereka, dan bibir mereka yang gemetar memberitahu kita semua: mereka takut.

Roy Suryo, sang mantan Menpora yang kini berubah menjadi semacam pakar “semua hal”, adalah pemain utama dalam drama ini. Ia muncul di hadapan publik dengan gaya khasnya senyum tipis, alis sedikit terangkat, dan nada suara yang berusaha terdengar meyakinkan. Tapi bagi siapa pun yang jeli, ekspresi Roy itu bukan milik orang yang tenang. Itu adalah wajah seseorang yang sedang main sandiwara, tapi naskahnya ketinggalan di rumah. Senyum yang terlalu lama ditahan, lalu hilang dalam sekejap saat kamera menyorot tajam. Wajahnya tegang, seperti seseorang yang tahu bahwa permainan ini terlalu berisiko, tapi sudah terlalu jauh untuk mundur. Ketika pakar mikro-ekspresi melihatnya dan menyimpulkan bahwa ia “ketar-ketir”, saya tidak heran. Bahkan tanpa pelatihan khusus pun, rakyat awam bisa melihat bahwa Roy bukan sedang dalam misi pembuktian, tapi dalam mode bertahan hidup.

Lalu datanglah Crismon Sianipar, atau yang oleh publik lebih akrab disebut Rismon. Ia muncul seperti seseorang yang dipanggil tanpa diberi tahu topik diskusi. Nadanya keras, tapi tidak fokus. Wajahnya menegang, gerakan tangannya ragu-ragu. Ia ingin terlihat kuat, ingin memberi kesan bahwa dirinya dan kelompoknya adalah pembela rakyat, pembongkar kebenaran. Tapi wajahnya berkata lain. Ada keterkejutan yang tak bisa disembunyikan, seperti siswa yang mendadak disuruh maju ke depan kelas padahal belum mengerjakan PR. Dan yang lebih lucu, ketika ia berusaha mengalihkan ekspresi itu dengan gaya “menyalahkan sistem”, semakin jelas bahwa ia sedang panik. Ini bukan ekspresi orang yang sedang menegakkan keadilan. Ini ekspresi orang yang baru sadar bahwa permainan mereka kini diawasi dari banyak sudut, dan salah satu sudut itu memegang alat perekam emosi.

Dan tentu, tak lengkaplah pertunjukan ini tanpa kehadiran Dr. Tifa. Ia yang selama ini tampil dengan suara lantang dan penuh keyakinan, tiba-tiba terlihat seperti seseorang yang dijebak dalam konferensi pers yang tidak ia kehendaki. Tatapan matanya kosong, suaranya gemetar, dan bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak yakin akan isi kalimat berikutnya. Ketika Dodi Triasmara, pakar mikro-ekspresi itu, menyebut bahwa Dr. Tifa terlihat sangat terkejut dan “tidak siap”, saya bisa membayangkan itu seperti seseorang yang selama ini percaya bahwa ia memegang kunci rahasia negara, tapi ternyata itu hanya kunci laci lemari kosong. Ia berbicara, tapi tak ada tenaga dalam ucapannya. Ia berusaha mempertanyakan proses, tapi matanya seperti meminta belas kasihan. Wajahnya bukan wajah penggugat, tapi wajah terdakwa yang baru sadar bahwa panggung yang dibangun selama ini ternyata berbalik arah menjadi ruang interogasi.

Di tengah semua ini, hadir sosok yang menjadi pusat tuduhan Presiden Joko Widodo. Dan di sini letak kontras yang membuat drama ini berubah dari tragedi menjadi komedi. Jokowi, yang menjadi sasaran dari semua fitnah dan insinuasi ini, justru tampil paling tenang. Ia tersenyum ringan, berbicara tanpa tekanan, dan matanya tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut. Bahkan ketika ia berkata akan membawa ijazah aslinya ke persidangan, tidak ada nada defensif. Yang ada hanyalah kepastian. Tidak ada getaran bibir, tidak ada alis naik-turun ala sinetron, tidak ada kepanikan di nada suaranya. Hanya seseorang yang tahu bahwa kebenaran tak perlu teriak-teriak.

Bandingkan itu dengan Roy Suryo. Seseorang yang dalam sejarah politik Indonesia sudah cukup sering muncul di layar kaca, tapi kali ini terlihat seperti anak sekolah yang ditanya PR matematika dan hanya menjawab dengan senyuman kosong. Bandingkan dengan Rismon, yang nadanya keras tapi tak mampu menyembunyikan gugupnya. Bandingkan pula dengan Dr. Tifa, yang tatapan matanya lebih banyak menatap ke dalam, seolah mencari jawaban di dalam pikirannya sendiri, bukan di data yang ia sebut-sebut selama ini.

Lucu, bukan? Mereka menuduh Presiden Republik Indonesia memalsukan ijazah tuduhan besar yang dalam negara mana pun bisa mengguncang legitimasi kekuasaan. Tapi saat ditanya balik oleh kenyataan, mereka hanya mampu menunjukkan wajah-wajah yang tidak yakin. Wajah yang bukan bicara, tapi minta dimengerti. Wajah yang mencoba kuat, tapi kelihatan sekali sedang goyah. Kita seperti menonton teater politik yang buruk: para pemain lupa dialog, panggungnya roboh, dan penontonnya mulai tertawa, bukan karena lucu, tapi karena kasihan.

Ketika ekspresi wajah menjadi bukti, rakyat tak perlu lagi menebak. Roy Suryo dan rekan-rekannya boleh saja berbicara tentang “bukti-bukti”, tentang “kebenaran yang tersembunyi”, tentang “konstitusi”, “hak bertanya”, dan jargon-jargon lain yang sering mereka bawa seperti pedagang asongan membawa dagangan. Tapi tubuh mereka tak bisa dibohongi. Wajah mereka tak bisa dimanipulasi. Bahkan jika mereka menyewa ratusan pengacara sekalipun, kamera dan mikro-ekspresi tetap jadi saksi paling jujur.

Maka yang terjadi adalah pementasan kebohongan yang terbongkar oleh wajah sendiri. Tak perlu ada yang meneriakkan “penipu!”. Publik cukup melihat, lalu tertawa. Tertawa bukan karena kita kejam, tapi karena kita muak. Karena kita tahu bahwa di balik tuduhan muluk tentang ijazah, yang sebenarnya mereka cari bukan kebenaran, melainkan sensasi. Dan sensasi itu kini memukul balik wajah mereka sendiri.

Roy Suryo mungkin pernah merasa sebagai seorang pahlawan digital, pengamat foto, pengulas ekspresi, dan juru bicara kebenaran. Tapi ketika ekspresi sendiri tak bisa dikendalikan, ia berubah menjadi karikatur dari dirinya sendiri. Rismon dan Dr. Tifa pun mengalami hal serupa semula tampil sebagai pendekar kebenaran, kini lebih mirip figuran dalam drama yang terlalu dipaksakan.

Publik Indonesia tidak bodoh. Kita bisa membedakan mana ekspresi ketenangan dari keyakinan, dan mana kepanikan dari kebingungan. Kita tahu bahwa kebenaran tak pernah membuat orang gemetar. Hanya kebohongan yang menimbulkan getar, hanya dusta yang melahirkan peluh dingin.

Dan hari ini, saat wajah Roy, Rismon, dan Tifa terekam oleh kamera dan dianalisis oleh pakar, kita mendapat hadiah kecil dari semesta: pengingat bahwa kebenaran selalu punya sekutu yang setia, yakni kejujuran tubuh manusia. Dan tubuh mereka, lewat ekspresi dan ketegangan yang nyata, telah membocorkan isi hati mereka sendiri.

Sementara itu, Jokowi tetap berjalan, tetap tersenyum, dan tetap tenang. Karena orang yang tak punya beban, memang selalu bisa melangkah lebih ringan.

Sedangkan mereka?

Mereka sibuk menahan wajah agar tak menunjukkan takut dan itulah kegagalan terbesar mereka. (rinto/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow