Sidang Hasto Kristiyanto: Bongkar Chat, Dana Talangan, dan Upaya Cuci Tangan, Tapi Fakta Tak Bisa Berbohong

Sidang Hasto Kristiyanto: Bongkar Chat, Dana Talangan, dan Upaya Cuci Tangan, Tapi Fakta Tak Bisa Berbohong

Sidang Hasto Kristiyanto: Bongkar Chat, Dana Talangan, dan Upaya Cuci Tangan, Tapi Fakta Tak Bisa Berbohong

detakpolitik.com, JAKARTA - Sidang lanjutan kasus suap yang menyeret nama Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis 26 Juni 2025. Dalam sidang yang penuh dengan atmosfer politis dan sorotan publik ini, terkuak sejumlah fakta penting yang tidak hanya menyudutkan posisi hukum Hasto, tapi juga memperlihatkan bagaimana partai sebesar PDIP ikut terseret dalam permainan kotor pergantian antarwaktu (PAW) yang diduga sarat dengan praktik korupsi dan manipulasi kekuasaan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Budhi Sarumpaet menghadirkan percakapan WhatsApp antara Hasto dan mantan kader PDIP, Saeful Bahri, sebagai bukti kunci. Percakapan ini terjadi pada 13 Desember 2019, di tengah situasi panas seputar pencalonan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui mekanisme PAW. Dalam chat tersebut, Saeful menyampaikan kepada Hasto bahwa dirinya sudah bertemu dengan Harun dan akan "geser" dari lokasi bernama SS (Sultan Syahril). Hasto membalas singkat: “Ok sip.”

Kata “Ok sip” inilah yang menjadi salah satu titik awal upaya Hasto untuk cuci tangan. Ia mengklaim bahwa itu hanyalah respon formal, bukan indikasi bahwa ia mengetahui atau menyetujui pertemuan tersebut, apalagi mengetahui substansi dari pertemuan antara Saeful dan Harun Masiku. Tapi apakah mungkin seseorang seperti Hasto, yang dikenal sangat teliti, sangat teknokratik, dan memegang posisi strategis dalam partai besar, akan merespons pesan penting dalam konteks perpolitikan nasional hanya dengan jawaban “Ok sip” tanpa tahu atau peduli konteks dan substansinya?

Di sinilah publik patut curiga. Karena logika sehat mengatakan bahwa percakapan itu terjadi dalam momen-momen yang sangat menentukan: menjelang pergantian anggota DPR melalui jalur PAW yang kontroversial. Harun Masiku bukan nama biasa. Ia adalah caleg yang gagal lolos ke Senayan, tapi kemudian didorong oleh internal PDIP—melalui berbagai manuver—untuk menggantikan posisi caleg terpilih yang mengundurkan diri, yakni Nazarudin Kiemas. Dan pengurusan PAW inilah yang kemudian menyeret banyak nama ke dalam pusaran korupsi, termasuk Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan sekarang Sekjen PDIP sendiri, Hasto Kristiyanto.

Ketika jaksa mengejar Hasto soal makna “Ok sip”, ia mencoba bersilat lidah dengan mengatakan bahwa jawabannya itu hanyalah standar, karena dirinya sedang sibuk mempersiapkan FGD untuk Rakernas PDIP. Tapi argumen ini semakin memperlihatkan bahwa Hasto mencoba melepaskan tanggung jawab dengan alasan-alasan yang sulit diterima akal. Bagaimana mungkin, di tengah isu penting terkait penentuan anggota legislatif, seorang Sekjen partai hanya merespons secara asal? Bahkan jika benar ia tidak tahu isi pertemuan itu, mestinya sebagai pemimpin ia menanyakan lebih lanjut. Tapi tidak. Hasto menghindar dari keingintahuan yang seharusnya melekat pada posisinya sebagai pimpinan strategis.

Jaksa pun menggali lebih dalam. Ia menyodorkan bukti lain: percakapan telepon antara pengacara PDIP, Donny Tri Istiqomah, dan Saeful Bahri, yang menyebut bahwa Hasto akan menalangi dana suap senilai Rp1,5 miliar untuk mengurus penetapan PAW Harun Masiku. Lagi-lagi, Hasto membantah keras. Ia menyatakan bahwa tidak ada percakapan semacam itu, dan menuding bahwa Saeful berbohong kepada istrinya soal dana talangan dengan mencatut nama Hasto. Alibi ini pun terdengar ganjil. Kenapa seseorang harus membohongi istrinya dengan menyebut nama Hasto, jika tidak ada kedekatan atau komunikasi intens sebelumnya?

Lebih lanjut, dalam kesaksiannya Hasto berupaya menggambarkan bahwa hubungan dirinya dengan Harun Masiku hanya sebatas pertemuan dalam konteks pencalegan 2019. Bahwa Harun datang membawa biodata, mengaku ingin menjadi caleg, lalu diminta mengisi formulir dan itulah akhir dari interaksi. Namun ini juga janggal. Dalam mekanisme internal partai, tidak semua orang bisa dengan mudah masuk dan mencalonkan diri sebagai caleg tanpa dukungan struktur. Apalagi Harun ternyata sudah memegang Kartu Tanda Anggota PDIP. Artinya, prosesnya tidak sesimpel “datang ke kantor dan mendaftar.” Ada mekanisme politik, persetujuan internal, dan jalur khusus yang hanya bisa dilalui jika seseorang memiliki backing kuat—dan Hasto, sebagai Sekjen, tentu menjadi salah satu gerbang utama dalam proses itu.

Jelas terlihat bahwa Hasto berusaha mengerdilkan peran dan kedekatannya dengan Harun, padahal segala bukti dan konteks menunjukkan bahwa ia mengetahui dan bahkan mengarahkan proses PAW itu. Terlebih lagi, nama Donny Tri Istiqomah—pengacara internal partai—muncul sebagai pihak yang terlibat langsung dalam komunikasi terkait uang dan operasional PAW. Apakah mungkin Donny berbicara mewakili partai tanpa sepengetahuan atau perintah dari Hasto?

Fakta-fakta ini mengindikasikan adanya skenario sistematis yang dijalankan oleh orang-orang dalam PDIP untuk menyelamatkan Harun Masiku dan mengamankan posisinya di DPR. Dan skenario ini melibatkan uang suap, tekanan kepada KPU, serta persekongkolan untuk menghalangi proses penyidikan. Dengan segala logika sederhana, jika Hasto benar tidak tahu-menahu, mengapa ia sampai ditetapkan sebagai tersangka, lalu terdakwa, dan kini disidang dengan bukti-bukti yang kuat dan saksi-saksi yang saling menguatkan?

Upaya Hasto membantah semua tuduhan ini justru memperkuat kesan publik bahwa ia berusaha kabur dari tanggung jawab. Strategi membela diri dengan menuduh orang lain berbohong, menyebut balasan chat hanyalah respons standar, hingga mencoba menjauhkan diri dari proses pencalegan Harun adalah manuver klasik seorang politisi yang terpojok, bukan pembelaan dari orang yang benar-benar tidak bersalah.

Dan lebih parah lagi, kasus ini tidak hanya mencoreng nama pribadi Hasto. Ini menyiramkan lumpur ke wajah PDIP sebagai partai politik yang selama ini mengklaim diri sebagai penjaga demokrasi, pelindung wong cilik, dan partai yang anti korupsi. Ketika Sekjen partai—jantung organisasi—terlibat dalam praktik kotor semacam ini, bagaimana publik bisa mempercayai integritas partai tersebut?

Sikap partai pun menjadi pertanyaan besar. Hingga saat ini, belum ada sikap tegas dari elite PDIP atas status hukum Hasto. Tidak ada pencopotan, tidak ada penggantian posisi, bahkan tidak ada permintaan maaf kepada publik. Sebaliknya, seolah partai ini menganggap kasus ini hanyalah badai kecil yang akan berlalu. Ini memperlihatkan bahwa bukan hanya Hasto yang bermasalah, tetapi budaya politik internal PDIP yang cenderung membiarkan dan melindungi perilaku koruptif.

Jika publik membiarkan kasus ini lewat begitu saja, tanpa ada tekanan agar hukum ditegakkan dengan benar, maka kita telah melegitimasi bahwa kekuasaan bisa dibeli, suara rakyat bisa ditukar, dan institusi negara bisa dipermainkan. Apa yang dilakukan oleh Hasto dan jejaringnya dalam kasus Harun Masiku bukan hanya kejahatan hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap demokrasi.

Harun Masiku mungkin masih buron, tapi jejak kakinya meninggalkan jejak korupsi yang sangat kentara. Dan jejak itu mengarah ke pintu DPP PDIP. Sekjen Hasto mungkin berdalih bahwa dirinya tidak tahu-menahu, tapi rakyat sudah bisa menilai, bahwa dari pola komunikasi, dari peran struktural, dari keterlibatan orang-orang sekitarnya, sulit untuk mengatakan Hasto tidak bersalah.

Kini publik tinggal menunggu, apakah pengadilan akan berani memutuskan kebenaran, atau ikut terjebak dalam tekanan politik. Tapi satu hal yang pasti: di hadapan rakyat, kebenaran akan terus hidup, bahkan jika kekuasaan mencoba menguburnya. Dan dalam kasus ini, semua tanda mengarah ke satu kesimpulan: Hasto Kristiyanto dan PDIP telah terlibat dalam skandal korupsi besar, yang tidak bisa lagi disangkal dengan dua kata ringan seperti “Ok sip.” (jon/dp)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow