Kata Puan Soal Surat Usulan Pemakzulan Gibran dari Purnawirawan TNI: Antara Aspirasi Politik dan Realitas Konstitusional

Kata Puan Soal Surat Usulan Pemakzulan Gibran dari Purnawirawan TNI: Antara Aspirasi Politik dan Realitas Konstitusional

Kata Puan Soal Surat Usulan Pemakzulan Gibran dari Purnawirawan TNI: Antara Aspirasi Politik dan Realitas Konstitusional

detakpolitik.com, JAKARTA - Ketua DPR RI Puan Maharani akhirnya angkat bicara terkait surat yang dikirimkan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI, yang berisi usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Namun, Puan menyatakan dengan tegas bahwa hingga saat ini ia belum membaca surat tersebut. Alasannya sederhana namun cukup diplomatis: masa sidang DPR baru saja dibuka kembali.

"Belum lihat, ini baru masuk masa sidang," kata Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa, 24 Juni 2025. Ia menjelaskan bahwa semua surat yang masuk saat DPR sedang dalam masa reses masih berada di bagian Sekretariat Jenderal. Artinya, tidak serta-merta seluruh pimpinan DPR langsung memproses atau membacanya, apalagi jika surat itu belum diklasifikasikan sebagai dokumen yang mendesak atau prioritas tinggi.

Yang menarik, alasan yang hampir serupa juga dilontarkan oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad. Ia menyatakan bahwa dirinya belum sempat membaca surat tersebut karena saat surat itu masuk, DPR tengah dalam masa reses dan dirinya tidak bisa menemui Sekretaris Jenderal DPR secara langsung.

"Ini kan kebetulan reses. Saya kan datang, Pak Sekretaris Jenderalnya juga enggak ada. Saya ingin lihat suratnya, suratnya masih di Sekjen, jadi belum sempat baca," ujar Dasco di lokasi yang sama pada 3 Juni 2025.

Sementara itu, surat dari Forum Purnawirawan TNI tersebut telah lebih dahulu beredar dan bahkan menjadi konsumsi publik. Surat dengan nomor 003/FPPTNI/V/2025 itu dikirim ke DPR dan MPR pada 2 Juni 2025. Isinya cukup eksplosif, tidak hanya mendesak pemakzulan Gibran, tapi juga menyajikan rangkaian alasan yang mereka klaim sebagai dasar konstitusional dan etik.

Dalam pandangan Forum tersebut, proses pencalonan Gibran pada Pilpres 2024 lalu cacat secara etika dan konstitusional karena diduga tidak lepas dari campur tangan Anwar Usman, yang kala itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan juga paman Gibran. Mereka menilai bahwa keberadaan hubungan keluarga ini mencederai prinsip imparsialitas dan asas peradilan yang adil (fair trial) dalam konteks hukum tata negara Indonesia.

Tidak hanya itu, para purnawirawan tersebut juga menyoroti soal kepatutan dan kelayakan Gibran sebagai Wakil Presiden. Bagi mereka, Gibran terlalu muda, kurang pengalaman, dan dinilai belum cukup matang untuk mengemban amanah sebesar posisi RI-2. Bahkan, mereka menggunakan frasa yang cukup tajam: "Sangat naif bagi negara ini bila memiliki seorang wakil presiden yang tidak patut dan tidak pantas untuk memimpin rakyat Indonesia sebesar ini," sebagaimana dikutip dari pernyataan Bimo Satrio, Sekretaris Forum tersebut.

Mereka pun turut menyinggung isu lama yang sempat tenggelam: dugaan korupsi yang menyeret nama Gibran dan adiknya, Kaesang Pangarep, dalam laporan yang pernah diajukan oleh akademisi Ubedilah Badrun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2022. Bahkan akun media sosial di Kaskus bernama Fufufafa, yang dikaitkan dengan Gibran, ikut disinggung sebagai "indikasi moralitas".

Namun pertanyaannya kini, seberapa relevan dan konstitusional desakan dari Forum Purnawirawan TNI tersebut?

Perlu digarisbawahi, pemakzulan bukanlah perkara mudah dan bukan pula sesuatu yang bisa didasarkan pada opini pribadi, prasangka moral, atau konflik kepantasan. Pemakzulan haruslah melalui mekanisme hukum yang sangat ketat, dan dasar utamanya adalah pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi berat, atau pelanggaran terhadap UUD 1945. Tidak ada satu pun dalam surat tersebut yang menyajikan bukti konkret adanya kejahatan berat yang dilakukan oleh Gibran dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden.

Publik tentu berhak untuk mengkritik siapa pun, termasuk Gibran. Namun, menyandingkan kritik politik dengan permintaan pemakzulan tanpa fondasi konstitusional yang kuat adalah tindakan sembrono yang justru merusak marwah demokrasi itu sendiri. Terlebih, perlu dipahami bahwa Wakil Presiden Gibran adalah hasil pemilu langsung yang sah dan legitimate. Gibran dipilih oleh jutaan rakyat Indonesia, melalui proses pemilu yang diakui oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), diawasi oleh Bawaslu, dan telah disahkan secara resmi. Ia bukan produk titipan keluarga atau institusi tertentu.

Para purnawirawan TNI seharusnya lebih memahami konstitusi negara yang dulu mereka bela saat berseragam. Tidak semestinya mereka melempar wacana yang lebih bermuatan emosi politik daripada logika hukum. Demokrasi yang mereka jaga dulu dengan senjata dan pengorbanan, seharusnya mereka hormati hari ini dengan kebijaksanaan, bukan dengan manuver penuh kebencian dan ilusi kekuasaan masa lalu.

Apa yang menjadi dasar keberatan mereka terhadap Gibran sesungguhnya lebih mencerminkan rasa tidak suka personal terhadap latar belakang keluarga Gibran, daripada telaah objektif tentang kapasitas dan kinerjanya. Bagaimana bisa kita menilai seseorang tidak layak memimpin hanya karena ia masih muda? Bukankah sejarah Indonesia sendiri pernah diwarnai oleh para pemimpin muda yang justru menjadi tokoh besar bangsa?

Gibran, meski masih berusia muda, telah menunjukkan keberanian politik dan ketenangan dalam menghadapi berbagai serangan terhadap dirinya. Ia menjalankan fungsi-fungsi wakil presiden secara konstitusional, hadir dalam rapat-rapat kenegaraan, mendampingi presiden dalam agenda resmi, serta aktif dalam isu-isu pembangunan daerah dan teknologi digital. Belum ada indikator yang menunjukkan bahwa ia melanggar konstitusi, melakukan korupsi, atau terlibat dalam pengkhianatan terhadap negara.

Apa yang dilakukan Forum Purnawirawan TNI seolah mencerminkan kekecewaan politik yang tak tersalurkan lewat mekanisme demokrasi. Mereka menolak hasil pemilu yang sah hanya karena tidak sesuai dengan preferensi politik mereka sendiri. Tapi demokrasi bukan tentang siapa yang kita suka, melainkan tentang siapa yang dipilih rakyat secara sah.

Ironis bila Forum yang terdiri dari para pensiunan prajurit—yang semestinya menjadi penjaga nilai-nilai republik dan netralitas—justru terjun dalam gerakan yang bisa dibaca sebagai upaya pembusukan terhadap sistem konstitusi yang sah. Tentu saja hak berekspresi dan menyampaikan pendapat dijamin oleh UUD 1945, namun ada garis tegas antara kebebasan berpendapat dengan agitasi politik yang tidak bertanggung jawab.

DPR sebagai institusi legislatif yang berfungsi menampung aspirasi rakyat tentu wajib menanggapi surat dari Forum Purnawirawan tersebut. Tapi menanggapi bukan berarti memproses begitu saja. DPR harus tetap berada dalam koridor hukum dan konstitusi. Pemakzulan bukan ajang pembalasan dendam politik atau arena pelampiasan kekecewaan elite.

Gibran adalah Wakil Presiden pilihan rakyat, bukan pilihan kelompok purnawirawan. Ia dipilih bukan untuk menyenangkan satu kelompok elite, tetapi untuk melayani seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin menggulingkannya dari kursi wakil presiden, harus bersandar pada logika hukum, bukan sekadar retorika moral.

Puan Maharani dalam hal ini berada dalam posisi krusial. Ia bukan sekadar pemegang palu sidang, tapi juga pemegang moral parlemen. Bila ia gegabah menindaklanjuti surat tanpa melalui kajian mendalam dan konstitusional, maka akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Parlemen bisa berubah menjadi alat tekanan politik yang tidak adil.

Sebaliknya, bila Puan dan jajaran pimpinan DPR memosisikan diri sebagai penjaga hukum dan demokrasi, maka mereka wajib memilah aspirasi yang berakar pada hukum dari sekadar wacana politis penuh asumsi.

Rakyat Indonesia pun perlu disadarkan bahwa suara dalam pemilu bukan hanya hak, tapi juga tanggung jawab. Kita tidak bisa membiarkan suara kita yang sah dikoreksi oleh kelompok-kelompok yang merasa punya kekuasaan moral lebih tinggi dari rakyat itu sendiri.

Dalam sistem demokrasi, rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Maka hanya rakyat pula yang bisa mencabut mandat dari pejabat publik, melalui mekanisme hukum yang sah dan adil. Bukan lewat surat bernada intimidasi dari mereka yang tak lagi punya jabatan resmi, namun masih ingin merasa berkuasa.

Pemakzulan bukan untuk mereka yang tak kita sukai, melainkan untuk mereka yang terbukti mengkhianati sumpah jabatan. Dan sampai hari ini, tidak ada satu pun bukti sahih bahwa Gibran telah melakukan itu. Maka, sudah saatnya kita berkata tegas: demokrasi ini milik seluruh rakyat, bukan milik purnawirawan. (DEBO/DP)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow