Ketika Surat Pemakzulan Gibran Tak Dibacakan: Forum Purnawirawan TNI Tertawa Sendiri di Ruang Kosong

Ketika Surat Pemakzulan Gibran Tak Dibacakan: Forum Purnawirawan TNI Tertawa Sendiri di Ruang Kosong

Ketika Surat Pemakzulan Gibran Tak Dibacakan: Forum Purnawirawan TNI Tertawa Sendiri di Ruang Kosong

detakpolitik.com, JAKARTA - Hari itu seharusnya menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh mereka yang menganggap diri sebagai penjaga moral konstitusi. Di tengah semangat tinggi dan penuh gairah heroik dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPPTNI), yang pada 26 Mei lalu dengan penuh keyakinan dan retorika patriotik mengirimkan surat usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, gedung DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan tampak biasa saja. Tidak ada ketegangan. Tidak ada klimaks politik. Tidak ada gegap gempita pembacaan surat sakral bernomor 003/FPPTNI/V/2025 itu.

Yang ada hanyalah pidato biasa dari Ketua DPR Puan Maharani, yang lebih tertarik menyampaikan agenda kerja tentang revisi delapan undang-undang. Tidak sepatah kata pun, tidak selembar pun, tak sehelaipun angin menyebut surat tersebut. Surat yang katanya menggetarkan nurani para purnawirawan yang merasa negara ini telah dikangkangi oleh anak muda berwajah lugu yang entah bagaimana bisa menjadi orang nomor dua di republik ini.

Kenyataannya, surat itu bahkan belum sampai ke meja pimpinan. Masih mengendap di Sekretariat Jenderal. Entah dipetakan sebagai dokumen penting atau hanya diklasifikasikan sebagai “surat aspirasi” yang setara dengan keluhan warga soal jalan berlubang. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menjawab diplomatis—tapi sekaligus mematahkan ekspektasi—bahwa surat itu belum bisa dibahas karena belum masuk agenda rapat pimpinan dan Bamus.

Ironi besar mengalir dari situasi ini. Forum yang menganggap dirinya perpanjangan tangan sejarah dan pelindung konstitusi malah seperti tokoh figuran dalam lakon demokrasi. Mereka bergerak dengan gegap gempita seolah mewakili jutaan suara rakyat, padahal tak satu pun fraksi besar di parlemen yang menyambut mereka dengan serius. Lebih jauh, surat mereka tidak dibacakan bukan karena ditolak—melainkan karena bahkan belum dianggap layak untuk dibicarakan.

Bayangkan, betapa memalukannya itu. Di tengah semangat patriotik yang meluap-luap, FPPTNI membawa agenda yang konon berbasis hukum dan moral, namun akhirnya hanya mentok di meja birokrasi. Tidak terdengar riuh tepuk tangan, tidak terlihat ada fraksi yang mengacungkan dukungan, tak satu pun mata kamera televisi nasional menyorot mereka sebagai pembawa perubahan. Yang ada hanya kesenyapan yang menyakitkan—dan sejujurnya, menggelikan.

Usulan mereka tentang pelanggaran hukum Gibran karena Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 seolah ingin menjadi dasar konstitusional untuk mengguncang istana. Namun sayangnya, mereka lupa: tafsir hukum bukan milik segelintir purnawirawan, apalagi ketika yang mereka tuduh sudah dilantik secara resmi oleh lembaga negara yang sah. Forum ini seperti hendak membatalkan gol yang sudah disahkan oleh wasit, setelah pertandingan selesai dan semua penonton sudah pulang.

Lebih lucu lagi ketika mereka menyisipkan argumentasi bahwa Gibran adalah beban bagi Presiden Prabowo. Ini bukan opini, ini prasangka—dan sungguh tak pantas datang dari kalangan yang mengaku mantan prajurit profesional. Mana buktinya? Apakah Prabowo pernah mengeluh secara resmi? Apakah ada kinerja negara yang terganggu karena kehadiran Gibran? Jawabannya nihil. Yang ada justru stabilitas pemerintahan yang relatif kondusif di awal masa jabatan mereka. Forum ini tampak seperti tetangga yang kesal melihat anak muda baru saja pindah rumah, lalu menyebarkan gosip tanpa dasar bahwa “dia tidak cocok tinggal di sini.”

Dalam politik, terutama dalam demokrasi, kekuatan bukan diukur dari seragam yang pernah dipakai atau pangkat yang pernah disandang. Kekuatan lahir dari legitimasi publik dan konstitusionalitas. FPPTNI boleh saja memiliki sentimen terhadap Gibran, tetapi mereka tak bisa memaksa parlemen untuk menjadikan itu agenda negara. Apa pun alasannya, DPR bukan tempat menampung dendam pribadi, apalagi nostalgia politik dari masa lalu.

Ketika surat mereka tak dibacakan, sebenarnya itu adalah pesan paling keras dari sistem demokrasi terhadap romantisme militeristik yang merasa bisa mendikte politik sipil. Demokrasi tidak lagi bisa digoyang hanya oleh suara lantang segelintir orang yang pernah memegang senjata. Kini, kekuasaan ditentukan oleh proses elektoral, bukan tekanan emosional atau retorika heroik yang miskin landasan hukum.

Opini mereka tentang “ketidakmampuan Gibran membantu Presiden” juga menunjukkan betapa mereka tidak paham konstitusi. Tugas Wakil Presiden secara eksplisit tidak mengharuskan dia menjadi ‘second captain’ yang memegang kemudi bersama Presiden. Dalam sistem presidensial, Wapres adalah cadangan konstitusional—bukan co-pilot aktif dalam setiap kebijakan. Mengukur kinerja Wapres dalam waktu enam bulan dan menggunakannya sebagai dasar pemakzulan adalah seperti memecat atlet dari tim nasional karena belum mencetak gol dalam dua pertandingan pertama.

Lebih absurd lagi ketika mereka menyeret-nyeret isu ijazah dan pendidikan Gibran. Sudah cukup negeri ini diracuni oleh teori konspirasi dan politik kedangkalan intelektual. Mempertanyakan ijazah seseorang tanpa dasar yang valid adalah bentuk fitnah intelektual, dan forum ini seharusnya lebih tahu betapa rusaknya bangsa ini jika elite ikut menyebarkan kabar yang belum terverifikasi. Apakah mereka ingin mengatakan hanya lulusan tertentu yang pantas memimpin negeri? Kalau begitu, demokrasi kita sudah menjadi klub alumni—bukan lagi ruang bagi semua warga negara.

Kini, setelah surat itu tidak dibacakan, pertanyaannya adalah: ke mana arah langkah mereka selanjutnya? Akankah FPPTNI membuat konferensi pers lagi dengan wajah masam dan nada tinggi? Ataukah mereka akan sadar bahwa demokrasi tidak bisa digerakkan dengan arogansi simbolik?

Sejujurnya, kejadian ini adalah pelajaran besar bagi kita semua. Bahwa gagasan besar, kalau tidak dibarengi oleh legitimasi politik dan kepatuhan terhadap mekanisme, hanya akan berakhir sebagai dokumen yang berdebu di rak surat masuk. Bahwa suara nyaring tanpa dasar konstitusional hanya akan menjadi gema yang hilang di ruang hampa kekuasaan.

Dan bahwa forum-forum semacam FPPTNI, jika ingin serius berkontribusi dalam demokrasi, seharusnya membangun dialog yang sehat, bukan ultimatum yang menggelikan. Ketika surat mereka tak dibacakan, sebenarnya yang sedang terjadi bukan pengkhianatan terhadap idealisme mereka—melainkan penolakan halus dari negara terhadap jalan pintas yang berbalut klaim moral palsu.

Jadi, mari kita tertawa sebentar. Bukan karena ingin menghina para purnawirawan, tapi karena ironi sejarah selalu punya cara untuk menunjukkan siapa yang benar-benar relevan, dan siapa yang hanya sedang bermain drama politik di panggung yang tak lagi menerima peran mereka.

Karena pada akhirnya, dalam negara hukum dan demokrasi, satu surat tak akan pernah mengalahkan satu suara rakyat. (WIDODO/DP)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow