Ijazah Jokowi Sudah Sah, Refly Harun Masih Sibuk Menabur Curiga, Berhentilah Membakar Negeri dengan Opini Tanpa Bukti
Ijazah Jokowi Sudah Sah, Refly Harun Masih Sibuk Menabur Curiga, Berhentilah Membakar Negeri dengan Opini Tanpa Bukti

detakpolitik.com, Jakarta - Ketika seorang pakar hukum tata negara seperti Refly Harun angkat bicara, publik tentu berharap akan mendapatkan pencerahan yang menenangkan dan mencerahkan nalar kebangsaan. Namun apa jadinya jika suara yang diharapkan menjadi jangkar rasionalitas justru menjadi gema kegaduhan yang menyulut bara perpecahan? Opini Refly Harun mengenai pencabutan pernyataan Sofian Effendi mantan Rektor UGM soal ijazah Presiden Jokowi, telah melangkah melewati garis batas etik intelektual. Alih-alih membawa diskursus ini ke wilayah akademik yang tenang dan berwibawa, ia justru mengarahkan opini publik ke jurang spekulasi dan insinuasi yang membahayakan fondasi kepercayaan terhadap negara.
Dalam komentarnya yang menyisipkan diksi “berbohong atau diancam?”, Refly seolah ingin meyakinkan publik bahwa tidak ada ruang netral dalam tindakan Sofian. Padahal, dalam hukum dan akal sehat publik, seseorang berhak merevisi atau mencabut pernyataannya jika merasa bahwa pernyataan itu tidak akurat atau menyesatkan. Apakah setiap klarifikasi harus dicurigai sebagai hasil tekanan? Kalau begitu, kapan negara ini bisa mendewasakan demokrasi jika semua koreksi justru dibaca sebagai bentuk represi?
Refly Harun, dengan semua titel dan reputasinya, semestinya menjadi mercusuar akal sehat di tengah kekeruhan opini. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Refly bukan hanya menyampaikan pendapat, tapi menyiramkan bensin ke atas api spekulasi yang selama ini sudah terlalu lama dikipasi oleh pihak-pihak tertentu yang menolak fakta hukum. Ia tahu betul bahwa perkara ijazah Presiden sudah melalui audit hukum, investigasi aparat, hingga klarifikasi resmi dari kampus UGM itu sendiri. Namun entah mengapa, narasi "keraguan" dan "kemungkinan tekanan" justru kembali dihidupkan, seolah-olah penjelasan resmi dari institusi negara tak memiliki nilai.
Intelektual seperti Refly punya tanggung jawab besar terhadap suasana kebatinan bangsa. Ia bukan sekadar pengamat di pinggir lapangan. Ucapannya direkam, disebarkan, dan seringkali dikutip oleh kelompok-kelompok yang memang gemar merongrong kepercayaan publik terhadap negara. Dalam konteks ini, ketika Refly menyampaikan insinuasi tanpa bukti terhadap integritas seseorang yang telah mencabut pernyataan sebelumnya, ia tidak sedang memainkan peran intelektual, melainkan sedang menabuh genderang keraguan yang tidak sehat bagi masyarakat.
Bangsa ini sedang menghadapi tantangan besar, mulai dari ketegangan geopolitik hingga transformasi ekonomi dan digitalisasi. Yang dibutuhkan sekarang adalah semangat persatuan, bukan komporisasi isu lama yang telah tuntas secara hukum namun terus dihidupkan dalam ruang-ruang opini. Tuduhan-tuduhan tak berdasar, apalagi disuarakan oleh tokoh publik seperti Refly Harun, punya dampak berantai yang bisa mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan, hukum, bahkan terhadap sistem kenegaraan itu sendiri.
Jika kita terus membiarkan opini tanpa data menggantikan fakta yang sudah diverifikasi, maka jangan heran bila bangsa ini akhirnya terbelah oleh narasi-narasi murahan yang dikemas dalam baju intelektual. Yang perlu kita lawan hari ini bukan hanya berita bohong atau hoaks murahan, tetapi juga opini-opini berkedok analisis yang sengaja menyesatkan opini publik demi kepentingan yang tak selalu jelas.
Refly Harun boleh punya hak berpendapat, tapi ia juga punya kewajiban moral untuk menjaga agar pendapatnya tidak menjadi senjata perusak harmoni sosial. Ini bukan sekadar soal ijazah Jokowi, ini soal bagaimana kita mendidik masyarakat untuk percaya pada hukum, pada institusi akademik, dan pada mekanisme konstitusional yang sudah bekerja. Karena kalau tidak, kita semua akan terus hidup dalam kebisingan yang mematikan logika, dan dalam keraguan yang membunuh kepercayaan.
Dan jika seseorang seperti Sofian Effendi mantan rektor, guru besar, dan pelaku sejarah di dunia akademik telah dengan rendah hati mengakui kekeliruan dan menarik pernyataan sebelumnya, maka selayaknya itu dihormati, bukan dicurigai. Jangan sampai publik intelektual justru mempermalukan etika intelektual itu sendiri. Karena dalam sejarah bangsa mana pun, kehancuran dimulai ketika yang berilmu memilih mencurigai sesama hanya demi sorotan kamera dan tepuk tangan sementara. (rafi/dp)
Apa Reaksi Anda?






